Gedung 'Hantu Besar' Itu Kini Jadi Mal Pelayanan Publik

Suasana gedung tua yang kini dijadikan Mal Pelayanan Publik di Surabaya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Nur Faishal

VIVA.co.id - Gedung tua itu berdiri di sudut jumpa Jalan Tunjungan-Gentengkali Surabaya, Jawa Timur. Sejak awal berdiri pada 1877, gedung berarsitektur Eropa itu adalah pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia. Sempat mangkrak dan jadi gedung hantu, gedung itu kini disulap jadi mal pelayanan publik.

Gedung itu mafhum dikenal publik Jawa Timur dengan sebutan Siola. Dalam sejumlah catatan dijelaskan, gedung berkubah satu itu dibangun oleh pemodal asal Inggris, Robert Laidlaw, pada 1877. Laidlaw lantas menamai gedung itu Waitaway Laidlaw & Co dan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di Hindia Belanda.

Di bagian depan gedung, Laidlaw menuliskan besar-besar tulisan Het Engelsche Warenhuis, toko serba ada Inggris. Sejak itu, Jalan Tunjungan kian terkenal sebagai pusat perdagangan di Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang, gedung itu diambil alih dan berganti nama jadi Chiyoda.

Chiyoda tutup saat revolusi pecah pada 1945. Pejuang Republik Indonesia menjadikan gedung itu sebagai tempat merancang strategi perang melawan Belanda dan sekutunya. Sempat porak-poranda karena perang, pada 1960-an gedung itu lalu dikelola pihak swasta dan dijadikan pusat perbelanjaan atau mal bernama Siola.

Pada 1990-an, pamor Siola meredup, kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan lain, seperti Tunjungan Plaza. Siola tutup lalu pengelolaanya diambil oleh Ramayana Departement Store dan berganti nama jadi Tunjungan City. Pada 2015, Pemkot Surabaya mengambil alih lalu dijadikan sebagai museum.

Kini, gedung itu dipoles sebagai Mal Pelayanan Publik. Pusat pelayanan terpadu itu diluncurkan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah pada Jumat, 6 Oktober 2017. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur, hadir menyaksikan.

Laiknya gedung tua lain, cerita mistik dari gedung Siola juga tersiar di telinga warga, terutama kota Surabaya. Ihwal horor itu juga diceritakan Risma kepada Menteri Asman. "Katanya dulu pekerja di gedung ini lari-lari, bahkan kalau siang. Katanya ada hantu besar," kata Risma dalam sambutan.

Risma mengatakan, sejak Siola meredup, kawasan di sudut Jalan Tunjungan-Gentengkali jadi mati. Begitu juga ketika berubah jadi Tunjungan City, juga sepi pengunjung. Pedagang banyak menutup gerai mereka. "Dua tahun sebelum masa sewa habis, saya minta ke penyewa dan dikasih. Pemkot kemudian yang mengelola," ujarnya.

Tempat pelayanan publik lalu dibikin. Pengamatan VIVA.co.id, di dalam gedung tersekat menjadi beberapa bagian. Ada gerai pelayanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, gerai pelayanan dokumen Kepolisian seperti SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), pelayanan pajak, dan lainnya. Semua jadi satu atap dan terintegrasi dalam sistem satu kendali.

Museum tentu saja masih berdiri, berada di ruang paling besar di sisi kiri pintu masuk utama. Di lantai atas, ada kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan pusat pengaduan. Itu ruang rekreasi sejarah bagi masyarakat kala bosan antre saat mengurus sesuatu di konter pelayanan publik. "Kami saling bersatu padu membantu pelayanan masyarakat agar mudah karena ada di satu tempat," kata Risma.

Menteri Asman Abnur mengapresiasi inovasi pelayanan yang dicipta Risma dan pimpinan mitra instansi lain di Kota Surabaya. "Kata Bu Wali Kota tadi, dulu di sini tempatnya makhluk besar, kini menjadi tempat yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya. "Sebentar lagi mungkin akan berdiri kafe-kafe. Jadi mengurus pelayanan bisa sambil jalan-jalan." (hd)