Jejak Tradisi Lebaran Ketupat Tanah Jawa

Tradisi makan ketupat saat lebaran tiba
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

VIVA.co.id – Ketika berada jauh dari pusat kota, di salah satu daerah agak pelosok di Jawa Timur, suasana Idul Fitri tak semeriah di kota-kota besar. Meski gema takbir tetap berkumandang dari masjid atau surau, tetapi hidangan menyambut Idul Fitri belum ada.

Kuliner khas Hari Raya, atau yang juga disebut Lebaran, yakni ketupat belum tersedia di atas meja. Biasanya, ketupat justru baru dibuat beberapa hari setelahnya, mendekati Hari Raya lain, yang disebut Lebaran Ketupat.

Ketupat adalah penganan yang terbuat dari beras dan dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa, atau janur berbentuk segi empat. Makanan tradisional ini memang menjadi menu wajib perayaan Lebaran di beberapa wilayah Indonesia.

Terutama di tanah Jawa, perayaan Lebaran setelah puasa Ramadan umumnya dilakukan tak cuma sekali, tetapi dua kali. Pertama, Idul Fitri yang dirayakan tepat pada tanggal 1 Syawal, dan yang kedua adalah Lebaran Ketupat. Di Jawa, Lebaran Ketupat kerap dirayakan sepekan usai Idul Fitri, atau setelah melaksanakan puasa Syawal selama enam hari.

Lebaran ketupat jatuh pada tanggal 8 Syawal tiap tahunnya. Dua Lebaran ini dirayakan dengan cara berbeda oleh masyarakat Muslim Jawa, yang masih menjalankan tradisi dua Lebaran.

Keraton Kasunanan yang berada di Surakarta. (VIVA.co.id/Fajar Sodiq)

Soal sejarah lahirnya tradisi warisan Wali Songo tersebut, budayawan sekaligus putra dalem mendiang Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) XII, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo menuturkan, Lebaran Ketupat diperkenalkan kali pertama oleh Sunan Kalijaga, tokoh Islam Njawani, yang menggunakan simbol-simbol kuat dengan nilai Jawa dalam melakukan syiar Islam.  

"Beliau mengajarkan agama Islam dengan mengikat bersama tradisi yang sudah ada. Contohnya melalui makanan (ketupat). Karena makanan ini sudah ada di Jawa, sejak sebelum Islam di Nusantara. Makanya, Sunan Kalijaga membuat model baru syiar Islam menggunakan makna simbolis," tutur dia kepada VIVA.co.id, belum lama ini.

Sementara itu, anggota Tim Ahli Bidang Kuliner Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Linda Farida Rahmat menjelaskan bahwa tradisi yang dibawa oleh Sunan Kalijaga ini pun tak sekadar tradisi, tetapi memiliki makna dan filosofi tersembunyi.

Menurut dia, Lebaran Ketupat di Jawa punya beberapa sebutan, di antaranya Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku Lepat, artinya mengaku dan lapat bermakna salah, jadi Ngaku Lepat berarti mengakui kesalahan dan saling memaafkan.

"Kalau Laku Papat itu ada empat hal yang kita lakukan, Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan," kata dia, ketika dihubungi VIVA.co.id.

Linda menjelaskan, Lebaran berarti saling meminta maaf, dilebarkan hatinya untuk memaafkan orang lain dan berhati besar untuk minta maaf kepada sesama. Sedangkan Luberan dari kata luber, yang artinya melimpah. Jadi, harus berbagi dengan orang yang kurang beruntung, dengan memberi sedekah, dan biasanya dilakukan sebelum Lebaran.

Sementara itu, Leburan berarti saling melebur kesalahan dengan bermaaf-maafan. Dan, Laburan dari kata labor, atau mengecat putih hati, artinya hati dibersihkan dari sifat yang tidak baik.

Adapun ketupat yang selalu ditemani dengan hidangan lain, melambangkan keberagaman dan kebersamaan. "Kalau bersatu, itu kan nikmat dan jadi sarana untuk silaturahmi, karena ketupat tidak bisa dimakan sendiri," ujarnya.

Tradisi Lebaran Ketupat di tanah Jawa, memiliki substansi yang sama meski dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Kali pertama, tradisi ini memang hanya dirayakan di keratin, atau pesantren. Namun, lambat laun, mulai diadopsi masyarakat, bahkan hingga ke luar Jawa.

