Saya Yakin Semua Sepakat Penyiaran Harus Diawasi

Ketua KPI Pusat Agung Suprio
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Rapat Pleno Pertama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2019-2022 yang berlangsung pada Jum’at, 2 Agustus 2019, memutuskan Agung Suprio menjadi Ketua KPI. Agung bukan orang baru di KPI. Dia adalah petahana yang sebelumnya menjabat sebagai Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.

Pidato Agung sebagai Ketua KPI yang baru mengundang kontroversi. Sebab, Agung melontarkan ide untuk melakukan pengawasan pada media baru, yaitu media yang melakukan siaran publik tanpa melalui jalur frekuensi publik. Usulan itu dikecam. KPI dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan maksimal, namun sudah berniat membatasi kebebasan publik memilih tontonan. 

Kepada VIVAnews, Agung memberikan penjelasan, latar belakang ide itu ia kemukakan. Sebagai Ketua KPI yang baru, yang juga petahana, Agung mengaku sudah banyak hal yang ingin ia lakukan. Salah satunya adalah merampungkan revisi UU Penyiaran yang selama bertahun-tahun terkatung-katung. Ia tahu, risiko berhadapan dengan publik, tapi perkembangan teknologi yang makin tak terbendung tak bisa dielakkan. Seluruh elemen dalam masyarakat harus bisa menerimanya. Maka ide-ide siap ia lontarkan.

Latar belakang Agung Suprio, pria kelahiran 2 September 1975, cukup mumpuni untuk berada digaris depan KPI. Agung adalah  lulusan Universitas Indonesia dan terlibat menjadi aktivis 98. Koordinator Nasional UNFRELL (University Network For Free and Fair Election) pada tahun 1999, yaitu lembaga pemantau pemilu demokratis pertama sejak masa Orde Baru yang berbasiskan perguruan tinggi dari Aceh sampai Papua. Usai pemilu, Agung menjadi anggota Badan Pekerja Cetro (Center for Electoral Reform) pada 2000 – 2001 bersama tokoh nasional seperti almarhum Nurcolish Madjid dan Todung Mulya Lubis.

Agung memilih radio sebagai perjalanan awal karirnya dalam dunia penyiaran. Minatnya terhadap masalah sosial politik membuatnya tampil menjadi penyiar radio yang berbeda dengan penyiar radio lainnya. Agung kerap melontarkan canda tentang situasi sosial politik, hal yang akhirnya menjadi ciri khas Agung sebagai penyiar. Karirnya terus melaju, meski dijalani sambil melanjutkan pendidikan pascasarjana di UI. Tahun 2016, ia terpilih menjadi anggota KPI. Dan tahun 2019, ia kembali terpilih menjadi anggota KPI sekaligus dipercaya menjadi ketuanya. 

Apa yang diimpikan Agung terkait dunia penyiaran dengan menjalankan amanat sebagai Ketua KPI? Apa saja yang akan ia lakukan? Bagaimana menghadapi tekanan publik soal pengawasan media baru? Apa saja ide-ide lain yang ingin ia wujudkan? Agung menjelaskan itu semua dalam wawancara khusus dengan VIVAnews di kantor KPI, akhir Agustus lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Pernyataan Anda untuk mengawasi konten digital seperti YouTube, Netflix dan Facebook membuat heboh. Bagaimana sebenarnya?
Iya, jadi pertama kali pernyataan itu muncul pada saat pidato pengukuhan di kantor Kominfo (11 Agustus 2019-red). Hadir pada saat itu Menteri Kominfo Rudiantara, Pimpinan Komisi I DPR RI, ada Bapak Abdul Haris ketua komisi I, Satya dari Golkar, dan Asril Tandjung dari fraksi Gerindra juga hadir ketika itu, karena mereka ini adalah unsur pimpinan komisi I DPR RI. Hadir juga pada saat itu wartawan dari berbagai media yaa, ada media online, media cetak, maupun dari televisi dan radio juga banyak sekali. 

