Bangkit dari Keterpurukan

Teknisi PT Dirgantara Indonesia merakit Helikopter Super Puma NAS 332
Sumber :
  • Antara/ Rezza Estily

VIVA.co.id – Hari masih pagi. Namun, belasan pekerja sudah terlihat sibuk di salah satu hanggar milik PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Di antara mereka, ada yang sedang mengebor aluminium. Ada juga yang sedang mengukur dan memotong blok logam putih keperakan itu.

Sementara itu, sisanya mengelas dan memastikan pengerjaan ‘spare part’ pesawat sudah sesuai pesanan.

Blok aluminium tampak menumpuk di pojok ruangan. Cetakan rangka pesawat juga terlihat di dalam ruangan seluas lapangan bola yang terletak di Jalan Padjadjaran nomor 154, Cicendo Husein Sastranegara Kota Bandung, Jawa Barat ini. Sejauh mata memandang, hanggar Tooling Shop Aerostructure PT DI ini didominasi oleh aluminium beragam bentuk dan ukuran.

Dari jauh terlihat ada kerumunan. Ternyata, Sulistiyanto (59), salah seorang karyawan yang terbilang senior di PT DI tengah dikelilingi sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang sedang magang di perusahaan ini. Sambil memegang operator bor mesin, ia terlihat menjelaskan sesuatu kepada para siswa tersebut.

"Saya masuk 8 Oktober 1981. Masuk pendidikan enam bulan di Tooling Design untuk mendukung kegiatan produksi pesawat," ujar Sulistiyanto kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Januari 2017.

Ia menuturkan, sama seperti perusahaan lain, PT DI juga sempat oleng terkena imbas krisis ekonomi pada 1997. "Semua perusahaan mengalami itu karena imbas krisis moneter. Hampir semua yang bareng satu diklat habis. Dari sekitar 15 orang, sekarang sisa tinggal dua," ujarnya mengenang.

Suasana pabrik PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Jawa Barat. (VIVA.co.id/Suparman)

Irlan Budiman mengamini. Manajer Hukum dan Humas PT DI ini mengatakan, krisis ekonomi global pada 1997 berdampak langsung pada kondisi perusahaan. "Isu politisnya tak lepas dari krisis yang menghentikan program N250 pada tahun 1998. PT DI mulai terpuruk dengan adanya kebijakan IMF untuk menghentikan program bantuan dana kepada PTDI,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Januari 2017.

Untuk bisa bertahan dan agar perusahaan tetap bisa jalan, PTDI membuat sejumlah program. Upaya itu dilakukan agar perusahaan tersebut tetap bisa bertahan. Salah satunya membuat mesin pencetak panci.

“Saya tegaskan bahwa PT DI bukan membuat atau menjual panci. Tapi, PT DI membuat alat pencetaknya dan itu pun nilainya mahal bisa ratusan juta rupiah,” Irlan menegaskan.

Kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal pada 2003 menambah buruk kondisi perusahaan. PHK ini berbuntut panjang. Kondisi ini diperparah dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memailitkan PT DI pada 2007. Meski, pada tahun yang sama, Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut.

Bangkit dari Keterpurukan

Putusan MA yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjadi awal kebangkitan PTDI. “Dari situ mulai start kembali menuju perbaikan,” ujar Irlan.

Ia menjelaskan, pada 2012 dan 2014, PTDI mendapatkan tambahan modal dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), baik PMN noncash maupun PMN cash. PMN cash, PT DI dapat Rp1,4 triliun, kemudian dapat Rp400 miliar. 

“Semua itu untuk memperbaiki dan menambah permodalan PT DI, khususnya untuk peningkatan fasilitas produksi dan sumber daya,” dia menambahkan.

PMN merupakan bagian dari program restrukturisasi dan revitalisasi PT DI. PMN tersebut kemudian digunakan untuk membeli mesin baru, merekrut SDM baru yang dimulai pada 2012. Menurut Irman, pembelian mesin untuk fasilitas produksi diperlukan agar kapasitas produksi lebih besar.

Program restrukturisasi dan revitalisasi PTDI tersebut kini mulai menuai hasil. Sebab, program itu tak hanya membuat PT DI mampu bertahan, namun juga bisa memproduksi dan mengekspor pesawat. "PT DI sekarang banyak ngirim (ekspor) pesawat ke luar. Pesanan dari Kementerian Pertahanan juga banyak,” ujar Irlan bangga.

Menurut dia, banyaknya pesanan dari dalam dan luar negeri membuktikan jika PT DI sudah kembali dipercaya. Saat ini, PT DI juga mengerjakan proyek dengan Airbus Group melalui Spirit Aerosystem.