Selanjutnya, Kemeriahan Lebaran Ketupat

Kemeriahan Lebaran Ketupat

Di Jawa Timur, atau provinsi paling timur Pulau Jawa, perayaan Lebaran Ketupat sedikit berbeda antara daerah satu dan lainnya, lantaran mengikuti kebiasaan lokal masyarakat setempat.

Misalnya di Kabupaten Sumenep, Madura, di mana perayaan Lebaran Ketupat justru lebih meriah dibanding Idul Fitri. Di daerah paling ujung Pulau Madura itu, Lebaran Ketupat disebut Tellasan Topak.

Tellasan memiliki arti Lebaran, sedangkan Topak berarti ketupat. Sejarawan Pulau Garam, Tadjul Arifien mengatakan, ketupat memiliki makna khusus. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur bermakna sejatining nur, atau cahaya sejati, yaitu nur Illahi.

Sementara itu, isi ketupat berwarna putih (beras) punya arti putih, alias bersih. “Jadi, artinya bersih dari dosa,” kata dia kepada VIVA.co.id.

Perayaan tradisi Lebaran Ketupat di daerah tersebut dibawa oleh penyebar Islam, Sayyid Ahmadul Baidhawi, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur. Berdasarkan sistem patrilineal, Pangeran Katandur adalah keturunan salah satu Wali Songo, yakni Sayyid Jakfar Shodiq, alias Sunan Kudus.

Lebaran Ketupat yang awalnya dipopulerkan oleh para Wali Songo menjadi alat Pangeran Katandur menyebarkan Islam di Sumenep. Hingga kini, tradisi itu masih dipelihara. Saban Lebaran, setiap rumah akan memasak ketupat. Dan, sebagai teman makan ketupat, biasanya dihidangkan ayam goring, atau panggang dan serundeng basah dicampur kecambah matang.

Untuk makin menambah nikmat hidangan, disediakan kuah santan yang disebut kella pathe. Variasi kuliner lainnya, ketupat dihidangkan dengan soto khas Sumenep, yakni soto berkuah bening.

Sedangkan di sejumlah kampung di Sumenep, ketupat disajikan bersama kaldu khas dengan bahan utama kacang hijau berkuah gulai daging sapi. Jika Anda pernah berziarah ke Makam Sunan Ampel Surabaya, kaldu khas Sumenep itu, kurang lebih sama seperti Gulai Maryam. Bedanya, perkedel dibarter dengan ketupat.

Setelah hidangan Lebaran Ketupat dibuat, umat Muslim akan saling berbagi makanan. Akan ada hantaran makanan ke sanak saudara, atau tetangga dekat. Selain itu, Anda juga akan menjumpai pemandangan unik yang jarang ditemui. Rumah yang terdapat orang tua lanjut usia yang masih memegang tradisi kuno, ketupat tanpa isi biasanya digantung di depan pintu rumah tiap Lebaran Ketupat tiba.

Tak beda jauh dengan di Sumenep, beberapa daerah di Kota Solo, atau Surakarta, juga masih merayakan Lebaran Ketupat. Di sini, Lebaran Ketupat disebut dengan nama Bakda Kupat.

Dalam Bakda Kupat, selain kupat sebagai santapan utama, juga disediakan sambal goreng dan opor ayam sebagai hidangan pendamping. Ketupat di sini memiliki filosofi tersendiri. Kupat yang terbuat dari janur memiliki simbol ngaku lepat, atau mengaku salah.

"Opor menggunakan bahan utama santan, atau dalam bahasa Jawa bernama santen. Kemudian, jika dijabarkan bisa menjadi pangapunten. Makanya, di Jawa dikenal dengan pantun, kupat bumbunepun santen, menawa lepat nyuwun agunging pangapunten (ketupat bumbunya santan, jika ada kesalahan mohon dimaafkan)," tutur KGPH Dipokusumo.

Dia menambahkan, Bakda Kupat menjadi penanda Lebaran Ketupat. Selain itu, Bakda Kupat juga tak terlepas dari empat dasar pola tradisi budaya Jawa. Pertama, menjadi manusia harus saling mendoakan (donga dinonga). Kedua, adalah saling mengingatkan (samad sinamadan). Ketiga, saling memperkuat dan saling membantu (doyo dinoyo), serta terakhir (keempat) adalah saling memaafkan (ngapuro ing apuro).

"Nah, yang terakhir ini biasanya berhubungan dengan halal bihalal saat Lebaran, atau Bakda Kupat," ucapnya.

