Budaya Malu, Alasan Korban Kekerasan Domestik Pilih Bungkam

Ilustrasi kekerasan terhadap wanita.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Kekerasan yang terjadi dalam sebuah hubungan, kerap kali ditutup-tutupi oleh korban. Hingga pada akhirnya, peristiwa besar terjadi dan meninggalkan luka, baik fisik maupun psikis yang lebih besar. Sebenarnya, apa yang membuat banyak korban kekerasan domestik memilih untuk tetap bungkam dan menyimpan rapat penderitaan yang mereka alami?

Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga, Roslina Verauli memberikan pandangannya secara umum tentang bagaimana para korban kekerasan tersebut biasanya lebih memilih untuk diam. Dari empat alasan, salah satunya terkait dengan budaya yang melekat begitu erat dalam kehidupan kita, yaitu yang disebutnya sebagai 'budaya malu.'

"Jadi ini erat kaitannya dengan budaya. Ingat kita di budaya yang saya menyebutnya budaya malu, shame culture, bukan guilt culture kayak di Jepang atau di negara Barat," ujarnya saat dihubungi VIVA, Selasa, 6 Maret 2018.

Budaya kebersalahan atau guilt culture sendiri membuat orang merasa bersalah sehingga berani meminta maaf. Sementara di negara kita lebih berkembang budaya malu atau shame culture yang justru beranggapan bahwa menutupi sesuatu lebih baik daripada menanggung malu. Budaya malu ini semakin berkembang dan kental dengan ingroup yang tinggi dalam masyarakat. Di mana bahkan anggota keluarga jauh sekalipun masih dianggap seperti keluarga dekat.

"Yang penting enggak malu, enggak bawa aib keluarga besar saja. Seolah satu pelaku mewakili seluruh keluarga besar, sehingga beban individu berat. Beban korban, baik dalam kasus seksual maupun kekerasan fisik dalam rumah tangga jadi penting, karena mereka seolah mewakili paman, bibi, nenek, kakek, jadi berat,” katanya menjelaskan.

Alasan kedua korban biasanya memilih diam adalah karena budaya patrilineal, di mana pria memiliki dominasi atas wanita. Sehingga pria dianggap sah saja saat menggunakan kekuatan yang dimiliki secara berlebihan. Ketiga, adalah dari sisi korban itu sendiri yang mungkin memiliki profil khusus.

"Yaitu mereka dengan status ego, konsep diri yang juga rendah, sehingga menurut dia, dia layak menerima itu semua. Karena menurut dia, dia enggak oke, dia salah, dia keliru. Biasanya orang dengan konsep diri rendah menduga dia layak atas perlakuan-perlakuan yang buruk," paparnya.

Yang terakhir adalah adanya ketergantungan berlebihan terhadap pasangan, baik secara finansial ataupun emosional. Sebagai contoh tidak memiliki uang sama sekali, sehingga korban yang mengalami tindak kekerasan domestik memilih diam dan menerima saja apa yang diperlakukan padanya.

Padahal kekerasan yang terjadi dalam sebuah hubungan jika dibiarkan berlarut-larut justru akan semakin memburuk.

"Kasus kekerasan semakin lama bentuknya semakin intens, jadi tadinya persis kayak perlakuan-perlakuan kasar yang kemudian ketika korbannya ingin mengakhiri, si pelaku akan minta maaf, akan berbuat baik, bikin nice lagi dan seterusnya, kemudian terjadi lagi hingga semakin intens," kata Vera.