Beda Ngompol dan Beser pada Lansia, Kenali Gejalanya

Ilustrasi lansia
Sumber :
  • Freepik

VIVA – Beser dan mengompol pada kelompok lansia dan laki-laki yang seringkali dianggap normal, pada hakekatnya merupakan gangguan kesehatan yang dapat menurunkan kualitas hidup, menimbulkan gangguan seksual bahkan depresi.

Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Prof. Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD, KGer, M.Epid menjelaskan perbedaan beser dan mengompol. Beser atau Overactive Bladder (OAB) merupakan sebuah gangguan fungsi berkemih yang mengakibatkan rasa ingin segera berkemih. Lebih lanjut, beser dapat menjadi salah satu jenis inkontinensia.

"Sementara, ngompol atau enuresis atau inkontinensia, adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat menahan keluarnya air kencing atau keluarnya air kencing (urin) tanpa dikehendaki," kata Siti dalam virtual conference, Kamis 19 Agustus 2021.

Siti lebih lanjut, menjelaskan beberapa gejala dari gangguan tersebut antara lain,  tidak bisa menahan berkemih, belum sampai kamar mandi air seni sudah keluar, frekuensi berkemih banyak 8 kali atau lebih, normal 6 kali dalam 24 jam. Terakhir, sering terbangun malam hari lebih dari 2 kali di malam hari.

Di sisi lain, Siti menjelaskan, terdapat empat jenis inkontinensia yang sering kita jumpai. Pertama, Inkontinensia Tekanan, yang merupakan jenis inkontinensia yang banyak dijumpai dengan prevalensi di Indonesia secara umum adalah 4% dengan lansia sebesar 4.8%.

Yang kedua, Inkontinensia Dorongan/beser/urgensi/OAB, tipe ini paling banyak dijumpai pada populasi lansia (9.4%) dibandingkan umum (4.1%) dengan persentase laki-laki lansia tertinggi (11.2%). Ketiga, yaitu Inkontinensia Campuran, dengan prevalensi di Indonesia pada populasi umum sebesar 1.5% dengan lansia sebesar 4.0%.

Terakhir, Inkontinensia Luapan, tipe ini ditemui pada pria karena berkaitan dengan obstruksi saluran berkemih yang disebabkan oleh pembesaran prostat, ataupun batu. Prevalensi di Indonesia secara umum sebesar 0.4% dengan lansia juga sebesar 0.4%.”

Ia juga menerangkan bahwa terdapat beberapa penyebab inkontinensia yang dapat diperbaiki tanpa obat-obatan. Sehingga tidak perlu terlalu terburu-buru dalam memberikan obat bagi pasien inkontinensia.

"Tenaga medis pasti akan melakukan pengkajian yang lebih menyeluruh terlebih dahulu sebelum memberikan obat," ujar dia.
 
Siti memaparkan, beberapa penyebab inkontinensia yang dapat kembali antara lain: Delirium, Infection, Atrophic vaginitis, Pharmaceuticals, Psychological problems, Endocrine disorder, Excess urine output, Reduced mobility, Stool impaction (skibala).

Penyebab-penyebab ini juga dapat dievaluasi melalui P3G.Tata laksana dapat dilakukan secara Non-Farmakologi dan farmakologis. Tatalaksana non farmakologis dengan pembatasan asupan minum, tidak minum < 2 jam sebelum tidur (nocturia), mengurangi konsumsi kafein, alkohol, minuman bersoda, minuman manis, berhenti merokok, penurunan berat badan, Bladder retraining, latihan otot dasar panggul.

"Sementara itu, tatalaksana Farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan Antimuskarinik/Antikolinergik, Penghambat reseptor ????-1, Agonis ???? dan pembedahan apabila perlu,” tuturnya.