Berebut Air di 'Bumi Mataram'
- VIVA.co.id/Daru Waskita
VIVA.co.id - Dodok Putra Bangsa membuat heboh. Awal Agustus 2015, warga desa Miliran, RT 13, Mujamuju, Umbulharjo, Yogyakarta, itu mandi tanah di depan Hotel Fave. Aksinya menarik perhatian.
Bukan tanpa alasan. Dia prihatin, air bersih di daerahnya habis.
Selama dia hidup di Miliran, tidak pernah kehabisan air seperti ini. Bahkan, katanya, banyak warga yang tidak mandi karena air bersih sudah tidak ada lagi.
“Kalau air bersih sudah tidak ada, maka hanya tinggal tanah. Ya kami mandi pakai tanah,” ujar Dodok saat berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu, 25 November 2015.
Dodok dan para warga sekitar yakin, Hotel yang berada di wilayah mereka jadi biang keladi. Kata Dodok, sejak hotel itu berdiri pada 2012, sumur penduduk Miliran mulai kering. Padahal, musim kemarau saat itu baru datang. Jadilah warga dan hotel berebut air.
"Sudah 34 tahun saya hidup di Miliran, namun tidak pernah sumur kering meski kemarau panjang terjadi. Kehadiran hotel itu, yang menyedot air permukaan, membuat sumur warga mengering," ujar Dodok.
Aksi Dodok menuai hasil ketika Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta turun ke lapangan untuk memastikan sumur mereka memang mengering. Sayang, kata Dodok, pihak BLH bersikeras bahwa kemarau panjanglah yang mengakibatkan sumur itu kering, bukan karena kesalahan Hotel Fave.
Kekecewaan Dodok sedikit terobati setelah akhirnya BLH melarang Hotel Fave mengambil air tanah dan beralih menggunakan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Terbukti, kata Dodok, setelah hotel itu tak lagi memakai air tanah, sumur warga berangsur terisi kembali.
"Ya tinggal menunggu waktu saja. Pasti sumur-sumur warga akan mengering," ucapnya.
Hotel Menjamur
Ketakutan warga kehabisan air bersih akibat pembangunan hotel dan apartemen juga dirasakan warga Dusun Plemburan, Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, dan warga Dusun Pogung Lor Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kekhawatiran ini mereka perlihatkan dengan aksi unjuk rasa penolakan terhadap pembangunan apartemen mewah yang berada di tengah kampung mereka.
Suharyono, warga Plemburan, mengatakan pembangunan apartemen mewah dipastikan akan mengancam air bersih untuk warga. Seperti yang dirasakan warga Miliran, akibat imbas dari pembangunan hotel.
"Selama ini warga hanya mengandalkan dari sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Jika apartemen berdiri, maka air bersih akan tersedot oleh apartemen," ujar Suharyono.
Menurut Suharyono, warga yang setuju pembangunan apartemen mewah bukanlah warga sekitar. Mereka berasal dari wilayah yang jauh dari apartemen. Terlebih, warga yang setuju itu tidak terdampak pembangunan apartemen. "Ini kan kasus klasik. Warga di luar setuju, namun dianggap semua warga setuju," katanya.
?Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Agus Subagyo, mengatakan dalam waktu dekat ini sedikitnya ada 61 hotel dan apartemen mewah yang akan dibangun di wilayah DIY. Yang terbanyak di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
"Jika tidak diantisipasi dampaknya, salah satunya kebutuhan sumber air untuk hotel dan apartemen, maka masyarakat sekitar hotel yang akan terdampak. Sumur warga mengering,"ujar Agus.
Bahkan, dampak yang lebih parah lagi setelah beberapa tahun hotel dan apartemen beroperasi, debit air permukaan akan menurun. "Kalau warga Sleman dan Kota sumurnya mengering bagaimana nasib warga Bantul yang berada di hilir. Pasti akan lebih parah," tuturnya.
Diakui Agus, pendirian hotel memang disertai dengan perizinan pengambilan air tanah dan tidak boleh mengambil air tanah permukaan. Namun dalam kenyataannya, ada hotel dan apartemen mewah yang mengambil air tanah permukaan.
"Pengawasannya sangat sulit karena saat membangun sumur dalam tidak ada kontrol yang baik dari instansi terkait. Tahu-tahu sumur jadi dan setelah digunakan banyak sumur warga yang mengering," ujar Agus .
Wajar jika masyarakat ketakutan terhadap pembangunan hotel dan apartemen, dinilainya sangat wajar. Sebab, dalam jangka panjang, warga akan mengalami penderitaan, kesulitan air.