Warga mengikuti tradisi Lebaran Ketupat yang digelar di halaman kantor wali kota Jakarta Barat. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)

Bakda Kupat merupakan penutup dari tujuh prosesi yang dilalui masyarakat Muslim Solo, jika Ramadan tiba. Prosesi ini dimulai dengan sadranan (membersihkan makam menjelang Ramadan), padusan (mandi membersihkan diri sebelum Ramadan), puasa, malam selikuran (malam 21 hari, atau menyambut Lailatul Qadar), memberikan zakat fitrah, Grebeg Syawal, dan Bakda Kupat.

Acara Grebeg Syawal biasanya dirayakan meriah saat Idul Fitri oleh Keraton Kesunanan Surakarta. Ini semacam kirab gunungan ketupat yang diarak oleh ratusan abdi dalem dari Keraton menuju Masjid Agung Solo. Setelah itu, gunungan tersebut didoakan oleh para sesepuh Keraton. Usai didoakan, gunungan akan diperebutkan masyarakat. 

Selesai Grebeg syawal, akan dilakukan Bakda Kupat. Salah satu warga yang rutin merayakan tradisi ini adalah Kurnia Heniwati. Dia mengaku kerap merayakan Bakda Kupat, setelah tujuh hari Idul Fitri di rumah neneknya di Desa Munggur, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Tradisi ini dimulai dengan berdoa untuk para leluhur, kemudian mengirimkan sebagian masakan ketupat bersama opor dan sambal goreng ke balai desa untuk didoakan oleh pemuka agama. Setelah didoakan, makanan akan dibagikan ke semua masyarakat dan sebagian lagi akan dihantarkan ke makam para leluhur.

Sementara itu, neneknya yang membuat beragam hidangan sehari sebelum Bakda Kupat akan menyisakan sebagian masakannya untuk disiapkan sebagai sesaji atau persembahan. Ketupat, opor ayam, sambal goreng dan jajanan pasar, seperti apem dan ketan serta makanan kesukaan leluhur keluarga diletakkan di meja berukuran panjang, lalu diberi dupa.

"Makanan itu sebagai simbol ucap syukur kepada leluhur yang telah memberikan kepada kami kemakmuran. Kami juga mengirimkan doa kepada leluhur. Intinya donga dinonga (saling mendoakan)," kata wanita yang biasa dipanggil Nia.

Warga lain dari Kalijambe, Sragen, Nita Wulandari mengaku bersama keluarga masih melakoni tradisi memasak ketupat, opor ayam, dan sambal goreng saat Bakda Kupat. Namun, tak ada ritual khusus saat menjalani tradisi ini.

"Biasanya cuma masak ketupat, opor dan sambal goreng, tahu acar, ketan bubuk. Lalu, dibagikan ke tetangga sekitar. Enggak ada ritual yang spesifik. Melakukannya, karena memang sudah turun temurun," ujar Nita.

Hal serupa dilakukan salah satu warga Semarang, bernama Wahyu Sangaji. Di ibu kota Jawa Tengah ini, Lebaran Ketupat dinamai Bodo Ketupat, yang dirayakan setelah Idul Fitri.

"Bedanya, kalau Idul Fitri cenderung pada perayaan nasional dan dominan acara silaturahmi keluarga saling maaf-maafan. Sedangkan Bodo Ketupat adalah perayaan lokal, cenderung masak ketupat bareng," ucap warga Tlogo Sari ini kepada VIVA.co.id.

Pada Bodo Ketupat, orang dengan kemampuan finansial baik akan berbagi makanan kepada saudara dan tetangga. Mereka akan menghantarkan hidangan yang kerap disantap saat Bodo Ketupat, seperti ketupat, opor ayam, sambal goreng telur, dan hati ampela.

Selain itu, ada hidangan lain yang disajikan sebagai kudapan khas saat Bodo Ketupat, yakni lepet. Lepet itu semacam lontong, namun terbuat dari beras ketan yang dicampur kacang merah dan diberi santan, sehingga memiliki rasa yang gurih. Biasanya lepet dibungkus dengan janur.

Selanjutnya, Tradisi yang Mulai Luntur

Tradisi yang mulai luntur

Menurut Wahyu, tradisi Lebaran Ketupat di kota tak lagi seramai dan semeriah seperti di kampung-kampung. Tradisi warisan leluhur ini kian luntur, tergerus perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.

Tak hanya di Semarang, tradisi Tellasan Topak di Sumenep juga kian bergeser. Beberapa tahun terakhir, tradisi berbagi hidangan ketupat jarang ditemui di kota, hanya dilakukan di kampung. Itu pun tidak seramai dahulu.

