Percakapan Bung Karno dan Yani Soal Dewan Jenderal

Rumah Jenderal Ahmad Yani di Menteng, Jakarta.
Sumber :
  • jakarta.go.id

VIVA.co.id - Dewan Jenderal adalah salah satu isu paling krusial, baik sebelum dan setelah meletusnya peristiwa berdarah pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh sekelompok tentara yang menamakan diri sebagai Gerakan 30 September.

Sebutan tersebut, merujuk pada jenderal-jenderal di lingkungan Angkatan Darat yang dinilai tidak loyal terhadap kebijakan politik Presiden Soekarno.

Sebelum peristiwa itu benar-benar meletus, Bung Karno ternyata pernah bertanya kepada Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani mengenai Dewan Jenderal.

Seperti dikutip dari buku "G30S Fakta atau Rekayasa", yang ditulis oleh Julius Pour, halaman 106-107, Rabu 27 September 2017, percakapan itu termuat dalam dokumen Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), dua lembar surat No 12/RHS/1966, tanggal 16 September 1966, berbentuk pertanyaan tertulis tim kepada Bung Karno beserta jawabannya.

Berikut tanya jawab tersebut:

Benarkah, bapak presiden memanggil DN Aidit dari Moskow untuk mengumpulkan bahan penyusunan teks pidato 17 Agustus 1965?

"Saya hanya memanggil Nyoto, Menteri Negara diperbantukan pada Presidium Kabinet Dwikora, untuk menyumbangkan pendapatnya..."

Apakah sebelum tanggal 28 September 1965, bapak presiden telah menerima laporan lisan atau tertulis dari Soebandrio mengenai kegiatan PKI dan ormaas-ormasnya?

"Saya tidak pernah mendapat laporan, lisan atau tertulis..."

Bagaimana mengenai laporan pos BPI Jawa Tengah, berisi psywar bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup?

"Benar, awal bulan September 1965 saya dengar geruchten (desas-desus) dari mana-mana, ada sebuah Dewan Jenderal. Kemudian saya tanyakan kepada Jenderal Yani almarhum, apa benar demikian? Jenderal Yani menjawab, Dat is het geweest Pak (Itu tidak benar Pak). Saya tanya lagi, bagaimana dengan para anggota Dewan Jenderal?"

"Dijawab, Ik heb ze volkomen in mijn hand Pak. U kunt mevolkomen vertrouwen (Saya telah menguasai sepenuhnya Pak. Anda bisa percayakan kepada diri saya)."

Sebelum tanggal 28 September 1965, apakah bapak presiden telah menerima laporan dari Soebandrio tentang adanya Dewan Jenderal akan melakukan kup?

"Saya tidak pernah menerima laporan tertulis atau lisan dari Dr Soebandrio maupun orang lain, bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup. Kejadian tanggal 1 Oktober 1965 benar-benar suatu overrompelling (pendadakan) bagi diri saya..."

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu korban penculikan dan pembunuhan G30S, sebuah komplotan tentara yang dipimpin Letnan Kolonel Untung Samsoeri, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa. Padahal hari itu, pukul 07.00, Yani sebenarnya dijadwalkan bertemu Presiden Soekarno di Istana Negara.

Selain Yani, setidaknya ada enam korban lainnya yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen MT Harjono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Pandjaitan, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.

Belakangan, setelah peristiwa, Panglima Kostrad, yang kemudian menjadi Panglima Angkatan Darat dan Presiden, Mayor Jenderal Soeharto, menyatakan bahwa Dewan Jenderal tidak pernah ada. Yang ada di lingkungan AD adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan disingkat Wanjakti. Tugasnya, meninjau kenaikan pangkat para kolonel untuk bisa menjadi jenderal.

Namun, Sekretaris Jenderal PKI, Sudisman, melalui "Uraian Tanggungjawab" di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) tetap meyakini keberadaan Dewan Jenderal. Ciri-ciri mereka adalah tidak anti imperialis, tidak anti tuan tanah, dan anti nasakom.