MK Dituding Konservatif dalam Penanganan Sengketa Pilkada

Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Direktur Setara Institute, Ismail Hasani mengkritik sikap Mahkamah konstitusi (MK) yang terkesan konservatif dalam menangani penyelesaian sengketa Pilkada Serentak 2015. Menurutnya, MK lebih mengutamakan syarat formil secara rigid dan mengabaikan keadilan elektoral.

Hal itu terlihat dari 147 perkara perselisihan hasil pilkada, MK hanya memutuskan sembilan permohonan yang memenuhi kualifikasi syarat formil dan layak untuk dilanjutkan ke agenda pemeriksaan pokok perkara.

"Hasil sidang pendahuluan ini menggambarkan melemahnya praktik judicial activisim, dimana hakim MK memungkinkan menghasilkan putusan-putusan yang progresif, out of the box dari apa yang ditentukan oleh UU demi menghasilkan keadilan konstitusional bagi warga negara," ujar Ismail dalam keterangan tertulisnya, Rabu 27 Januari 2016.

Ismail mengatakan, MK sama sekali tidak menyentuh dan tidak mempertimbangkan berbagai kecurangan yang dilakukan calon untuk memperoleh kemenangan. Peradilan pilkada disebut gagal memvalidasi kemenangan pasangan calon karena pemeriksaan kebenaran materiil diabaikan MK.

"MK malas bekerja menjalankan perintah UU. Meski peradilan Pilkada adalah amanat sementara, tetapi pragmatisme hakim MK membuat integritas Pilkada dan peradilan Pilkada gagal diuji," katanya menambahkan.

Untuk itu, Pemerintah dan DPR diminta memastikan Pasal 158 menjadi agenda revisi UU Pilkada, termasuk kemungkinan menyegerakan pembentukan peradilan pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi Pilkada, pidana Pilkada, dan sengketa Pilkada dalam satu badan yang terintegrasi.

Sebelumnya, dari 147 perkara perselisihan hasil Pilkada, MK hanya memutuskan sembilan permohonan yang memenuhi kualifikasi syarat formil dan layak untuk dilanjutkan ke agenda pemeriksaan pokok perkara.

Sebanyak lima perkara ditarik dan sisanya sebanyak 133 permohonan dinyatakan tidak diterima dengan alasan tidak memenuhi syarat selisih maksimal yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada dan karena daluarsa atau melampaui batas waktu yang ditetapkan.

(mus)