Terjerat UU ITE
- VIVAnews/Daru Waskita
VIVAnews - Teras rumah itu mendadak sesak. Beberapa wanita beragam usia meriung di setiap sudutnya. Mereka tampak serius. Ada yang dibicarakan. Tak terdengar canda dan gelak tawa.
Sesekali terlihat ada yang geleng-geleng kepala. Tampak, di antara mereka, Ervani Emihandayani (29).
Terdakwa kasus dugaan pencemaran nama baik melalui dunia maya ini sedang dikerumuni keluarga dan sejumlah warga. Permohonan penangguhan penahanannya telah dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bantul, Yogyakarta, Senin, 17 November lalu.
Saudara dan tetangga Ervani berdatangan demi mengetahui salah satu staf Kebun Binatang Gembira Loka ini sudah kembali ke rumahnya. Sebelumnya, warga Dusun Gedongan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul ini terpaksa mendekam di penjara hanya gara-gara "curhat" di dunia maya. Ia ditahan selama dua puluh hari di LP Wirogunan.
"Saya sudah kembali bersama dengan suami,” ujar Ervani saat VIVAnews berkunjung ke rumahnya, Selasa, 18 November 2014.
Ia mengatakan, urusan suaminya dengan perusahaan juga sudah selesai. Wanita yang akrab disapa Emy ini menjelaskan, ia tak berniat menghina perusahaan dan atasan suaminya.
Status yang ia unggah di Facebook sekadar ungkapan kekecewaan atas kebijakan perusahaan tempat suaminya bekerja. “Saya sudah minta maaf sebanyak enam kali. Namun, tidak ada respons dari pihak pelapor," tuturnya.
Alfa Janto, suami Ervani menjelaskan, kasus yang menimpa istrinya berawal dari perselisihan antara ia dengan Jolie Jogja Jewellery, perusahaan tempatnya bekerja. Alfa yang bekerja sebagai sekuriti di toko Jolie Jogja Jewellery menolak dimutasi ke Cirebon.
Sebab, dalam perjanjian kerja tak ada perihal mutasi pegawai. Karena menolak, Janto diminta mengundurkan diri. "Kejadian itu saya ceritakan kepada istri saya. Mengetahui hal itu istri saya syok," ujarnya kepada VIVAnews, Selasa, 18 November 2014.
Karena kecewa, pada 30 Mei 2014, istrinya curhat di Facebook. “Iya sih, Pak Har baik, yang nggak baik itu yang namanya Ayas dan spv lainnya. Kami rasa dia nggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewellery. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil," demikian status yang diunggah Ervani.
Janto dan Emy tak menyangka, gara-gara postingan itu, Ayas yang disebut di Facebook melaporkan Emy ke polisi. "Pada tanggal 9 Juli, istri saya dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Hari itu juga polisi langsung menetapkan istri saya sebagai tersangka," ujarnya.
Gianto mengatakan, sebagai bentuk dukungan, forum mendirikan posko di kediaman Ervani. Selain untuk menyusun langkah-langkah pembebasan Ervani, posko tersebut juga berfungsi sebagai tempat edukasi bagi masyarakat terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Tak hanya itu, forum dan keluarga Ervani juga berencana menggulirkan gerakan "Koin Peduli Ervani". Hal itu dilakukan guna membiayai upaya pembebasan Ervani.
Pasal Selundupan
Ervani merupakan orang ke-72 yang berurusan dengan UU ITE. Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto mengatakan, sudah banyak orang yang menjadi korban UU ITE.
Safenet mencatat, jumlah korban UU ITE terus meningkat. Medio 2008-2011, rata-rata hanya satu orang yang menjadi korban setiap bulan. Sementara itu, tahun ini, hingga November sudah ada 42 orang yang menjadi korban, salah satunya Ervani.
“Kami melihat bukan karena perkara etika, tapi ada celah hukum dalam UU ITE yang digunakan untuk memenjarakan orang lain,” ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 18 November 2014.
Ia mengatakan, sejak awal tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE. Namun, di tengah pembahasan tiba-tiba "pasal karet" itu muncul. “Dia diselundupkan,” Damar menambahkan.
Wahyudi Djafar menyampaikan hal senada. Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini mengatakan, pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE baru masuk dalam pembahasan di DPR. Sebab, dari risalah sidang, tidak ada pasal pencemaran nama baik dalam RUU usulan pemerintah ini.
Menurut dia, pasal 27 ayat 3 UU ITE seperti alat balas dendam. Sebab, orang begitu mudah melaporkan orang lain dan orang tersebut bisa dipenjara.