Bahkan, PT DI menjadi single source untuk bagian sayap pesawat A320, A321 hingga yang terbesar A380. “Banyak pekerjaan komponen yang dibuat di PT DI saat ini,” dia menerangkan.

Produk-produk PTDI banyak yang diekspor ke sejumlah negara. Di antaranya Senegal, Venezuela, Uni Emirat Arab (UAE), Turki, Thailand, Brunei Darussalam, Pakistan, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan sejumlah negara lain.

"Itu menandakan peningkatan kepercayaan pelanggan di luar, atas kualitas produk-produk yang dihasilkan PT DI. Sebagai contoh, saat ini PT DI seminggu sekali mengirim komponen bagian dari sayap pesawat Airbus A320, A321, A380 ke Inggris. Kemudian membuat dan mengirimkan badan pesawat dan bagian ekor helikopter ke Prancis,” ujarnya.

Selain dijual ke luar negeri, PT DI juga banjir pesanan dari dalam negeri. "Dalam negeri banyak. Kita pasti dapat pesanan dari Kementerian Pertahanan baik itu untuk Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Baik Fixed Wing (pesawat bersayap) maupun Rotary Wing (Helikopter),” ujarnya menambahkan.

Irlan mengklaim, banyaknya pesanan kepada PT DI menunjukkan jika perusahaan pelat merah tersebut sudah bangkit. "Ini merupakan bukti nyata bahwa PT DI sudah bangkit kembali. Permasalahan hukum dengan karyawan setelah PHK pada 2003 juga sudah selesai sepenuhnya tahun 2007. Saat ini tidak ada lagi permasalahan hukum terkait ketenagakerjaan sebagai imbas PHK tahun 2003 tersebut,” ujarnya.

Dukungan Pemerintah

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengakui, jika PT DI sempat nyaris bangkrut. Menurut dia, PT DI ‘sakit’ hingga 2003 dan mulai hidup lagi pada 2006.

Namun, perusahaan ini kembali kesandung masalah dengan putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pada 2007-2008 perusahaan ini hidup lagi. Kemudian berangsur-angsur membaik. Ia mengatakan, salah satu faktor yang membuat PT DI bangkit karena ada suntikan dana dari pemerintah melalui PMN.

Parade pasukan dan alutsista TNI di Dermaga Madura Komando Armada RI Kawasan Timur saat HUT TNI ke 69, Surabaya, 7 Januari 2014. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)

Saat ini, PT DI sudah banyak mengekspor pesawat ke luar negeri. “Ada ekspor ke Filipina, Thailand, dan Senegal. Itu pesawat terbang lho yang kita ekspor. Jadi kita patut berbangga, Indonesia ini mengekspor pesawat terbang,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 25 Januari 2017.

Selain itu, PT DI membantu memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Kemarin dia baru suplai dua helikopter kepada TNI AU, dua helikopter kepada Basarnas, kemudian banyak helikopter ke AD dan AL. Mungkin yang perlu ditonjolkan, helikopter yang di-deliver ke Angkatan Laut itu namanya Anti Kapal Selam (AKS), canggih,” dia menambahkan.

Meski demikian, bukan berarti PT DI tak ada masalah. Menurut Fajar, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan di perusahaan tersebut. Misalnya soal sumber daya manusia.

Ia mengatakan, SDM PT DI sudah banyak yang tua-tua, sehingga perlu regenerasi. Selain itu, peralatannya sudah kedaluwarsa, karena dibangun sejak 1978 sehingga butuh peremajaan.

Irlan berharap, pemerintah terus mendukung keberadaan PT DI. Sebab, industri dirgantara sarat dengan teknologi tinggi.

"Pemerintah terus mendukung industri dalam negeri, khususnya PT DI. Karena penguasaan teknologi dirgantara sarat dengan teknologi tinggi,” kata dia. 

Salah satu bukti konkretnya adalah pemerintah mendukung program N219 dan pengembangan produk N245. Karena ini adalah program nasional dan dimulainya masuk ke pasar pesawat komersial. “Di mana pesawat tersebut akan menjadi pesawat penghubung antarpulau, yang tentunya akan meningkatkan perekonomian negara," ujarnya.

Harapan serupa disampaikan Sulistiyanto. "Kita harus punya komitmen maju bersama. Jangan saling menghantam, saling menyalahkan, image seperti itu harus dihilangkan. Kita kaji kalau ada kekurangan. Kita harus bersama," kata dia. (art)