Serangan Siber ke Industri Keuangan Naik 2 Kali Lipat pada 2021

Serangan siber.
Sumber :
  • www.pixabay.com/bykst

VIVA – Melejitnya ekonomi dan keuangan digital saat ini juga dibarengi oleh tingginya ancaman keamanan siber. Hal itu berpotensi menimbulkan risiko besar bagi bisnis perbankan digital di beberapa tahun mendatang.

Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian rata-rata tahunan yang dialami sektor jasa keuangan secara global yang disebabkan oleh serangan siber yaitu senilai US$100 miliar atau sekitar Rp 1.433 triliun.

Direktur Penelitian, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mohamad Miftah menyatakan, industri keuangan atau perbankan merupakan sektor yang ada di peringkat pertama yang mendapatkan serangan siber.

"Serangan siber tentunya akan mencari keuntungan. Serangan siber di Indonesia hingga September 2021 sudah meningkat hampir 2 kali lipat dari tahun 2020," kata Miftah dalam webinar bertajuk 'When Security Becomes a High Priority', dikutip Kamis, 13 Januari 2022.

Miftah menjelaskan, sejumlah regulasi telah dimiliki OJK guna menjaga keamanan siber di industri keuangan. Untuk bank umum, ada empat pilar utama yang harus dilakukan. Pertama, melakukan pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris.

Direktur OJK Mohamad Miftah.

Photo :
  • Tangkapan layar.

Kedua, kecukupan kebijakan, standar, dan prosedur penggunaan. Ketiga, proses manajemen risiko terkait TI. Keempat, sistem pengendalian dan audit intern atas penyelenggaraan TI.

Sementara untuk BPR, regulasi itu mulai dari ruang lingkup penyelenggaraan teknologi informasi, wewenang dan tanggung jawab terkait penyelenggaraan teknologi informasi. 

Kemudian, kebijakan dan prosedur penyelenggaraan teknologi informasi, serta penyelenggaraan teknologi informasi bekerja sama dengan penyedia jasa. Selanjutnya, pengamanan penyelenggaraan teknologi informasi termasuk kerahasiaan data pribadi nasabah, dan fungsi audit intern penyelenggaraan teknologi informasi.

Meski begitu, dia menyatakan bahwa kemungkinan seragam siber akan semakin meningkat di tahun 2022. Karena itu, selain aturan pencegahan serangan siber, literasi dan edukasi nasabah perbankan soal bahaya serangan siber juga perlu ditingkatkan.

"Karena dengan berkembangnya teknologi saat ini, kelemahan nasabah akan mudah dicari dan didapatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Maka edukasi dan literasi pengguna layanan perbankan harus ditingkatkan," tegasnya.

Sementara itu, General Manager Divisi Keamanan Informasi BNI, Andri Medina mengatakan, serangan siber selama pandemi 2021 trennya fluktuatig. Selama tiga bulan pertama di 2021, serangan siber melonjak, namun di akhir 2021 terjadi penurunan.

Dia menjabarkan, beberapa serangan siber yang dilakukan oleh phiser atau orang yang mengelabui nasabah perbankan. Salah satu yang marak terjadi ialah adanya domain-domain palsu. 

Misalnya ada beberapa orang yang mendapatkan link phising, kemudian diarahkan untuk membuka domain-domain tersebut. Ada juga yang serangan siber atau penipuan menyasar ke media sosial. 

Di media sosial, pelaku akan membuat beberapa akun palsu media sosial yang menyerupai akun asli. Dia kemudian mengaku seolah-olah mengaku sebagai admin suatu institusi.

"Apabila kurang waspada, nanti nasabah akan menjadi korban karena dipandu atau terjebak di dalam tipu muslihat orang yang tidak bertanggung jawab," kata Andri.

Nasabah pun diminta waspada dengan aktivitas anomali pada ponsel, tidak menyampaikan nomor telepon pada media sosial, dan manage limitasi transaksi. Upaya itu sebagai langkah mitigasi terjadinya serangan siber.

Selanjutnya, password yang sama tidak boleh digunakan pada banyak aplikasi. Data CC tidak disimpan pada aplikasi e-Commerce, dan tidak menyampaikan OTP ke pihak lain termasuk pihak bank.

"Saat ini, bank sedang mengarah ke digitalisasi. Pandemi COVID-19 membuat proses transportasi perbankan ke arah digitalisasi jauh lebih cepat. Antisipasi serangan siber harus ditingkatkan," ujarnya.

Koordinator Fungsi Manajemen Risiko dan Pengukuran Tingkat Kematangan Keamanan Siber dan Sandi Sektor keuangan, Perdagangan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Baderi mengatakan, keamanan siber menjadi suatu hal yang sangat penting. Isu ini tidak hanya di Indonesia, tapi di regional ASEAN dan dunia.

Menurutnya, serangan siber pada top 10 industri di tahun 2020 terjadi di sektor keuangan yaitu 23 persen. Industri manufaktur ada di peringkat kedua dengan 17,7 persen dan sektor energi di peringkat ketiga dengan 10,2 persen.

Berdasarkan data IBM Security X-Force 2021, 28 persen serangan siber pada industri keuangan. Seperti, server access attack dan 10 persen serangan siber berupa ransomware. 

"Kerugiannya cukup besar, yaitu mencapai US$123 juta," kata Baderi. 

Baderi memaparkan, Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling sering dimanfaatkan untuk aktivitas phising. Sementara itu, Indonesia menjadi negara yang paling banyak menjadi korban penyebaran malware.

Lebih lanjut dia mengatakan, sumber utama serangan siber di Indonesia yaitu malware, meliputi trojan, botnet, dan sebagainya. Kedua, motif utama mencuri data milik korban, berupa identitas, kredensial, dan data berkaitan dengan informasi keuangan milik nasabah. 

Ketiga, melibatkan lebih dari satu peran atau entitas untuk menjalankan aktivitas kriminal di ranah siber. Mayoritas menggunakan infrastruktur crime as aservice.

"Keempat, aktor utama selalu menggunakan saluran komunikasi yang aman untuk melindungi identitasnya. Mengungkap aktor utama atau sindikat yang terlibat dengan kasus kriminal jenis ini selalu menjadi tantangan berat," tutupnya.