“Banyak yang menjadikan momen itu untuk berhura-hura dengan membuat hiburan musik di tempat-tempat wisata. Tidak Islami juga," kata sejarawan Madura, Tadjul Arifien.

Setali tiga uang, budayawan asal Madura lainnya, D. Zawawi Imron mengakui soal perayaan tradisi ini yang perlahan mulai surut. Kota-kota besar tak lagi merayakannya dan hanya segelintir desa, atau kampung yang mempertahankannya. Meski begitu, dia bersyukur bahwa kecamatan tempat tinggalnya masih merawat tradisi ini tetap 'hidup'.

“Di kecamatan saya, Batang-batang, masih ada tradisi Tellasan Topak,” ujar penyair berjuluk Si Celurit Emas itu.

Namun, perayaan Lebaran Ketupat di wilayah ini sedikit beda, di mana ketupat dibuat bukan hanya dari daun kelapa, tetapi dari daun pohon siwalan. Menurutnya, ketupat yang dibungkus dengan daun siwalan memiliki bau yang lebih harum.

KGPH Dipokusumo saat ditemui di Surakarta. (VIVA.co.id/Fajar Sodiq)

Tak beda jauh dengan sejumlah daerah yang mulai sepi dengan tradisi Lebaran Ketupat, di Solo pun tradisi ini mulai ditinggalkan masyarakatnya. "Bakda Ketupat memang sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Solo. Meski demikian, esensi dari Lebaran Ketupat tidak hilang," ujar KGPH Dipokusumo.

Pria yang akrab disapa Gusti Dipo itu menjelaskan penyebab jejak tradisi ini mulai memudar, karena mobilitas masyarakat yang semakin cepat. Sebagian masyarakat Solo memilih memajukan Lebaran Ketupat dan disatukan dengan Kupatan Riyoyo. Meski bergeser, menurut dia, esensi saling memaafkan dan silaturahmi tetap dijalani.

"Untuk Keraton sendiri, Bakda Kupat sudah tidak digelar. Tetapi, setiap keluarga Keraton masih menjalankannya," ucapnya.

Sementara itu, di kabupaten yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, di kawasan Tapal Kuda, yakni Kabupaten Banyuwangi juga sama. Perayaan Lebaran Ketupat di beberapa daerah di sini tak lagi ramai, meski jika ditelusuri masih ada kampung yang melestarikan sisa-sisa tradisi leluhur ini.

Kampung yang masih memegang teguh tradisi tersebut, biasanya malakoni Lebaran Ketupat yang disebut dengan nama Gelar Pitu, karena selalu dirayakan setiap tanggal 7 Syawal sebagai bentuk syukur kepada Sang Khalik. Pada hari itu, warga akan berebut gunungan ketupat berisi uang.

“Tetapi, di Banyuwangi, tradisi Lebaran Ketupat tidak semarak. Namun, di sini ada tradisi unik saat Lebaran, yakni Seblang,” kata Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Rahmawati Setyo Ardini kepada VIVA.co.id

Seblang adalah ritual penduduk asli Banyuwangi, atau suku Using yang dilakukan rutin secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Tari Seblang biasanya digelar setiap awal bulan Syawal, atau awal Lebaran. Ritual itu disajikan dalam bentuk tarian oleh gadis belia, yang ditunjuk oleh leluhur suku Using melalui mediasi makhluk halus.

Karena itu, tarian ini dilakukan dalam kondisi penari sedang kerasukan. Saat meliuk-liukkan tubuh, mata sang penari harus ditutup dengan kain. Tarian ini dilakukan selama tujuh hari berturut-turut.

“Tahun lalu, penari Seblang yang ditunjuk, usianya waktu itu sembilan tahun,” ujar wanita yang akrab disapa Dinie.

Namun, sebelum ritual Seblang digelar, akan dilakukan selamatan di empat titik, dua di antaranya di makam sesepuh di Desa Olehsari, Ki Buyut Ketut dan Ki Buyut Cili. Dan, ritual puncaknya, sang penari digiring ke arena Seblang. Tradisi Seblang ini diyakini suku Using dapat menghilangkan bencana dan pagebluk, atau paceklik.

Beragamnya tradisi Lebaran Ketupat, atau tradisi lain yang menyertainya di tanah Jawa memperkaya budaya di Nusantara. Mereka tetap mempertahankannya di tengah arus globalisasi demi menjaga indentitas budaya dan jejak tradisi Lebaran Ketupat di tanah Jawa supaya tak hilang, atau menjadi cerita rakyat semata. (asp)