Ada Perempuan Indonesia di Balik Kesuksesan Perusahaan Software Dunia

Irma Kasri.
Sumber :
  • dw

Irma Kasri menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Andalas jurusan akuntansi. Ketika itu, dia sudah pergi magang di kota Frankfurt, tepatnya tahun 2008, lewat sebuah organisasi internasional. Sekarang, menurut Irma, kesempatan untuk magang ke luar negeri lebih banyak lagi tergantung bidang apa.

Irma bercerita, yang mewawancara ketika ia melamar untuk magang “penasaran,” karena Irma memakai kerudung. Orang itu rupanya menikah dengan orang asal Tunisia, “dan dia anggap, wanita muslimah tidak boleh pergi ke mana-mana.” Tapi kemudian dia harus menangani aplikasi dari Irma, jadi mungkin orang itu berpikir “Nih cewek udah ke mana-mana, terus mau pergi lagi ke Jerman,” begitu cerita Irma sambil tertawa.

Jadi orang itu kemudian bertanya kepada Irma, apakah dia tidak apa-apa pergi ke mana-mana? “Terus aku bingung jawabnya,” kata Irma, dan menambahkan, “Loh, emang kenapa? Ga masalah kok. Selama ada bumi yang dipijak, kayaknya ga apa-apa deh.” Walaupun awalnya ada pertanyaan mengherankan, akhirnya Irma diterima.

Jermanlah yang membuka pintu

Sebetulnya Irma juga tidak merencanakan ke Jerman, karena tidak tahu bahasanya pula. Dia waktu itu juga melamar ke beberapa negara muslim, misalnya Uni Emirat Arab. “Tapi mungkin memang udah jalannya aja, ya.” Yang memberikan tanggapan ternyata Jerman. “Jadi saya ke Jerman tanpa ngerti apa-apa,” kata Irma sambal tertawa. Memang perusahaan tempat ia magang, Pricewaterhouse Coopers (PWC) juga menawarkan Irma belajar bahasa Jerman. Tapi karena saat itu kebetulan juga ada manajer dari AS, akhirnya mereka lebih banyak memakai bahasa Inggris.

Walaupun berkuliah S1 di bidang akuntansi, sebetulnya awalnya minat Irma adalah berkuliah di bidang psikologi. “Tapi ga keterima,” katanya sambal tertawa. Untungnya, ketika berkuliah akuntansi Irma sudah aktif di sebuah organisasi, sehingga dia bisa melihat cara pengaplikasian akuntansi. “Jadi saya ngerti, sebetulnya akuntansi itu ga hanya membahas buku doang. Jadi saya lebih mengambil ke ‘controlling’ atau ‘budgeting’nya.”

Dari situ Irma menyadari, akuntansi berguna untuk bekerja di bisnis apapun. Selain itu, ketika magang dan ditempatkan di bidang “human resource”, dia tidak menemui kesulitan dengan jurusan yang dia tempuh di universitas. Karena bidang sumber daya manusia, ada juga berkaitan dengan uang dan pajak. Selain itu, dia memang juga tidak tertarik untuk kerja di bank.

Setelah selesai magang di Frankfurt, sebetulnya Irma ingin melanjutkan kuliah S2, tetapi waktu itu, tahun 2009 terjadi gempa besar di Padang. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, karena tidak berguna pula, kalau berusaha tinggal di Jerman, ketika pikiran terus berada di kampung halaman.

Juga mengadu nasib di Jakarta

Setelah berada di Padang selama sekitar empat bulan, Irma mengadu nasib di Jakarta. Sayangnya, lamaran untuk bekerja di PWC tidak diterima. Tapi dia diterima bekerja di kantor ASEAN, dan kebetulan dalam kerjasama dengan badan Jerman GIZ. Waktu itu Irma sudah terpikir, “Wah, kok gua Jerman lagi, ya?” Dan dia menyelesaikan dua tahun proyek di GIZ.

Setelah itu dia berpikir, kalau ingin sekolah lagi, harus sekarang. “Udah ga bisa belajar soalnya, S2 di atas 27 tahun,” kata Irma sambal tertawa. Jadi Irma melamar program S2. Sebetulnya, ia ingin yang lokasinya di dekat Frankfurt, yang terletak di negara bagian Hessen. Namun demikian, ia diterima di Fachhochschule Worms, di negara bagian Rheinlad Pfalz, untuk jurusan “international business administration.” Jadi Irma bertolak ke Worms tahun 2012.

Setelah melewati semester pertama, Irma langsung berusaha mencari pekerjaan. “Karena kalau ga kerja, saya ga bisa mikir. Karena udah ter‘setup’ kerja empat tahun.” Irma bercerita, semester satu kuliah belum terlalu berat. Tapi di semester dua dia merasa sengsara, karena ada penjurusan. Di satu mata kuliah, harus membuat paper, presentasi dan ujian tertulis. “Udah belajar, tapi ga masuk-masuk.” Irma jadi berpikir, “Apa ini faktor usia?” Untungnya, ada beberapa temannya yang sudah sempat bekerja beberapa tahun sebelum mulai berkuliah lagi, mengalami hal sama. “Ah, saya bukan yang pertama,” kata Irma dengan lega.

