Dinkes: Mata Merah dan Banyak Belek Jadi Gejala Baru COVID-19 Arcturus
- Pexels
VIVA Lifestyle – Subvarian Omicron XBB.1.16 atau Arcturus kian menjadi sorotan usai memicu lonjakan kasus di India dan kini sudah dilaporkan di Indonesia. Menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta salah satu gejala yang patut diwaspadai yang jadi tanda varian Arcturus ini ada pada masalah di mata.
Hal itu diungkap oleh Kepala Seksi Surveilans Imunisasi Dinkes DKI Jakarta Ngabila Salama yang mengatakan bahwa varian Arcturus memiliki gejala yang cukup berbeda dibanding subvarian Omicron lainnya. Hal yang cukup disorot yakni gejala gangguan berupa mata merah.
“Dari data di India, subvarian Arcturus yang masih merupakan turunan Omicron ini disebutkan memiliki gejala baru yang berbeda dari varian lainnya, yaitu mata merah,” ujarnya dikutip laman Antara.
Selain mata merah, gejala penyerta lain serupa dengan subvarian Omicron seperti batuk dan pilek serta dada terasa sesak. Tapi, yang juga cukup disorot adalah masalah pada mata yang mengalami peningkatan produksi kotoran atau belek.
"Peningkatan kotoran mata (belek), batuk kencang, dan dada yang terasa agak sakit seperti tertarik," tambahnya.
Ada pun pada dua pasien Arcturus di Indonesia yang baru dilaporkan pada akhir Maret 2023, tak menunjukkan gejala tersebut. Akan tetapi, gejala mata merah dan muncul banyak belek itu terlihat pada beberapa pasien COVID-19 dengan perawatan di rumah sakit yang mengalami gejala mata merah.
“Kami masih memproses pemeriksaan (tiap pasien yang menderita gejala tersebut dengan) menggunakan genome sequencing,” katanya.
Ngabila menyebutkan bahwa tren keperawatan rumah sakit dan kematian sejauh ini tidak ada tanda kenaikan. Sehingga menurutnya, situasi pandemi COVID-19 masih aman untuk di Jakarta dan sekitarnya.
Akan tetapi, mengingat penularan Arcturus sudah ada di Indonesia jelang lebaran, tentu Ngabila meminta masyarakat lebih waspada. Terlebih berkaca di India, varian ini banyak mengintai kelompok anak. Maka, penting untuk tetap melakukan protokol kesehatan dan vaksinasi.
"Waspada varian baru COVID-19. Jangan panik tetapi sebaiknya tetap disiplin protokol kesehatan dengan memakai masker untuk mencegah sakit dengan gejala yang berat hingga kematian,” ucap Ngabila.
Dikutip laman Times of India, sesuai data bahwa kasus COVID aktif di Uttar Pradesh telah meningkat tiga kali lipat dalam 10 hari terakhir. Data pemerintah terbaru menunjukkan bahwa jumlah distrik dengan tingkat tes positif (TPR) mingguan 10 persen atau lebih telah meningkat menjadi 32 di 14 negara bagian dan UT, kenaikan 3,5 kali lipat dalam dua minggu.
Menurut para ahli, varian baru COVID XBB.1.16 menjadi penyebab kekhawatiran atas lonjakan jumlah kasus yang tiba-tiba. Hal itu diungkap mantan ketua Indian Academy of Pediatrics dan konsultan dokter anak di Rumah Sakit dan Pusat Penelitian Mangla, Bijnor, Vipin M Vashishtha, dalam cuitan twitternya.
"XBB.1.16 memiliki keunggulan pertumbuhan 140% dibandingkan XBB.1.5. Ini jauh lebih agresif dari XBB.1.5. Dan mungkin lebih cepat dari XBB.1.9," tulisnya.
Seberapa bahaya varian Arcturus?
Vipin M Vashishtha berbagi bahwa menurut Badan Keamanan Kesehatan Inggris, XBB.1.16 adalah garis keturunan dengan 3 mutasi virus tambahan yakni E180V, K478R, dan S486P. Menurutnya, varian ini mendadak mendominasi dibanding varian sebelumnya yang muncul.
"Semua mata harus tertuju pada India! Jika XBB.1.16 alias #Arcturus berhasil mengarungi kekebalan populasi 'kokoh' orang India yang berhasil menahan gempuran varian seperti BA.2.75, BA.5, BQs, XBB.1.5, maka seluruh dunia pasti sangat khawatir!!," tambahnya di utas Twitter.
Menurut dokter Vipin, pasien COVID dengan varuan Arcturus menunjukkan gejala yang sama seperti pada gelombang ketiga pandemi di India antara Januari dan Maret tahun lalu. Gejala umum dari varian baru ini antara lain demam, sakit tenggorokan, pilek, sakit kepala, nyeri badan, dan kelelahan. Virus itu juga bisa berdampak pada sistem pencernaan Anda.
Bahkan dengan peningkatan jumlah kasus, rumah sakit di seluruh negeri tidak mendapatkan pasien COVID yang terburu-buru dan rawat inap secara keseluruhan tetap rendah. Ada sedikit bukti keparahan yang terkait dengan varian baru yang sangat menular, menurut penelitian.