Penurunan Biaya Interkoneksi Dinilai Untungkan Operator

Ilustrasi kartu SIM operator telekomunikasi.
Sumber :
  • wisegeek.com

VIVA.co.id – Penurunan biaya interkoneksi masih menjadi pro kontra bagi industri telekomunikasi. Padahal, aturan tersebut telah diberlakukan dalam bentuk surat edaran yang diberikan oleh pemerintah.

Dalam sebuah diskusi, Ibrahim Kholilul Rohman, doktor ilmu komunikasi dan teknologi asal Indonesia lulusan Swedia, mengatakan bahwa penurunan biaya interkoneksi seharusnya tidak hanya menguntungkan salah satu atau dua pihak saja. Bahkan aturan biaya itu memang sudah seharusnya diatur oleh pemerintah.

Namun sayang, Leonardo Henry Gavaza, analis saham dari Bahana Sekurities, menyebutkan, aturan baru tentang penurunan biaya interkoneksi itu disebut hanya akan menguntungkan dua operator tertentu saja, Indosat dan XL.

Menurut Leo, dengan penghitungan baru interkoneksi, Indosat dan XL bisa monetisasi jaringan serta menghemat biaya interkoneksi yang selama ini mereka keluarkan.

"Dari laporan keuangan 2015, tercatat Indosat membukukan pendapatan interkoneksi sebesar Rp1,9 triliun. Namun beban interkoneksi yang dikeluarkan Indosat mencapai Rp2,3 triliun atau rugi lebih dari Rp 400 miliar. Sedangkan XL mencatat pendapatan interkoneksi Rp2,391 triliun. Sementara bebannya Rp2,320 triliun atau untung Rp70 miliar," kata Leonardo di Jakarta, Selasa malam, 16 Agustus 2016.

Dengan penurunan biaya interkoneksi, dari Rp250 per menit menjadi Rp204 per menit, kata Leo, maka berapa penghematan yang bisa di dapat oleh kedua operator tersebut.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Program Studi Telekomunikasi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joeseph Matheus Edward mengatakan, dalam penetapan biaya interkoneksi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) seharusnya memenuhi asas keadilan. Kemkominfo seharusnya mengakomodasi kepentingan seluruh pemain industri telekomunikasi, terutama aturan yang berkaitan dengan komitmen operator saat mengajukan izin investasi, yakni pembangunan jaringan (modern licencing) di seluruh Tanah Air.

Menurut Ian, dengan keluarnya Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 itu, Kemkominfo telah menabrak prosedur yang ada, khususnya dalam PP 52 tahun 2000 pasal 23. Pasal itu menyatakan, penetapan biaya interkoneksi harus berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil. Artinya, penetapan biaya interkoneksi harus transaparan dan menggunakan perhitungan berbasis biaya (cost base) yang harus disepakati bersama oleh seluruh operator, tanpa terkecuali.

“Jika kita mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 yang mengatakan biaya interkoneksi harus disepakati bersama. Itu berarti, semua operator harus setuju. Jika ada salah satu operator yang tidak setuju, maka aturan tersebut harus batal demi hukum,” kata Ian.

Selain itu, lanjut Ian, dalam penetapan biaya interkoneksi pun, pemerintah seharusnya memasukkan biaya pembangunan (capital expenditure/capex), unsur risiko, quality of service dan biaya operasional.Karena, sejatinya, penetapan biaya interkoneksi itu adalah demi keberlanjutan pembangunan jaringan dan menjaoga kualitas layanan telekomunikasi di seluruh Nusantara.

Sebelumnya, Fahmy Radhi, pengamat ekonomi dan bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM) menambahkan, biaya interkoneksi sejatinya hanya cost recovery, yang pada praktiknya digunakan operator untuk bisa terus membangun jaringan dem menjaga kualitas layanannya.

Jika cost recovery itu dibayarkan panggilan sesuai dengan biaya yang sebenarnya, lanjut Fahmi, otomatis kemampuan operator tersebut untuk membangun dan menjaga kualitas layanannya akan berkurang. "Artinya pelanggan juga yang akan dirugikan," ujar Fahmi.

Oleh karena itu, lanjut Fahmi, penurunan biaya interkoneksi harus mengacu pada hakikat biaya interkoneksi yang berbasis biaya, yakni biaya yang dikeluarkan operator untuk membangun dan menjaga kualitas layanannya. Namun, elastisitas penurunan harga ditentukan oleh masing-masing perusahaan telekomunikasi, mengingat pembangunan infrastruktur jaringan memang membutuhkan biaya yang besar.