UU HPP Perluas Potensi Pajak, Bakal Dongkrak Penerimaan Negara
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Sahnya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dinilai menjadi bagian dari proses reformasi struktural sistem perpajakan yang tepat. Karena diharapkan dapat mendorong sistem perpajakan ke arah yang lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Dengan berlakunya uu itu diharapkan pendapatan negara dari sektor pajak diharapkan dapat ditingkatkan. Meski demikian ada beberapa hal yang masih harus disempurnakan, seperti adalah perluasan basis pajak khususnya di sejumlah sektor ekonomi, salah satunya pertambangan.
“Mudah mudahan dengan disahkannya HPP, pemerintah dapat menggenjot perpajakan di sektor tambang. Dengan adanya HPP kita harapkan Pemerintah segera mengejar perusahaan pertambangan yang selama ini belum membayar pajak,” papar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Berly Martawardaya, di Jakarta, dikutip dari keterangannya, Kamis, 21 Oktober 2021.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu juga mengatakan, Pemerintah RI juga bisa meniru Amerika Serikat dan Inggris yang memasukan gula dan minuman yang mengandung kadar gula tinggi serta bersoda sebagai salah satu objek pajak baru, atau yang wajib dikenai cukai.
Potensinya besar, mengingat, sebagian besar rakyat Indonesia mengkonsumsi gula. Terlebih lagi sebagian besar rakyat Indonesia saat ini biaya perawatan kesehatan dan rumah sakitnya sudah menggunakan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Artinya, biaya pengoabatan penyakit yang disebabkan oleh gula, perawatan dan pengobatan kesehatannya menggunakan BPJS yang ditanggung negara, bisa ditekan.
“Tujuan pengenaan cukai adalah untuk mengurangi konsumsi dari benda atau zat yang dikenai cukai itu sendiri oleh Pemerintah. Sehingga dengan dikenai cukai konsumsinya jadi berkurang. Karena itu, pengenaan cukai terhadap gula dan rokok sudah semestinya dilakukan Pemerintah agar konsumsi terhadap rokok maupun gula tidak berlebihan,” tambahnya.
Menyinggung soal rokok, Berly melihat, rokok merupakan salah satu produk yang memang harus dikenakan cukai. Hal ini diperlukan agar ada pengendalian dan pengurangan terhadap konsumsi rokok. Berapa persentase kenaikan cukai rokok setiap tahunnya perlu perhitungan yang lebih matang.
Namun demikian, Berly menegaskan, adalah hal yang tidak tepat bila salah satu jenis produk rokok seperti sigaret keretek tangan (SKT) tidak dinaikkan cukainya. Menurutnya, karena SKT juga banyak dikonsumsi masyarakat perokok, maka meski produksinya menggunakan tangan bukan mesin. Kalau Pemerintah menaikkan cukai rokok, SKT juga termasuk yang perlu dinaikkan cukainya.
“Pengenaan dan menaikakn cukai rokok terhadap SKT tujuannya untuk menurunkan konsumsi rokok SKT. Jangan sampai nol persen kenaikan cukai rokok SKT,” papar Berly.
Pendapat berbeda disampaikan Dosen dan Peneliti Ekonomi pada Pusat Kajian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeesitas Brawijaya (PPKE FEB UB) Imaninar. Menurutnya tidak selamanya pengenaan cukai dapat mengurangi konsumsi terhadap zat maupun barang yang dikenai cukai. Rokok salah satunya.
“Artinya, kenaikan harga rokok yang selama ini terjadi tidak serta merta dapat menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Hal itu terjadi mengingat masyarakat memiliki alternatif lain dalam mengkonsumsi rokok dengan harga yang murah, yaitu rokok ilegal,” tegas Imaninar dalam kesempatan berbeda.
Lebih lanjut Imaninar menyampaikan, kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) dan kenaikan cukai rokok selama ini faktanya lebih berdampak negatif pada industri hasil tembakau (IHT) daripada penurunan angka prevalensi merokok.
“Setiap 1 persen kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9 persen dalam jangka pendek,," tambahnya.
Imaninar juga menegaskan, negara dan masyarakat akan lebih dirugikan lagi apabila pemerintah menerapkan kebijakan simplifikasi cukai. Ratusan industri rokok kelas menengah bawah akan mati. Itu berarti negara akan kehilangan pendapatan dari cukai rokok dan pajak pajak lainnya yang dihasilkan dari sektor IHT ini.
Selain itu, otomatis, ribuan tenaga kerja di sektor IHT akan kehilangan lapangan pekerjaan. Karena itu, di masa pendemi yang diikuti resesi ekonomi ini, Imaninar meminta, Pemerintah tidak mengambil keputusan menaikkan dan melakukan simplifikasi tier cukai rokok.
“Kerugian (Dari simplifikasi tier cukai rokok) adalah akan banyak pelaku industri kecil dan menengah, pabrikan rokok golongan II dan golongan III yang tidak mampu mempertahankan industrinya," tegasnya.