Sengitnya Perang Uang Elektronik

GoPay.
Sumber :

VIVA – "Bayar Pakai Gopay Cashback 20 Persen”. Tulisan itu terpampang di banner yang menempel di depan salah satu gerai makanan siap saji di Jakarta. Sementara, banner bertuliskan “OVO Cashback 60 Persen” persis berada di sebelahnya.

Demi berebut konsumen, Gopay dan OVO berlomba-lomba memberikan rabat dan cashback untuk belanja, makan di restoran dan layanan lainnya. Targetnya, agar banyak orang tertarik menggunakan platform uang elektronik mereka.

Uang digital Gopay

Ade Sintia (20) merupakan salah satu pengguna layanan pembayaran digital yang berhasil digaet. Karyawan perusahaan swasta ini mengaku menggunakan Gopay dan OVO karena tergiur keuntungan dari diskon dan cashback yang ditawarkan dua layanan pembayaran digital tersebut.

"Saya menggunakan uang elektronik karena banyaknya promo cashback yang memberikan keuntungan kepada customer sehingga kita lebih tertarik dalam belanja. Transaksi jual beli dengan scan barcode juga memudahkan customer," katanya kepada VIVA, Kamis 7 Maret 2019. 

Gopay dan OVO tak sendirian. Mereka harus bersaing dengan perusahaan teknologi keuangan (fintech) lainnya, seperti Dana, Sakuku, dan Paytren untuk memenangkan pasar uang elektronik di Indonesia. 

Pemain baru dalam perang layanan pembayaran digital saat ini adalah LinkAja. Dompet digital LinkAja, merupakan proyek keroyokan perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Platform uang elektronik ini diluncurkan pada Minggu, 3 Maret 2019 di hajatan Java Jazz Indonesia. Guna mengoperasikan LinkAja, kabarnya bank-bank BUMN, Telkomsel dan Pertamina patungan modal hingga Rp1,5 triliun. 

Ada 26 perusahaan yang sudah mendapat lisensi untuk melakukan transaksi digital payment dari Bank Indonesia. Ada yang dari sektor perbankan, telekomunikasi hingga layanan transportasi berbasis aplikasi. Mereka semua bersaing memperebutkan ceruk baru dalam bisnis ini.

Salah satu iklan OVO

Saat ini, Gopay dan OVO masih menjadi market leader di Indonesia. Survei yang dilakukan DailySocial dalam Laporan Fintech 2018 mengungkapkan, Gopay memimpin persaingan uang elektronik. 79 persen dari sekitar 1.400 responden yang disurvei menggunakan Gopay sebagai pembayaran digital, disusul OVO digunakan 58 persen responden dan Tcash, yang kini telah berubah menjadi LinkAja, digunakan oleh 55 persen responden. Dari survei itu juga terungkap, banyak responden menggunakan lebih dari satu aplikasi pembayaran digital.

Menurut survei yang dilakukan Morgan Stanley, rata-rata transaksi melalui pembayaran digital mencapai Rp600 ribu per bulan untuk satu orang. Dan angka itu diprediksi akan terus meningkat. Kenaikan jumlah transaksi melalui pembayaran digital disebabkan beberapa hal, seperti banyaknya diskon yang ditawarkan, kerja sama toko dengan pembayaran digital, kemunculan sejumlah tempat parkir yang hanya menerima uang digital, hingga terciptanya ekosistem ramah konsumen.

Head of corporate communication Gopay, Winny Triswandhani mengatakan, Gopay terus berupaya untuk memperluas pembayaran nontunai serta manfaat dan kemudahannya ke masyarakat. Untuk mendukung ekosistem pembayaran nontunai, Gopay meluncurkan pembayaran melalui kode QR di April 2018 untuk bisa digunakan di rekan usaha non-layanan Gojek.

"Hal ini kami lakukan agar masyarakat luas, terutama UMKM dan pedagang kaki lima mulai merasakan keuntungan non-tunai. Misalnya, dengan pemanfaatan metode pembayaran nontunai dengan Gopay, rekan-rekan UMKM kami kini bisa memiliki pencatatan arus kas yang lebih baik dan tidak bingung dengan uang kembalian," kata Winny kepada VIVA di Jakarta, Rabu 6 Maret 2019.

