Penyebab Kanker Payudara Terlambat Diketahui Penderitanya
- Pixabay/pexels
VIVA – Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2016 lalu, kasus baru kanker payudara menjadi kasus kematian tertinggi di Indonesia dengan angka kematian mencapai 21,5 per 100 ribu penduduk. Mirisnya, 70 persen pasien kanker payudara berada dalam kondisi stadium lanjut.
Hal ini terjadi karena keterlambatan diagnosa sehingga kanker ditemukan pada stadium akhir. Padahal, peluang kesembuhan pasien bisa mencapai 98 persen bila dideteksi dini dan diberi penanganan medis.
Linda Gumelar, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) menjelaskan, selain karena kurangnya sosialisasi mengenai deteksi dini kanker, anggapan kanker sama dengan (=) kematian membuat banyak perempuan enggan melakukan pemeriksaan dini, seperti SaDaRi (Periksa Payudara Sendiri) maupun SadaNis (Pemeriksaan Payudara Klinis).
"Kanker payudara tidak sama dengan mati. Kalau stadium awal masih tertolong, penanganan tidak sakit. Biaya pengobatannya lebih murah ketimbang saat sudah stadium lanjut," kata Linda dalam diskusi bersama Royal Philips di Jakarta, belum lama ini.
Dia juga menyoroti masalah iklan menyesatkan mengenai kanker. Misalnya saja, mengatasi benjolan tanpa harus ke dokter, mencari alternatif lain yang dianggap lebih nyaman dilakukan.
Suryo Suwignjo, selaku Presiden Direktur Philips menambahkan bahwa masyarakat terhadap kanker, lebih reaktif ketimbang antisipatif. Bertindak saat penyakit sudah mulai parah.
"Kita bukan masyarakat antisipatif, tetapi reaktif. Kalau belum terjadi apa-apa ya dibiarkan saja," ujar Suryo.
Kemudian, kata Suryo, kanker pada payudara mengurangi rasa percaya diri perempuan. Mereka takut kehilangan payudara jika terdeteksi kanker.
"Karena kanker ini menyerang bagian tubuh kebanggaan, mereka takut diambil. Jadi mereka lebih protektif, tetapi ke arah yang keliru," ujar dia.