Menurut Yudi, UU ITE tidak satu napas, karena berbagai hal digabung dalam satu UU. Pertama, UU ini mengatur penyediaan elektronik dan transaksi elektronik. Kedua, mengatur tentang legalitas data elektronik, tindak pidana cyber.
Kemudian, juga mengatur soal perlindungan data pribadi. Selain soal intersepsi komunikasi. Di banyak negara, model pengaturan ini rata-rata dipisah dalam beberapa UU.
“Nah, itulah yang kemudian menjadikan UU ITE dalam penerapannya seringkali bermasalah karena rujukan materinya sangat minim,” ujarnya saat ditemui VIVAnews di kantornya, Selasa 18 November 2014.
Yudi menilai, UU ini juga bermasalah dan cacat, karena Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak menyediakan petunjuk teknis kepada polisi dan jaksa. Akibatnya, para pelaksana UU tersebut menafsirkan pasal 27 ayat 3 sesuai pendapat mereka.
Seringkali penegak hukum tak bisa membedakan mana yang privat dan publik. Padahal, pencemaran nama baik seharusnya wilayah publik.
Peneliti Elsam ini menjelaskan, semangat awal dari penyusunan dan pembentukan UU ITE adalah meningkatkan penggunaan transaksi elektronik dalam perniagaan. Selain itu, UU ini dimaksudkan agar publik menggunakan internet dengan baik. Tapi, dalam prosesnya, UU ITE justru lebih kental nuansa pembatasan.
“Di naskah awal, selain kejahatan komputer yang diatur UU ITE, itu hanya perjudian dan pornoaksi dan pornografi. Tapi, kemudian prosesnya muncul kesusilaan, pencemaran nama baik, penyebaran kebencian berlatar SARA yang sebelumnya tidak ada,” ujar Yudi.
Pendapat senada disampaikan Margiono dari Indonesia Online Advocacy. Ia mengatakan, semangat awal dari UU ITE adalah melindungi netizen dan transaksi yang dilakukan melalui internet.
Pada 2003, Indonesia di-black list e-commerce, karena terlalu banyak hacker. Yogyakarta bahkan ditetapkan sebagai kota paling banyak hacker kedua di dunia, karena banyak membobol barang lewat online. Dunia e-commerce menyatakan, di Indonesia tak ada hukum yang melindungi transaksi elektronik. Maka, semua transaksi dari Indonesia ditolak.
Mereka mengultimatum, semua transaksi melalui internet akan diblok hingga Indonesia memiliki UU yang melindungi e-commerce. Makanya, UU ini awalnya diinisiasi oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian.
Margiono menduga, kondisi itu terjadi karena pemerintah dan DPR salah menafsirkan kata informasi. Menurut dia, sebenarnya informasi yang dimaksud dalam UU itu adalah lex informatica. Ini UU tentang informatika dan komputer bukan UU tentang pengetahuan informasi.
“Bahasa ilmiah hukum itu lex informatica,” ujarnya. “Saya nggak tahu, orang DPR artikan informasi itu berita, sehingga nggak nyambung antara informasi dan transaksi elektronik. Ini klusternya saja sudah beda.”
Yudi mengatakan, pasal 27 ayat 3 merupakan pasal selundupan. Karena, sebelumnya tidak ada pasal tersebut. Namun, tiba-tiba muncul dengan ancaman hukuman yang begitu tinggi.
Menurut dia, dalam naskah awal, semua tindak pidana ancamannya tak lebih dari tiga tahun.
Namun, hasil akhir pembahasan RUU ITE ancaman hukumannya sangat tinggi, yakni enam tahun. Pemerintah dituding sebagai pihak yang pertama kali mengusulkan agar ada pasal pencemaran nama baik dalam pembahasan UU ITE. Yudi mengatakan, lontaran itu langsung disambut oleh parlemen.
Hal itu dibenarkan Abdul Hakam Naja, anggota dewan asal PAN yang ikut membahas UU ITE.
Ia mengatakan, usulan pasal pencemaran nama baik itu berasal dari pemerintah, bukan DPR. Menurut dia, DPR lebih banyak ngerem dibanding ngegas. Menurut dia, parlemen justru menekan berbagai hukuman berat yang diajukan pemerintah.
Meski demikian, ia sepakat dengan pasal tersebut karena itu juga diatur dalam KUHP. Bedanya, kalau dilakukan di media eletronik belum diatur. “Dunia maya nggak ada aturannya waktu itu,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat 21 November 2014.