Apalagi, kata Agus, air bersih saat ini merupakan kebutuhan pokok yang harganya mahal di wilayahnya, termasuk jika berlangganan PDAM.
"Hotel dan apartemen juga sadar menggunakan air PDAM akan memboroskan biaya operasional, sehingga memilih menggunakan air tanah," tuturnya.
Lebih lanjut, politikus Partai Golkar ini berharap kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten agar tidak lagi mengobral perizinan pendirian hotel dan apartemen. Kalau pun harus, wajib dipastikan pendiriannya tidak merugikan warga sekitar.
"Semua harus transparan, sesuai dengan aturan yang ada, seperti tata ruang dan wilayah yang ada di masing-masing kabupaten-kota," kata Agus.
Ketua Groundwater Working Group dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Heru Hendrayana, mengatakan pada dasarnya air tanah masih melimpah dan masih sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Yogyakarta.
Tapi, air di permukaan sudah turun dan hanya dapat disedot melalui pipa-pipa panjang milik industri perhotelan. Sumur-sumur warga yang airnya berada di lapisan permukaan pun mengering.
Heru menjelaskan bahwa ada dua jenis air tanah, yakni air tanah bebas dan air dan air tanah tertekan. Air tanah bebas adalah air yang berada di tanah bagian atas.
Jika musim kemarau, banyak sumur warga yang kering karena tidak ada hujan berkepanjangan. Air tanah tertekan ialah air yang berada di tanah bagian bawah dan air itulah yang harus dilindungi.
Sumur-sumur kering di Kota Yogyakarta, kata Heru, salah satunya karena industri perhotelan mengambil air pada kedalaman sekira 50 meter. “Untuk hotel harusnya mengambil air bagian bawah dan harus mengikuti aturan, sehingga tidak menimbulkan sumur milik warga sekitar industri kering di saat musim kemarau,” katanya.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DIY, Halik Sandera, mengatakan masifnya pembangunan hotel, mal, dan apartemen mewah di Yogyakarta dipastikan akan mengancam ketersedian air bersih bagi warga.
Kasus di Hotel Fave, katanya, sudah menjadi bukti bahwa penyedotan air bersih oleh hotel menyebabkan sumur dangkal milik warga mengering.
"Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM DIY yang menyatakan penurunan permukaan air sekitar 20 centimeter," kata Halik.
Penurunan permukaan air sekitar 20 cm ini tidak saja disebabkan oleh pembangunan hotel, apartemen mewah atau mal, tapi juga kegiatan penambangan pasir yang berada di wilayah Gunung Merapi. Akibatnya, dua mata air tidak lagi mengalir.
Di sisi lain, kata Halik, saat ini banyak pekarangan rumah warga yang dicor beton. Sehingga air tidak masuk ke dalam tanah, melainkan ke selokan kemudian mengalir ke sungai.
"Tidak ada lagi air yang masuk ke dalam tanah,” ujar Halik.
Bagi warga di Yogyakarta sendiri saat ini masih mengandalkan air dari sumur, Sedangkan penduduk yang mengandalkan air dari PDAM lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan perbatasan dengan wilayah kota.
"Saat pelanggan bisa menuntut ketika air PDAM tidak lancar, sayangnya masyarakat sama sekali tidak bisa menuntut jika air PDAM keruh, bahkan terkadang tak mengalir," tuturnya.
Pemerintah seharusnya bisa menjamin pasokan air bersih bagi warganya, dengan memantau dan meminta agar perusahaan air minum daerah lancar mengalirkan air ke warga. Apalagi tujuan keberadaan perusahaan air itu jelas, untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat.
"Cara itu yang bisa mengantisipasi ekspansi bisnis hotel, apartemen dan mal yang ada di Yogyakarta," ujar Halik.
Adanya gerakan Jogja Asat, kata Halik, merupakan momentum yang harus dijaga terus dan selalu didengungkan agar masyarakat terus sadar bahwa kebutuhan air bersihnya mulai terancam. Jika tidak disikapi, maka masyarakat yang harus menanggung penderitaan dengan membeli air bersih yang sudah dikomersialisasikan dengan harga mahal.
"Itu juga sebagai kontrol pemerintah agar tidak obral izin mendirikan hotel, apartemen dan mal, yang menyedot kebutuhan air bersih masyarakat," Halik menegaskan.
Kendala Izin
Wakil Wali Kota Yogyakarta, Imam Priyono, mengatakan munculnya permasalahan sumur kering milik warga di Kampung Miliran tidak boleh sepenuhnya menyalahkan keberadaan Hotel Fave. Hotel tersebut, ditegaskan Imam, telah berdiri karena ada izin dari warga sekitar.
