Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama Tolak Impor Garam, Ini Tuntutannya
- ANTARA FOTO/Saiful Bahri
VIVA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) Witjaksono mengatakan, pihaknya menolak impor garam yang akan dilakukan Pemerintah tahun ini.
Penolakan impor garam tersebut merupakan keputusan bersama para pengurus wilayah dan cabang serta nelayan yang terhimpun bersama SNNU dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Rote hingga Kepulauan Talaud.
Dia menegaskan, tahun 2021 produksi garam nasional adalah 3 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional berkisar pada angka 4 juta ton. Impor tersebut sebesar itu ditegaskan akan merugikan para petani dalam negeri khususnya warga NU.
Baca juga: Tiga Fokus Utama Anindya Bakrie Jika Terpilih Jadi Ketum Kadin
"Jika kita impor 3 juta ton lalu petani mau makan apa? Anak-anak mereka mau sekolah pakai apa? Jika dibiarkan terus seperti ini maka petani adalah pihak yang dirugikan. Sehingga para petani berpotensi alih profesi dan lahan garam berpotensi alih fungsi," ujar Witjaksono dalam konferensi pers secara virtual, Rabu 24 Maret 2021.
Dia menegaskan, ketimbang impor garam Pemerintah lebih baik meningkatkan produksi garam nasional. Dengan cara pemberdayaan petani hingga moderenisasi pertanian garam.
"Dan memberantas mafia garam serta pencari rente impor garam," tambahnya.
Pemerinah tegasnya, diminta berhenti melakukan impor garam dalam target dua tahun sejak hari ini atau maksimal pada bulan Agustus tahun 2023. Standarisasi harga garam nasional minimal Rp700-1.000 per kg juga didesak untuk segera ditetapkan Pemerintah.
"Mendesak Pemerintah untuk berpihak pada petani garam dan masyarakat kecil, melakukan pendampingan, intensifikasi produksi, dan pembukaan lahan garam mencapai baru hingga 100 ribu hektare," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setidaknya ada 40-60 juta masyarakat Nahdliyin yang tinggal di pesisir, berprofesi sebagai nelayan, pekerja dan pelaku usaha kelautan dan perikanan. Karena itu, Pemerintah diharapkan dapat mengakomodir desakan ini.
"Selama ini masyarakat kecil, terutama warga Nahdliyin hanya didjadikan sebagai objek di dalam perpolitikan nasional dan selalu termarjinalkan tatkala bicara perekonomian nasional," tegasnya.