Menikah Tanpa Masalah

Petugas Puskesmas memberikan konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang ingin membuat sertifikat layak kawin di Puskesmas Sawah Besar, Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Senyum Restu Diantina Putri merekah. Pembicaraan soal pernikahan selalu membuatnya bergairah. Sebab tahun depan, hajat besar itu akan ia tunaikan. 

Semua perlengkapan dan kebutuhan untuk hajatan sudah dicicil. Gedung, desain undangan, berapa jumlah undangan yang akan dicetak, katering, baju pengantin untuk adat dan resepsi, hingga suvenir pernikahan, semua sudah mulai dianggarkan dan dieksekusi pelan-pelan.

Demikian juga untuk rencana lamaran, hingga bulan madu, semua telah dirancang dan diatur jauh hari. "Semoga enggak ada halangan dan lancar hingga hari H," ujar Restu dengan mata berbinar-binar.

Tapi, mata penuh binar dan senyum lebar Restu langsung menyusut ketika ditanyakan soal rencana pemerintah yang akan memberlakukan sertifikasi nikah. Ia terdiam beberapa saat. 

Cincin Pernikahan

Bola matanya berputar, lalu mengembuskan napas pelan. Menurutnya, pelatihan sebelum pernikahan ide yang bagus dan penting, karena pernikahan memang butuh persiapan matang dan enggak sekadar halal. Namun, ia belum memahami apakah tujuan pemerintah sama seperti yang ia pikirkan.

Perempuan yang bekerja sebagai karyawan swasta itu lalu berceloteh tentang pentingnya pengetahuan soal kesehatan reproduksi, manajemen finansial, dan manajemen konflik berumah tangga. Dan hal itu yang menurut Restu sangat penting didahulukan. 

Bukan sekadar pelatihan yang hanya memajukan nilai tradisional selama ini, tentang istri yang harus menurut pada suami, atau mengedepankan suami sebagai pemimpin rumah tangga. Isi pelatihan harus diperhatikan, apakah itu hal yang dibutuhkan pasangan yang akan menikah atau tidak.

"Tujuan pelatihan harusnya bukan menghindarkan perceraian, tapi bagaimana mencegah terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 21 November 2019.

Apa penyebab terjadinya perceraian, itu yang harus dilihat. "Dan (pelatihan) jangan diwajibkan. Kalau wajib, seolah kalau enggak lulus enggak akan bisa nikah," tuturnya.

Restu juga mempertanyakan, berapa lama waktu pelatihan. Sebab, bagi calon pasangan yang sama-sama bekerja seperti dia dan kekasihnya, mereka nyaris kesulitan mencari waktu untuk bisa ikut pelatihan semacam itu.

Calon pengantin lainnya, Sania Washabi, menolak adanya pemberian sertifikat. Ia setuju ada pembekalan, namun menurutnya, tak perlu ada sertifikat yang diberikan. Sania merasa tak melihat ada urgensi untuk sebuah sertifikat bagi calon pengantin.

"Untuk apa? Kalau setelah pembekalan, dianggap tak layak dan tak diberikan sertifikat, terus apa? Enggak boleh nikah gitu?" ujarnya. 

"Lalu, apa kabarnya gedung, katering, undangan, dan lain-lain yang sudah di-booking? Kan sudah keluar uang, masa nikahnya enggak jadi?" ujar Sania yang lebih terdengar bernada protes.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy

Sertifikasi pernikahan diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Mantan menteri Pendidikan itu mengeluarkan pernyataan bakal mewajibkan pasangan yang akan menikah, untuk mengantongi sertifikat nikah. 

Tujuan pemberian sertifikat itu untuk memastikan bahwa mereka memang pasangan yang sudah siap lahir batin untuk melakukan pernikahan.

Menurut Muhadjir, kebijakan itu diambil untuk meningkatkan kualitas pernikahan setelah pasangan baru membangun bahtera keluarga. Direncanakan, pengadaan sertifikat pernikahan itu akan mulai diberlakukan pada 2020. 

Rencana itu pun memicu pro dan kontra. Sebab, negara dinilai mempersulit orang yang akan menikah. Selain itu, negara dianggap terlalu ikut campur urusan warganya.

Program Prematur yang Dipaksakan

Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan (LKAB) Nusantara, Fadhli Harahap, menganggap rencana pemerintah menerapkan sertifikasi nikah bagi pasangan yang akan melangsungkan akad sebagai hal yang terburu-buru. Rencana itu juga dirasa belum mendesak untuk segera diterapkan.