Niat menetap di Jerman timbul belakangan

Waktu pergi ke Jerman untuk memulai kuliah S2, sebetulnya Irma belum punya niat dan rencana untuk menetap di Jerman. Dia hanya berencana untuk memperdalam di bidang bisnis, dan mencari “student job” di perusahaan internasional. Tapi ketika itu dia sudah mulai bekerja di SAP, perusahaan Jerman yang membuat perangkat lunak untuk operasi bisnis dan sumber daya perusahaan. Dia merasa perusahaan itu cocok dengan dirinya dari segi budaya perusahaan. Selain itu banyak yang bisa dia pelajari di sana, dan bisa berpindah-pindah organisasi di dalam satu perusahaan.

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai “working student” di Jerman, Irma berpikir, sebaiknya membangun karier dulu di Jerman, sebelum kembali ke Indonesia. Karena menurut pengalamnnya, setelah kembali ke Indonesia dulu, dia perlu sekitar delapan bulan untuk mendapat pekerjaan di Indonesia. Dia bercerita, ketika melamar dulu, saat wawancara ada perusahaan yang mengatakan dengan terus terang, lebih memilih lulusan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung atau Universitas Gadjah Mada.

Tapi tidak semudah itu. Walaupun sudah beberapa tahun jadi “working student” dan berniat untuk mendapat kontrak untuk jadi pekerja tetap, manajer bagian tempat Irma bekerja pindah perusahaan, dan walaupun sudah dijanjikan akan dapat kontrak, manajer baru membawa orang kepercayaannya, sehingga akhirnya Irma harus mencari pekerjaan lain.

Menulis 120 lamaran sudah standar

Dalam proses mencari pekerjaan baru, Irma menulis lamaran sangat banyak. Dia memperhitungkan, apa yang harus ditulis dalam lamaran, mengingat dia berkuliah S2 jurusan bisnis, tetapi pengalaman kerjanya beragam. Itu juga mempengaruhi pemilihan perusahaan yang akan dia lamar. Dia membuat lamaran 10 buah per minggu. Tetapi mengingat ketika bekerja di bagian “human resource” dia juga mengurus lamaran orang-orang yang berminat untuk magang, dia kira-kira bisa mengetahui pelamar mana yang dipilih.

Untuk setiap lamaran orang harus mengadakan riset. Sebaiknya bagaimana membuatnya? Pekerjaannya di bidang apa? Sekarang juga ada jejaring seperti LinkedIn, di mana orang bisa melihat siapa orangnya, sehingga lamaran harus diformulasikan dengan baik. Ketika itu dia mendapat dua panggilan dua kali di Swiss, tapi tidak jadi karena masalah visa.

Akhirnya Irma mengikuti seminar di Arbeitsamt, atau badan tenaga kerja Jerman. Di sana dia mendapat informasi, standarnya, setelah orang membuat lamaran 120 buah, dalm jangka waktu enam bulan, baru diterima di suatu perusahaan. Ketika bergumul soal lamaran, banyak pikiran bermunculan di benaknya. “Apa karena gua pake foto, ya? Apa karena gua pakai kerudung? Karena itu ga ada yang mau terima? Udah gitu, bahasa Jermannya ga bagus.” Mungkin ada sekitar 400 lamaran yang ia tulis ketika itu. Tapi yang penting bagi dia, pokoknya mendapat pekerjaan. “Karena rasanya seperti anti klimaks. Selama kuliah bekerja, tetapi setelah kuliah tidak mendapat pekerjaan.”

Yang jelas dia belajar beberapa hal bagus ketika itu. Antara lain harus sabar walaupun banyak tantangan. Selain itu, dia belajar bahwa di Jerman banyak sekali perusahaan kecil, yang walaupun kecil tetapi nomor satu di dunia. Seperti perusahaan penyedia oksigen di kota Kiel, juga berbagai perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Dan mereka juga berlokasi di kota-kota kecil di Jerman. Jadi, kalau menengok kembali sekarang, Irma merasa, masa itu bukan masa yang buruk.

Akhirnya kembali ke perusahaan sama

Akhirnya, Irma mendapat posisi di SAP lagi. Dan bidangnya kembali menyangkut dengan akuntansi tepatnya controlling. Ketika itu, mereka butuh orang yang bisa masuk dalam waktu singkat, yaitu untuk menggantikan pegawai yang cuti hamil. Setelah pekerjaan itu selesai, ia mendapat pekerjaan menggantikan staf lain lagi yang juga cuti hamil.

Selama itu, Irma berpikir, berpindah-pindah bagian tidak menguntungkan dirinya yang sedang mencari pekerjaan tetap. Tetapi setelah berbicara dengan bagian manajemen, dia mendapat informasi bahwa itu adalah sesuatu yang menguntungkan, karena dia membawa pengetahuan dari berbagai bidang. Seperti halnya juga, walaupun harus menulis 400 lamaran, dia memetik berbagai pelajaran berguna dari proses itu. “Engga hanya ‘resultnya’ tapi prosesnya yang penting,” begitu kesimpulan yang diambil Irma.