Perumus UU ITE Profesor Ramli menyatakan, pasal pencemaran nama baik merupakan usulan dari dari tim pemerintah. Hal itu dilakukan karena pasal pencemaran nama baik ada di KUHP. “Kalau enggak, bisa seperti di hutan belantara tanpa ada batasan. Harus fair bagaimana bila dirinya menjadi korban,” ujar guru besar Universitas Padjajaran, Bandung ini.
Menurut dia, pasal itu dimasukkan karena tiap orang tidak boleh mengganggu hak orang lain. “Semua secara internasional menolak,” dirjen HAKI ini menambahkan.
Namun, Kementerian Kominfo membantah tudingan tersebut. Kepala Humas Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, pada draf awal yang disiapkan pemerintah, belum ada pasal yang mengatur pencemaran nama baik, hanya ada larangan menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, dan perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik.
“Usulan untuk menambahkan ketentuan mengenai pencemaran nama baik muncul dari anggota DPR RI pada sidang-sidang 2006-2007 di DPR,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 21 November 2014.
Sementara itu, pakar hukum Pidana UI, Ganjar LB Bondan, mengatakan, tidak ada yang salah dengan UU ITE. Menurut dia, yang salah adalah penegak hukum yang terlalu "gatal". Kemudian, yang melaporkan juga terlalu "genit". Penegak hukum sepertinya tidak paham membedakan mana yang pencemaran nama baik dan mana yang kritik.
“Saya melihat penegak hukum tidak mampu membedakan kritik lewat sosmed itu,” tuturnya.
Hingga November sudah ada 42 orang yang menjadi korban, salah satunya Ervani. (Foto: VIVAnews/Daru Waskita)
Desakan Revisi
Margiono mengatakan, jika UU ITE tak direvisi atau dihapus pasal pencemaran nama baik, dipastikan korban UU itu akan terus meningkat seiring peningkatan jumlah pengguna internet.
“Selama pasal itu ada, apa saja ya bisa dijerat. Mau kita ngomong di Facebook, Twitter, atau blog, akan makin meningkat, sebab semakin tersosialisasi. Polisi, pengacara, orang selalu pakai pasal itu. Kecuali pasal itu sudah tidak ada,” ujarnya.
Sebab, ia menilai pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE sangat multitafsir, berbeda dengan KUHP. Dalam KUHP, pasal penghinaan diatur secara jelas. Untuk itu, ia mendorong agar beleid
tersebut direvisi. Selain itu, Margiono mengusulkan agar Mahkamah Agung (MA) membuat surat edaran terkait moratorium pasal pencemaran nama baik di UU ITE.
Desakan senada disampaikan Damar Juniarto. Ia juga mengusulkan agar MA menerbitkan surat edaran yang menyerukan agar hakim tidak menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Ismail Cawidu mengatakan, Kementerian Kominfo menyatakan sudah menyusun perubahan UU ITE sejak 2011, terutama terkait dengan ancaman pidana untuk pelaku pencemaran nama baik diturunkan dari enam tahun menjadi dua tahun. Alasan menurunkan ancaman pidana agar tidak terlalu jauh dari KUHP.
Menurut sejumlah ahli pidana, dua tahun sudah cukup memadai untuk dikenakan kepada pelaku pencemaran nama baik. Dengan penurunan ancaman hukuman itu, maka tidak perlu dilakukan penahanan terhadap pelaku. Kementerian ini berjanji akan berupaya agar revisi UU ITE masuk prolegnas 2015-2019 dan masuk Prioritas Pembahasan 2015.
Wakil Ketua Komisi I DPR 2014-2019, Tantowi Yahya menyambut baik rencana pemerintah yang akan mengajukan revisi UU ITE. Ketua DPP Partai Golkar ini mengatakan, UU tersebut sudah saatnya untuk diamendemen, khususnya pasal 27 yang menjadi "jebakan Batman" bagi masyarakat yang baru saja berimigrasi dari masyarakat konvensional ke masyarakat digital.
Menurut dia, ada dua persoalan di UU tersebut. Pertama, ketidaksengajaan menurut pasal 27 yang berimplikasi pidana. “Banyak masyarakat yang melanggar pasal tersebut karena tidak tahu. Kedua, kurangnya sosialisasi terhadap UU tersebut,” kata dia.
Hari beranjak sore. Namun, sejumlah orang masih berdatangan ke rumah Ervani. Ada yang ingin mendengar ceritanya selama di penjara atau sekadar menyampaikan dukungan. Ervani hanya berharap, pengadilan akan memberikan putusan yang adil kepadanya.
Sebab, ia tak bermaksud mencemarkan nama baik siapa pun, termasuk atasan suaminya. “Saya juga tidak tahu kalau curahan hati saya melanggar UU ITE," tuturnya. (art)