Uang Elektronik, Hemat Tenaga Tapi Bikin Konsumtif

Mayoritas pengguna uang elektronik merupakan kelompok milenial, generasi yang dianggap tak merencanakan keuangan secara tepat. - Antara Foto/Agung Rajasa
Sumber :
  • bbc

Transaksi berbasis uang elektronik kini mencapai puluhan trilun rupiah per tahun. Nominal itu dianggap masih dapat terus melonjak karena pengguna non-tunai bahkan belum mencapai setengah dari jumlah penduduk Indonesia.

Kelompok milenial tercatat sebagai pengguna utama uang elektronik. Namun pendidikan finansial yang lemah berpotensi menjerumuskan muda-mudi ini pada keborosan dan krisis finansial.

Ringkas dan penghematan waktu mendorong Dipa Tarigan, pemuda berumur 26 tahun di Jakarta, mulai menggunakan uang elektronik OVO, September lalu.

OVO adalah uang elektronik keluaran PT Visionet International di aplikasi Grab. Setiap hari Dipa kini setidaknya bertransaksi non-tunai Rp50 ribu untuk berbelanja makanan.

"Saya tidak perlu capai keluar kantor, hemat tenaga, banyak variasi makanan. Lebih memudahkan," ujar Dipa.

"Tapi memang jadi konsumtif, bawaannya mau jajan terus. Malas pergi jalan, tinggal lihat ponsel, jadi malas ke mana-mana," imbuhnya.

Manfaat uang elektronik yang sama dirasakan Marguerite Afra, pemudi di Jakarta. Setiap bulan ia mengalokasikan minimal Rp600.000 ke Go-Pay, uang elektronik di aplikasi Go-Jek, milik PT Dompet Anak Bangsa.

Namun Afra mengontrol pengeluarannya di Go-Pay. Menurutnya, manajemen keuangan penting mencegah konsumsi berlebihan, seiring kemudahan berbelanja tanpa uang tunai.

"Banyak orang tidak mencari tahu dan belum menerapkan perencanaan finansial. Itu tergantung masing-masing orang," ucapnya.

Merujuk data Bank Indonesia (BI), saat ini terdapat 33 produk uang elektronik. Selain Gopay dan OVO, ada Tcash (Telkomsel), E-cash (Bank Mandiri), hingga Sakuku (BCA).

Yusuf Mansur, dai sekaligus wirausahawan produk Islami turut bermain di sektor ini dengan menerbitkan uang elektronik Paytren lewat PT Veritra Sentosa Internasional.

Data BI menunjukkan, nominal transaksi uang elektronik dari Januari sampai November 2019 mencapai Rp41,3 triliun.

Sebagai perbandingan, total nominal transaksi tahun 2017 hanya Rp14,3 triliun. BI menyebut transaksi karcis tol yang kini menerapkan sistem pembayaran elektronik memicu lonjakan itu.

Pada saat yang sama, penyelenggara uang elektronik juga gencar mempromosikan pengembalian sejumlah uang (cashback) untuk nominal belanja tertentu.

"Sistem pembayaran yang makin mudah, secara teori memang mendorong orang untuk bertransaksi," kata dosen ilmu ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih.

Namun Lana menyebut kemudahan dan keringkasan transaksi uang elektronik menyimpan resiko, terutama generasi muda yang belum begitu mapan dalam karier dan penghasilan.

Ia mengatakan transaksi jual-beli barang atau jasa yang ringkas rentan membuat konsumen melupakan tabungan atau investasi.

"Anak muda tidak mau beli mobil karena ada layanan Go-car atau Grab Car. Pada usia tertentu mereka akan baru sadar, uang saya selama ini habis belum punya aset."

"Pembayaran yang serba virtual juga kerap tidak terasa, uang tiba-tiba habis," tuturnya.

Lana mendorong perusahaan penyedia uang elektronik tak hanya mendorong transaksi, tapi juga mengedukasi penggunanya tentang perencanaan finansial. Alasannya, pengelolaan keuangan pribadi selama ini luput diajarkan lembaga pendidikan.

"Sebagai bagian dari tanggungjawab sosial, perusahaan bisa membuat sistem peringatan kalau pengeluaran pengguna sudah mendekati batas kemampuan finansial," kata Lana.

Peraturan Bank Indonesia 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik tidak membebankan tanggung jawab literasi finansial kepada perusahaan penerbit.

Bagaimanapun, kata Head Corporate Affair Go-Pay, Winny Triswandhani, pencatatan pengeluaran dalam sistem uang elektronik sebenarnya membantu konsumen mengatur keuangan.

Di sisi lain, Winny menyebut program cashback dan rabat yang ditawarkan Go-Pay turut membantu konsumen menyimpan lebih banyak uang.

"Kalau ambil Rp500.000 tunai, dua hari kemudian hilang, tidak tahu digunakan untuk apa saja. Kalau nontunai, semua transaksi tercatat. Dari situ kita bisa lebih bertanggung jawab pada pengeluaran." ujar Winny.

Sekitar 70% pengguna Go-Pay kini berusia antara 15 sampai 35 tahun. Pengguna uang elektronik ini terus bertambah sejak diterbitkan April 2016.

Winny mengatakan Go-Pay akan terus memperluas ekspansi bisnis dengan menggandeng lebih banyak mitra. Targetnya, Go-Pay bisa digunakan untuk membayar segala kebutuhan, dari pulsa, tagihan listrik hingga donasi sosial.

Mengutip survei Global Findex, Winny menyebut 70% penduduk Indonesia menerima upah secara tunai.

"Masih sangat banyak yang belum tersentuh uang elektronik. Potensi bisnis ini masih sangat besar," tuturnya.

Di sisi lain, konsumsi berlebihan juga berpotensi terus terjadi di kalangan anak muda.

Survei Universitas George Washington dan menunjukkan, hanya 24 persen milenial yang menganggap penting dan memahami pengelolaan dasar keuangan pribadi.