Gopay telah menggandeng 300 ribu rekan usaha di mana 40 persen di antaranya adalah UMKM. Pesatnya pertumbuhan ekosistem pembayaran digital Gopay membuat Gojek menjadi salah satu perusahaan digital terbesar di Indonesia. 

Gojek mencatat gross transaction value (GTV) atau transaksi pengguna mencapai US$9 miliar atau setara Rp125 triliun sepanjang 2018. Adapun transaksi penggunaan Gopay mencapai US$6,3 miliar atau setara Rp87 triliun. Angka ini setara dengan 69,6 persen dari transaksi keseluruhan Gojek.

Presiden Direktur OVO, Adrian Suherman mengatakan, saat ini sekitar 60 juta pengguna telah mengunduh OVO dengan ekosistem sudah lebih dari 30 ribu merchant, 200 kota, dan 400 mal. Menurut dia, inisiasi awal berdirinya OVO adalah karena melihat ada potensi yang sangat besar untuk pembayaran digital di Indonesia. Banyak sekali perusahaan yang ingin masuk ke ekonomi digital untuk mengembangkan bisnisnya tapi mereka tak bisa.

"Sedangkan, pengguna digital di sini pertumbuhannya semakin meningkat. Melalui ekonomi digital maka pasar mereka akan lebih terbuka dan bisa menjangkau ke seluruh Indonesia," kata Adrian. 

Selanjutnya, masa depan uang elekteronik..

Masa Depan Uang Elektronik

Besarnya pengguna Gopay dan OVO menunjukkan masyarakat Indonesia sudah mulai beralih ke layanan digital sebagai transaksi pembayaran. Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi pembayaran digital atau uang elektronik mencapai Rp47,19 triliun sepanjang 2018.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, pembayaran digital merupakan bagian dari evolusi sistem pembayaran dari uang kertas ke elektronik. Kompetisi dan penyedia layanan pembayaran digital sekarang bukan hanya bank, ada nonbank dengan uang digital, seperti Gopay dan OVO.

"Keuntungan uang elektronik orang lebih mudah transaksi dan lebih bergerak cepat bertransaksi," ujarnya.

Namun pada kenyataannya, perusahaan teknologi finansial dalam pengembangan pembayaran digital di Indonesia masih harus bersaing dengan uang tunai. Menurut Bank Indonesia pasar pembayaran digital masih sekitar satu persen. Angka itu disebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara lain seperti China atau India yang mencapai 80 persen.

Peluncuran LinkAja

CEO PT. Manajemen Kinerja Utama, sebuah firma konsultan yang bergerak dalam bidang corporate performance management Yodhia Antariksa mengatakan, potensi penerimaan dari transaksi pembayaran digital sebenarnya sangat masif, namun sayang masih terganjal regulasi Bank Indonesia. Yakni, peluang agar akun Gopay dan OVO bisa menerima penyimpanan uang secara unlimited atau tak terbatas, dan kemudian diberikan izin untuk memberikan kredit online bagi jutaan user-nya.

Saat ini batas maksimum penyimpanan uang di Gopay masih hanya Rp10 juta. Harusnya bisa dinaikkan menjadi unlimited, dan kemudian diizinkan juga memberikan kredit online. "Sukses besar Alipay dan WeChatPay di China karena mereka juga diizinkan untuk memberikan kredit atau pinjaman dana kepada jutaan usernya," ujarnya.

Dia mengatakan, Gopay tengah melakukan promosi besar-besar dengan cashback hingga 30 persen di banyak merchant agar banyak orang tertarik menggunakan Gopay. Harapannya setelah tergiur dengan iming-iming cashback, jutaan user baru itu lalu akan tetap menjadi pelanggan loyal Gopay, dan tetap akan bayar menggunakan Gopay bahkan jika tak ada lagi cashback.

"Tapi, apakah ini akan terjadi? Belum ada yang tahu pasti. Sejauh ini, saya mungkin masih akan terus memakai kartu debit untuk hampir semua transaksi offline saya, belum mau pindah ke Gopay," katanya. 

Menurut dia, hal ini disebabkan semua gerai sudah bisa menerima kartu debit, sementara hanya sebagian yang telah menerima Gopay atau OVO. Ini menjadi tantangan pembayaran digital di masa depan, bagaimana meyakinkan semua gerai agar mereka mau menerima Gopay atau digital payment lainnya. (mus)