Dinasti Politik di Tanah Jawara
- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, tampak tergesa-gesa saat disambangi di pendopo Pemerintah Kabupaten Serang, Banten, Kamis, 19 Desember 2019. Adik kandung Ratu Atut Chosiyah ini terlihat jengah saat ditanya seputar isu politik dinasti yang mengemuka usai putra sulung dan menantu Presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada]. “Enggak boleh berkomentar, bukan ranah saya," ujarnya singkat.
Ratu Tatu berencana kembali maju dalam Pilkada Kabupaten Serang tahun depan. Petahana ini mengaku sedang mengikuti penjaringan di sejumlah partai politik.
Saat ini, ia baru mendapat dukungan dari Partai Golkar. "Saya masih ikut penjaringan partai-partai yang mereka membuka penjaringan. Semua penjaringan (Parpol) saya ikut, jadi belum ada yang final, kecuali Partai Golkar,” ujarnya.
Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Banten ini sudah bercokol di kursi pimpinan Kabupaten Serang sejak 2010. Awalnya ia menjadi wakil bupati mendampingi Taufik Nuriman. Kemudian pada tahun 2016, perempuan kelahiran 23 Juli 1967 ini ‘naik pangkat’, menjadi bupati Serang hingga saat ini.
Ratu Tatu Chasanah merupakan salah satu anak Tubagus Chasan Sochib, jawara yang dianggap sangat berkuasa di Banten. Selain Ratu Tatu, sejumlah anak keturunan Tubagus Chasan Sochib menguasai wilayah Banten. Sebut saja Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten yang saat ini mendekam di penjara.
Kemudian, ada Airin Rachmy Diany yang menjadi Wali Kota Tangerang Selatan, Tanto Warsono Arban sebagai Wakil Bupati Serang, Andhika Hazrumi sebagai Wakil Gubernur Banten. Juga sederet nama anggota keluarga Chasan Shocib dengan jabatan yang disandang.
Berawal dari Penguasaan Ekonomi
Pengamat politik dari US Politica, Uday Syuhada, mengatakan, dinasti politik yang dibangun Tubagus Chasan Sochib berawal dari penguasaan ekonomi di Banten. "Mereka menguasai sektor ekonomi dulu melalui proyek APBD. Mereka mengerjakan semua proyek APBD dan APBN,” kata Uday Syuhada kepada VIVAnews, Rabu 18 Desember 2019.
“Proyek yang besar itu harus melalui mereka. Sekalipun bukan mereka yang mengerjakan, tetapi mereka pasti dapat fee, dapat setoran. Itu yang terjadi bertahun-tahun. Sehingga proyek di berbagai wilayah, yang nilainya puluhan miliar itu sudah dipastikan atas sepengetahuan dan pengaruh mereka, dengan kompensasi setoran sekian puluh persen. Itu yang saya dengar dari para pengusaha," lanjut Uday.
Menurut Uday, awalnya Chasan Sochib menjadi orang kepercayaan Gubernur Jawa Barat (Jabar) di era 1990-an. Dia menjadi koordinator berbagai proyek APBD Jabar yang dikerjakan di wilayah Banten. Saat gerakan sosial untuk pembentukan Provinsi Banten mencuat, awalnya Chasan Sohib menolak. Namun belakangan malah muncul dan seolah-olah menjadi pendukung utama.
Chasan Sochib memanfaatkan momentum terbentuknya Provinsi Banten untuk mendorong Ratu Atut menjadi Wagub Banten, mendampingi Joko Munandar pada 2002. Saat itu pemilihan gubernur dan wakil gubernur masih melalui DPRD. Dengan nama besar dan kekuatan ekonomi yang besar tak sulit bagi Chasan Shocib untuk menggolkan pasangan Joko Munandar - Ratu Atut. Di tengah jalan, Joko Munandar dituding korupsi. Meski tudingan itu tak terbukti, Ratu Atut menggeser Joko Munandar dan menduduki posisi gubernur Banten sebagai Pelaksana Tugas (Plt) sejak tahun 2005-2007.
Pada 2007 Atut ikut Pilgub Banten menggandeng Mohammad Masduki dan berhasil menang dan menjadi gubernur Banten periode 2007-2012. Tak cukup, pilkada berikutnya Atut kembali maju bersama Rano Karno dan menang. Namun, Ratu Atut tak bisa menyelesaikan kepemimpinanya dan harus berurusan dengan KPK karena tersangkut kasus korupsi.
"Dari situlah dibangunnya dinasti. Karena Chasan Sochib memiliki banyak anak dan pada saat itu Atut yang didorong memegang kekuasaan, kemudian yang lain masih berkutat di dunia bisnis. Kemudian muncullah Wawan, yang dengan kelebihannya dia membangun pundi keuangan dari berbagai proyek APBD di Banten," ujar pengamat politik Banten ini.
Selain Chasan Sochib, ada klan dinasti politik lain di Banten. Sebut saja Aat Syafaat mantan Walikota Cilegon yang kemudian diteruskan oleh putranya, Tb. Iman Ariyadi sebagai walikota dan dilanjutkan oleh putrinya, Ati Marliyati. Kemudian di Kabupaten Lebak ada nama Mulyadi Jayabaya, mantan Bupati dua periode yang kemudian dilanjutkan putrinya, Iti Octavia Jayabaya di periode keduanya. Di Kabupaten Tangerang ada nama Ismet Iskandar, Bupati dua periode yang dilanjutkan oleh putranya, Zaki Iskandar. Di Kabupaten Pandeglang ada nama Dimyati Natakusumah yang berkuasa dua periode dan kini istrinya, Irna Narulita, berkuasa sebagai Bupati dan dipastikan maju kembali pada Pilkada tahun depan.