Di SAP jabatan Irma adalah: “business development senior specialist”, dan timnya bernama: “demand management office”. Pekerjaannya adalah mengurus proses di tahap awal sebelum proses “sales” sebuah produk. Ia menjelaskan, dari bulan Januari hingga Juni dia banyak mengurus apa yang disebut “account planning management” jadi program agar orang-orang bagian “sales” bisa membuat “planning” sendiri untuk menjual produk SAP ke perusahaan tertentu, dan timnya juga menetapkan jumlah target hasil penjualan yang ingin dicapai.

Jadi tim di mana Irma bekerja mengorganisir program untuk penjualan, memonitor pencatatan hasil yang tercapai, menyediakan sumber-sumber untuk kolaborasi antara berbagai “stakeholders” yang bisa berada di berbaga negara. Sebaliknya, paruh kedua setiap tahun adalah masa untuk memformulasikan strategi untuk perencanaan tahun berikutnya, termasuk riset untuk menentukan ke manakah produk sebaiknya dijual.

Perbedaan kebudayaan jelas jadi tantangan

Tantangan yang jelas di tempat kerja di Jerman, tentu “culture difference”. Tapi itu juga sudah dirasakan Irma ketika bekerja di tanah air, mengingat koleganya berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia. Jadi tantangan yang dirasakan Irma adalah terhadap dirinya sendiri, yang ia rasa sulit mengemukakan pendapat akibat asuhan yang didapat dulu. Ia lalu berusaha mengetahui sebanyak mungkin tentang sistim dan angka. Sehingga jika mengemukakan pendapat, akan didengarkan orang. “Jadi ‘positioning’ diri sendiri dulu, begitu loh, supaya idenya bisa didengarkan orang lain, atau diperhitungkan.”

Selain itu dia kerap berurusan dengan orang baru dari banyak negara karena salah satu tugasnya adalah membimbing orang yang magang. Jadi cara pendekatan dengan orang baru harus terus-menerus dipoles. “Ngomong sama orang Inggris beda, sama orang Jerman beda, sama orang Afrika beda lagi.” Jadi harus bisa mengerti perbedaan kebudayaan yang bisa menguntungkan “positioning” di pekerjaan, demikian dijelaskan Irma.

Kalau dalam kehidupan sehari-hari, tantangannya adalah bahasa Jerman, karena masih kurang lancar. Terutama jika kebetulan berkomunikasi dengan orang lanjut usia “yang dialek Jermannya kentel,” kata Irma sambal tertawa. Tapi kota Heidelberg, tempat Irma bermukim, bersifat cukup internasional dan warganya terbiasa bersikap terbuka, mengingat dulu di kota itu ada markas tentara AS, dan kota itu juga menerima sekitar 10.000 pengungsi Suriah ketika gelombang pengungsi datang di tahun 2015. Jadi di kota itu cukup ramah bagi pengguna Bahasa Inggris.

Harus belajar menghargai diri sendiri

Pelajaran terbesar yang diperoleh Irma sejak tinggal di Jerman adalah: menjadi dan menghargai diri sendiri. Karena orang Indonesia tentu minoritas di Jerman. Selain itu, ia jadi menyadari bahwa orang Jerman banyak yang bersikap sangat terbuka dan tidak dingin seperti “stereotype” yang sering disebut terhadap orang Jerman. Ia bercerita, ketika datang pertama kali di Jerman, ia tinggal bersama “oma-opa” berusia 70-an yang tidak bisa bahasa Inggris, sedangkan dia tidak bisa bahasa Jerman. Tapi dia diterima dan diajak ikut aktivitas mereka, misalnya kumpul-kumpul dengan “oma-oma” yang lain.

Ketika bekerja di bidang “human resource” dia juga mendapat pelatihan tentang perbedaan kebudayaan. Di situ, Irma sudah belajar, bahwa jika baru kenal, orang Jerman rasanya seperti dingin, tapi jika sudah kenal, mereka jadi “friends for life”, dan itu benar, kata Irma. Selain itu, cara berpakaian Irma yang sudah merepresentasikan bukan saja orang Indonesia, melainkan agamanya, juga sangat membantu dia untuk percaya diri.

Ia ingin menunjukkan bahwa “pekerjaan itu tidak tergantung pada lu dari mana, dari ‘culture’ apa, atau agama apa. Kalo lu bisa kerja, ya bisa kerja aja. Dan ‘at the end’ setiap orang itu otentik.” Jadi pelajaran terbesar yang Irma dapat di Jerman: “Kalau saya bisa menghargai diri saya sendiri, orang lain juga bisa menghargai diri saya.” Hidup di mana saja pasti ada tantangannya. Tapi Irma percaya, kalau kita baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik kepada kita. Saran Irma untuk orang-orang yang ingin bekerja di Jerman: “Ya coba aja!” (yp)