Pemerintah Pastikan Instrumen Pajak Bukan Hanya Kejar Penerimaan

Ilustrasi pembayaran pajak.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Wakil Menteri Keuangan RI Suahasil Nazara mengungkapkan, sejak awal 2020 Pandemi COVID-19 telah membuat perekonomian Indonesia menjadi tertekan yang bermuara pada penurunan penerimaan pajak.

Karena itu Suahasil mengungkapkan, Kementerian Keuangan menetapkan fungsi pajak tidak hanya sebagai penerimaan negara. Melainkan instrumen untuk menjaga dunia usaha.

“Kita mendesain pajak bukan hanya mengambil dan mengumpulkan penerimaan bagi perekonomian, tapi pajak kita gunakan untuk memberikan insentif sehingga dunia terus melakukan kegiatan," ujar Suahasi dalam webinar Taxprime, Kamis, 11 November 2021.

Suahasil mengungkapkan, secara konsisten kementerian keuangan menghitung berapa besar belanja perpajakan. Artinya, berapa besar penerimaan yang tidak jadi diterima oleh Pemerintah karena memberikan kekhususan-kekhususan kebijakan, sehingga pajak-pajak ini tidak perlu dibayar oleh dunia usaha atau masyarakat.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.

Photo :
  • Fikri Halim/VIVAnews.

"Ini kombinasi yang kita ambil secara sadar, karena kita tahu bahwa dunia usaha akan kehilangan demand. Department store, misalnya, yang biasa biasanya di beli oleh 1.000 pelanggan, tiba-tiba hanya didatangi oleh 50-70 orang. Penerimaan yang turun musti diberikan insentif bagi dunia usaha agar terus berlanjut karena tidak dibebani oleh pajak,” kata Suahasil.

Adapun insentif yang diberikan pemerintah masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), meliputi pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21, PPh 22 impor, dan PPh 25. Memasuki tahun 2021, pemerintah bahkan menambah pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan motor dan properti.

Sementara itu, Senior Advisor TaxPrime Robert Pakpahan, yang juga Direktur Jenderal Pajak tahun 2017-2019, optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2022 mendatang optimistis akan jauh lebih baik didukung dengan kinerja ekspor yang kuat, pembukaan sektor-sektor prioritas yang semakin luas yang diiringi dengan stimulus kebijakan yang berlanjut. 

“Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta Kementerian Investasi/BKPM telah bekerja keras melakukan langkah-langkah inovatif dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, terutama pada kegiatan ekspor-impor dan investasi,” ujarnya.

Baca juga: RI Dapat Investasi UEA Rp633 Triliun, Bahlil: Bukan Kaleng Kerupuk

Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan kebijakan insentif super-deduction yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019. PP ini mengatur dua hal, pertama pengurangan penghasilan bruto bagi Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pendidikan vokasi paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. 

Kedua, kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) dari paling tinggi 100 persen dari kegiatan yang digunakan. 

“Kebijakan super-deduction ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing industri nasional, mendorong industri berbasis teknologi, serta mempercepat industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0,” tambahnya.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan.

Photo :
  • Arrijal Rachman/VIVA.co.id.

Selain itu, apabila dicermati ternyata super-deduction juga dapat menjadi solusi mitigasi atau dapat mencegah sengketa perpajakan terkait transfer pricing, khususnya bagi multinational enterprise. 

“Dengan memanfaatkan fasilitas super-deduction ini multinational enterprise dapat merealokasikan fungsi aset dan risiko atas kegiatan litbang dan pelatihan ke Indonesia,” kata Robert. 

Melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pemerintah mendorong peningkatan investasi melalui penangguhan dan pembebasan bea masuk pajak dalam rangka impor, fasilitas kawasan bebas free trade zone, dan sebagainya. 

“Fasilitas tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekspor dan impor guna pertumbuhan perekonomian Indonesia,” ungkapnya.