Dinasti Politik
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dini Suryani mengatakan, apa yang dilakukan klan Chasan Sochib merupakan bentuk dinasti politik. Karena menurut dia, dinasti politik adalah dimana ada sebuah keluarga yang memonopoli kekuasaan politik dan jabatan publik dari generasi ke generasi dan menggunakan jabatan publik tersebut untuk melanggengkan kekuasaan.
“Menaruh anggota keluarganya di jabatan politik baik di dalam partai ataupun langsung melalui pemilihan dalam pemilu. Dalam peletakan anggota keluarga tersebut, faktor kekerabatan lebih dominan dibanding faktor kompetensi yang bersangkutan. Ketika jabatan politik sudah didapat oleh beberapa anggota keluarga, maka akan lebih mudah untuk mendapat jabatan lain,” ujar peneliti politik lokal Indonesia ini.
Menurut dia, politik dinasti sudah ada sejak masa Orde Baru. Namun, saat itu politik dinasti lebih mencolok di tingkat nasional. Pasca Orde Baru runtuh, praktik dinasti justru semakin subur. Tetapi kali ini di tingkat lokal, seiring dengan perubahan hubungan pusat-daerah yang semula tersentralisasi menjadi desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. “Politik dinasti semakin subur ketika pilkada langsung diberlakukan sejak tahun 2005,” ujar alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.
Dini menuturkan, politik dinasti muncul di banyak wilayah di Indonesia. Misalnya Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan. Kemudian Dinasti Narang di Kalimantan Tengah. Dinasti Sjahroeddin di Lampung dan Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura). “Tetapi menurut saya, politik dinasti yang paling masif terjadi di Banten dengan Dinasti Chasan Sochib,” lanjut dia.
Pasalnya, dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut. Ratu Atut Chosiyah (anak) sebagai Gubernur Banten selama dua periode dari 2007 hingga 2013; Ratu Tatu Chasanah (anak) sebagai Wakil Bupati Serang periode 2010-2015 dan Bupati Serang periode 2016-2020; Airin Rahmy Diany (menantu) sebagai Wali Kota Tangerang Selatan selama dua periode sejak 2011 hingga 2020.
Kemudian Andhika Hazrumy (cucu) sebagai anggota DPD RI dari Provinsi Banten periode 2009-2014 dan anggota DPR RI Dapil I Banten periode 2014-2016 serta Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022; Andiara Aprilia Hikmat (cucu) menjadi anggota DPD RI dari Banten periode 2014-2019; Tubagus Khaerul Jaman (anak) sebagai Wali Kota Serang periode 2013-2018. Selanjutnya Heryani Yuhana (istri ke-5) sebagai anggota DPRD Pandeglang periode 2009-2011; Ratna Komalasari (istri ke-6) sebagai anggota DPRD Kota Serang periode 2009-2013; Ratu Ella Nurlaella (keponakan) sebagai anggota DPRD Prov Banten periode 2009-2019; Ade Rossi Khaerunnisa (cucu menantu) sebagai DPRD Kota Serang periode 2009-2014 dan DPRD Provinsi Banten periode 2014-2019. Selain itu ada Tanto Warsono Arban (cucu menantu) sebagai DPRD Provinsi Banten periode 2014-2015 dan Aden Abdul Khaliq (menantu) sebagai anggota DPRD Provinsi Banten (2009-2012).
“Belum lagi yang menjabat sebagai fungsionaris Partai Golkar DPW Banten atau DPC wilayah di Banten, menjadi pimpinan organisasi pengusaha seperti KADIN dan Gapensi, maupun organisasi sosial. Yang menarik, di Banten bukan hanya ada Dinasti Chasan tetapi juga dinasti Dimyati di Pandeglang dan Dinasti Jayabaya di Lebak,” ujar jebolan program Magister Asia dan Studi Pasifik dari Australian National University (ANU) ini menjelaskan.
Menurut dia, dinasti politik di Banten bisa masif karena Chasan Sochib berhasil mengkooptasi wilayah di Banten secara ekonomi sejak sebelum otonomi daerah dimulai, yakni sejak masih menjadi bagian dari Jawa Barat. Ketika desentralisasi berjalan, kooptasi itu meluas dengan memasuki bidang politik terutama melalui pilkada.
Dini mengaku tak heran klan Chasan Sochib masih bisa bertahan meski sejumlah anaknya dibui karena terlibat kasus korupsi. Karena, berdasarkan penelitian yang ia lakukan, keluarga Atut tidak hanya menguasai jabatan politik tapi juga berbagai proyek pembangunan di Banten. “Saya kira, basisnya bukan kepercayaan. Masyarakat dikooptasi dengan kekuasaan sebesar itu. Secara politik masyarakat belum cukup terdidik untuk melihat kompetensi individu dalam memilih pemimpin,” ujarnya menambahkan.
Tak hanya menyumbat demokrasi, praktik dinasti politik ini juga dianggap merugikan publik. Sebagai wilayah yang dekat dengan ibu kota, Banten seharusnya bisa lebih maju. Tetapi karena anggaran negara dikuasai oleh beberapa kelompok, masyarakat tidak bisa merasakan dampak pembangunan secara maksimal.
“Politik dinasti akan mengaburkan atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Kita tentu sulit mengharapkan seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi eksekutif yang juga berasal dari dinasti A di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Dan checks and balances yang buruk akan mengarah ke pratik korupsi, sebagaimana yang terjadi di Banten.” (ren)