"Pemerintah Kota Yogyakarta tidak mungkin mengeluarkan izin pembangunan hotel tanpa ada persetujuan dari warga, karena aturan memang harus seperti itu," kata Imam.
Menurut Imam, masalah kekeringan pada sumur warga terjadi setelah dua tahun Hotel Fave. Sebelumnya tidak ada masalah dengan air sumur warga. Namun demikian, Pemkot Yogya, kata Imam, pasti turun tangan untuk menjembatani masalah sosial yang timbul dari berdirinya hotel tersebut.
"Kami mencarikan solusi agar ada win-win solution bagi hotel maupun warga," Imam berjanji.
Pemkot Yogyakarta, melalui BLH, sudah menginstruksikan agar Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan hotel tersebut benar-benar sesuai dengan aturan yang ada. Termasuk pembuatan pumping test untuk sumur dalam, sehingga air dangkal tidak tersedot oleh hotel.
"Amdal harus sesuai dengan aturan yang ada sehingga tidak menimbulkan efek sosial dikemudian hari," ujar Imam.
Selain itu, Imam meminta agar para pelaku bisnis perhotelan yang memiliki anggaran Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digunakan untuk membantu masyarakat sekitar hotel. Atau bisa digunakan untuk penelitian dengan melibatkan mahasiswa atau dosen terkait dampak sosial yang dihadapi ketika hotel tersebut beroperasi.
"Pengusaha harus bersinergi dengan masyarakat di sekitar tempat usahanya. Tidak boleh menang sendiri," kata Imam.
Imam memastikan, seluruh pembangunan hotel di Kota Yogyakarta sudah sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada, karena pengusaha pasti sudah melihat rencana detail tata ruang yang ada di Kota Yogyakarta.
"Yang jadi masalah sekarang adalah masyarakat di sekitar hotel yang akan dibangun. Apakah setuju atau tidak. Jika setuju, maka pengajuan izin pembangunan hotel bisa diberikan oleh Pemkot Yogyakarta. Begitupula sebaliknya," kata Imam.
Sementara itu, Kepala Sub Bidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan BLH Kota Yogyakarta, Very Tri Jatmiko, menjelaskan Hotel Fave memiliki kedalaman sumur 80 meter, dan saat akan melakukan pengeboran sudah melalui prosedur teknis yang berlaku.
Pemilik hotel, lanjut Very, telah mengantongi rekomendasi teknis dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (PUP ESDM DIY) yang memiliki kewenangan terhadap data kuantitas air tanah.
“Untuk membuat sumur dalam, mereka tidak mengambil sendiri. Namun ada prosedur yang harus dilakukan. Untuk rekomendasi teknis kami kerja sama dengan PUP ESDM DIY,” kata Very.
Menurut Very, sumur dalam yang dimiliki Hotel Fave tidak mempengaruhi kuantitas air di sumur dangkal milik warga. Karena di kedalaman 40 meter di dalam tanah terdapat lapisan lempung setebal 6 meter yang memisahkan air di dangkal dan dalam, sehingga apabila sumur dalam disedot, tidak mempengaruhi air yang ada di sumur dangkal.
Very mengemukakan hal tersebut berdasarkan data teknis sumur dalam milik Hotel Fave yang dimiliki BLH Kota Yogyakarta. Pada 1 Oktober 2012, test pumping juga sudah dilakukan. Tes tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah saat sumur dalam disedot akan mempengaruhi air di sumur dangkal atau tidak.
“Setelah pompa dihidupkan secara terus menerus selama 8,45 jam terdapat penurunan di sumur dalam. Namun untuk sumur dangkal yang dimiliki warga tidak terjadi penurunan dan justru naik 8 cm untuk yang sebelah utara, justru ada penambahan,” ujar Very.
Terkait penyebab mengeringnya sumur dangkal milik warga, Very menilai hal tersebut bisa dipengaruhi faktor musim kemarau. Karena sumber air dari sumur dalam dan sumur dangkal berbeda. Untuk sumur dalam berasal dari resapan yang ada di Gunung Merapi, sedangkan untuk sumur dangkal berasal dari resapan air di permukaan tanah.
“Yang kedua juga bisa diakibatkan karena penggunaan air tanah di daerah tersebut, berapa kapasitas air tanah yang disedot. Karena hal ini harus dilihat secara global dan melihat kondisi sekitarnya,” kata Very. (ren)