Berhimpitan, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Rentan Masalah
- ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
VIVA.co.id – Penyelenggaraan pilkada serentak 2018 yang berhimpitan dengan penyelenggaraan pemilu serentak 2019 menyimpan sejumlah potensi masalah. Salah satu persoalan yang disorot adalah rekrutmen penyelenggara, pengelolaan tahapan dan pembiayaan.
Rancangan undang-undang Penyelenggaraan Pemilu yang tengah dibahas oleh DPR menjadi penting untuk menata dan memberi solusi atas berbagai potensi masalah tersebut.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari menyebut ada situasi tidak ideal yang akan terjadi di tengah-tengah penyelenggaraan pilkada serentak 2018 dan 2019, seperti berakhirnya masa jabatan komisioner KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
"Ini mau diapakan? Apakah mau diperpanjang masa jabatannya atau diperpendek. KPU tidak bisa menata ini sendiri karena bukan kewenangan KPU sepenuhnya," kata Komisioner KPU RI Hasyim Asy’ari dalam keterangan persnya, Sabtu, 6 Mei 2017.
Selain masalah siklus pergantian penyelenggara pemilu, lanjut Hasyim, masalah lainnya adalah rekrutmen badan penyelenggara pada level ad hoc seperti Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara.
"Pada waktu yang berdekatan kita akan membentuk badan ad hoc untuk pemilu serentak 2018 dan juga 2019. Apakah nanti PPK dan PPS pilkada serentak 2018 dikukuhkan menjadi PPK dan PPS pemilu 2019 atau direkrut baru atau merangkap mengelola pilkada serentak 2018 dan sekaligus 2019," ujarnya.
Menurut Hasyim, jika penyelenggara badan ad hoc dibentuk terpisah maka akan ada dua badan ad hoc di setiap kecamatan dan desa/kelurahan di Indonesia. Satu badan ad hoc yang mengelola pilkada serentak 2018 dan satu lagi mengelola pemilu 2019.
"Ini bagaimana? Kalau digabung menjadi satu untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan pilkada serentak 2018 dan 2019, sumber pembiayaannya juga menjadi soal. Pembiayaan pilkada bersumber dari APBD, sementara pemilu dari APBN. Ini menjadi problem lagi. Masalah ini harus di-clear-kan agar KPU tidak cuci piring setelah selesai pilkada," terang Hasyim.
Di luar masalah struktur, problem teknis penyelenggaraan pilkada serentak juga mengintai. Pada pilkada 2018 dan pemilu 2019, tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilihnya berhimpitan.
Sebagaimana diketahui, Daftar Pemilih Tetap (DPT) pilkada ditetapkan sekitar Maret 2018, setelah itu penetapan DPT pemilu 2019. Jika mengikuti UU yang lama, kata Hasyim, penyusunan DPT pemilu selain berdasarkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari pemerintah juga mempertimbangkan DPT pemilu terakhir, karena pelaksanaannya bersamaan.
"Kita akan kesulitan lagi menentukan DPT pemilu terakhirnya yang mana?” ungkapnya.
Selain membeberkan tantangan pemilu 2019, Hasyim juga memberikan sejumlah catatan terkait penyelenggaraan pilkada serentak 2017. Menurutnya, penyelenggaraan pilkada di 101 daerah relatif baik. Pelembagaan demokrasi prosedural makin membaik dan diterima secara luas.
"Indikatornya konflik dalam pilkada diselesaikan melalui jalur kelembagaan yang ada seperti Panwaslu, Bawaslu Provinsi, DKPP dan Mahkamah Konstitusi," kata Hasyim.
Partai politik makin terkonsolidasi. Pada pilkada serentak 2017, hanya ada satu kepengurusan partai yang berkonflik di tingkat dewan pimpinan pusat (DPP). Meski hanya satu tapi dinamika konflik di daerah tetap saja tinggi karena berkaitan dengan pemenuhan syarat pencalonan.
Berkurangnya dukungan satu partai politik dapat mengakibatkan gagalnya bakal pasangan calon menjadi pasangan calon. Keberadaan satu partai politik dapat memengaruhi komposisi kursi atau suara minimal yang dibutuhkan untuk pengajuan pasangan calon.
"Kalau konflik internal partai dan kegandaan kepengurusan berlanjut akan menjadi beban juga bagi KPU ketika melakukan verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2019. Karena itu, kita berharap konsolidasi partai semakin matang dan kegandaan kepengurusan diselesaikan di internal," kata Hasyim.