Pada saat itu saya diminta untuk berpidato selaku Ketua KPI periode 2019-2022. Pidato yang saya sampaikan sebetulnya ada empat poin, pertama tentang pengawasan karena itu adalah tugas utama kami, pengawasan lembaga penyiaran. Kedua, tentang rating. Kami mengkritisi masalah rating ini, artinya agar jangan sampai lembaga penyiaran itu hanya mengacu pada rating, tetapi tidak mengacu pada kualitas. Pada poin kedua ini kami pun menginginkan munculnya lembaga rating yang baru sebagai alternatif terhadap satu-satunya lembaga rating yang ada di Indonesia. Karena sekarang hanya ada satu-satunya kan, jadi bisa dikatakan sebagai monopoli.

Ketiga, tentang tantangan media baru. Keempat tentang dukungan kami terhadap digitalisasi penyiaran di daerah perbatasan. 

Kenapa itu penting? 
Karena di daerah perbatasan itu terjadi dua hal, pertama luberan asing atau dari negara tetangga. Jadi masyarakat di daerah perbatasan itu sekarang banyak yang menonton siaran televisi negara tetangga. Kedua adalah lembaga penyiaran konvensional. Tidak ada penyiaran di sana, ini kita tetap lakukan pengawasan. Karena tak ada penyiaran di sana, maka hari ini mereka mengonsumsi konten digital, yang kami khawatir kalau kita bicara tentang radikalisme itu bisa tumbuh di situ. Artinya kemudian, kami sangat mendukung setiap usaha penyiaran di daerah perbatasan, termasuk dalam hal ini adalah penyiaran digital atau yang menggunakan multiplexer. Mungkin ini istilah yang sangat teknis. Yang jelas kalau ada digitalisasi penyiaran maka masyarakat akan dapat menonton televisi konvensional, yang selama ini mereka mungkin jarang menonton karena tidak ada siaran yang masuk ke perbatasan.

Bagaimana dengan pengawasan media baru?
Nah, tentang media baru itu saya memulai prolog begini, generasi milenial sudah jarang melihat televisi. Ini didukung oleh banyak survei ya. banyak masyarakat yang beralih ke media baru. Contoh, anak saya yang paling tua usianya 10 tahun, anak kedua 9 tahun, anak ketiga menjelang tiga tahun. Anak yang usia 10 dan 9 tahun itu saya bisa katakan sudah tidak pernah menonton televisi. 

Jadi mereka menonton melalui smartphone. Atau kalau nonton TV karena TV sekarang sudah ada smart TV, sudah Hybrid, jadi sudah terkoneksi dengan internet atau WiFi. Maka yang ditonton bukan free to air, tetapi media baru. Saya tidak usah sebut brand apa saja media baru itu, tapi teman-teman sudah tahu lah ya. Nah, anak saya yang menjelang tiga tahun, itu sudah bisa juga dia buka handphone. Artinya memang generasi ini lebih banyak mengonsumsi media baru dari pada televisi atau lembaga penyiaran konvensional. Oleh karena itu lah, KPI berencana mengawasi. Jadi ada kata berencana untuk mengawasi. 

Jadi belum pasti, karena ada kata rencana? 
Karena kami menunggu UU penyiaran yang baru. Itu intinya. Jadi apakah itu harus diawasi? Saya yakin semua sepakat harus diawasi. Sekalipun misalnya platform tersebut menyediakan filter atau parental log. Nah artinya memang pengawasan itu diserahkan kepada masyarakat atau dalam konteks ini adalah keluarga. 

Lalu bagaimana untuk masyarakat usia dewasa? Kan memang masyarakat usia dewasa itu tentu mungkin banyak juga mengonsumsi konten-konten yang katakanlah 'pornografi.' Kita punya standar nilai KPI, namanya PPPSPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang mengawasi televisi dan memberikan pengawasan. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Nah, kalau dikomparasi dengan PPPSPS jadi jauh sekali. 

Apakah pengawasannya itu nantinya seperti lembaga sensor?
Nah, ini juga yang perlu diluruskan, karena memang seperti ada 'mis' di masyarakat. Kami bukan lembaga sensor film. KPI tidak pernah menyensor karena itu tugas LSF, menyensor film itu. Kami juga tidak pernah melakukan blur. Pernah juga ada heboh juga sekitar tiga tahun lalu, ada orang di kolam renang kemudian di-blur. Itu bukan kebijakan KPI lho, itu jangan salah. Ada orang pakai kebaya di-blur, kita tidak pernah menyuruh itu lho.