Battle of Surabaya: Tonggak Kebangkitan Film Animasi Lokal
- Battle of Surabaya
VIVA.co.id - Dunia perfilman Indonesia seolah mendapat angin segar, saat beberapa waktu lalu, bioskop Tanah Air menayangkan film animasi berjudul Battle of Surabaya (BoS). Film ini asli buatan anak Indonesia, dan mendapat banyak pujian, tidak hanya di dalam negeri, namun juga dunia luar.
Bahkan laman IMDb, sebuah gudang data perfilman dunia, menyematkan rating 8,6 untuk film animasi 2D (dua dimensi) ini. Kemunculan BoS, bisa jadi akan membuat lecutan bagi kemunculan film-film animasi lokal di masa datang. Sebelumnya, memang pernah ada film animasi Indonesia muncul, bahkan mereka mengusung format 3D (tiga dimensi) namun tak banyak mendapat perhatian.
Banyak faktor yang kemudian membuat kehadiran BoS terasa berbeda dari film animasi pendahulu. Selain karena didukung pengisi suara, aktor dan aktris papan atas, sekelas Reza Rahadian dan Maudy Ayunda, film ini juga punya visual yang bagus dan halus (dari sisi gambar dan pewarnaan).
Menyaksikan film ini, kita seolah-olah menyaksikan buah tangan sineas Jepang, negara yang dikenal sebagai gudang film animasi berkelas. Plot film ini, bercerita tentang pertempuran sengit 10 November 1945 di Surabaya, saat tentara kita melawan Jepang. Kondisi perang yang chaos, digambarkan lewat kacamata anak 13 tahun bernama Musa, tukang semir sepatu yang memiliki jiwa heroik.
Untuk membedah lebih jauh film ini, beberapa waktu lalu VIVA.co.id mewawancarai Aryanto Yuniawan, sutradara BoS. Kepada kami, sineas itu bercerita panjang lebar tentang suka duka membuat film animasi di negara tercinta.
Selamat atas banyaknya respons positif atas kemunculan Battle of Surabaya.
Aryanto Yuniawan (A) : Terima kasih.
Ada pertanyaan menggelitik. Mengapa karakter tokoh di film ini mirip anime Jepang? Kenapa tidak dibuat dengan gaya lukis yang lebih Indonesia?
A: Hal ini kami lakukan untuk memenuhi keinginan pasar. Dilema juga sih sebenarnya, tetapi jika memaksakan diri (memilih karakter tokoh lukisan bergaya Indonesia) tujuan utama film ini dibuat untuk tampil universal, bisa tidak tercapai.
Sebenarnya beberapa tokoh di film sudah dimodifikasi, dan tim BoS telah melakukan observasi. Baik melalui pameran di Indonesia, maupun di luar negeri. Hasilnya, idola komik remaja Indonesia, masih anime atau karakter Disney. Tapi ke depannya, jika nanti masyarakat mulai aware terhadap film animasi lokal, saat itulah kita ciptakan karakter yang punya ciri Indonesia banget.
Kenapa memilih format 2D, padahal teknologi 3D kita mulai maju?
A: Kami pilih 2D karena ia memiliki kekhasan tersendiri. Relatif lebih ekpresif untuk menggambar karakter, contohnya manusia. Selain itu, pipeline produksi 2D lebih pendek, sehingga menghemat waktu dan dana. Sebenarnya, BoS menggunakan teknologi kombinasi tradigital alias hybrid, yakni perpaduan tradisional 2D dan teknologi digital 3D.
Buat saya, untuk membuat film panjang, saat ini film 3D masih dalam kategori teknologi mahal, beda kasusnya kalau kita hanya buat film televisi. Mungkin cost-nya masih bisa diakali. Hal ini disebabkan faktor level of detail, dan ukuran resolusi gambar yang berbeda.
Aryanto Yuniawan, sutradara film animasi Battle of Surabaya. Foto: Dok Pribadi
Bagaimana perkembangan film 2D di Indonesia saat ini? Apakah ke depan makin cerah dan berpotensi meramaikan layar lebar Nusantara?
A: Kami percaya harus ada lokomotif yang berani pasang badan untuk menghadapi risiko sebagai success story. Potensinya besar, tetapi banyak pemain lokal yang tidak percaya diri. Alasannya klasik, karena masih ada budaya bullying di antara sesama pelaku dunia animasi, hal inilah yang membuat posisi dunia animasi kita lemah.
Ya, mungkin maksud mereka mau memberi kritik, tapi seringnya kebablasan, jadi malah menjatuhkan. Kesadaran terhadap kebanggaan produksi dalam negeri dikalahkan ego, mereka terlalu mengagumi karya bangsa lain yang sudah matang.
Tidak adil kan, kalau kita mau membandingkan sedan mewah dengan minibus? Jadi menurut saya, tidak boleh seperti itu, justru yang harus dikedepankan adalah optimisme dan rasa persatuan. Sesuatu yang akan mengantar kita pada produksi animasi kelas sedan mewah.
Ilustrator film ini, lokal semua atau masih ada pekerja asingnya?
A: Dijamin 99 persen Indonesia, sisanya asing. Mereka hanya pada posisi final editor, di bagian post produksi dan re-engineer sound, untuk teknologi dolby surround 7.1. O ya, untuk dubber kita ambil pengisi suara yang native, sesuai perannya (sebagai penjajah).
Apa saja kesulitan menyutradai film animasi? Pastinya, berbeda dengan mengarahkan manusia?
A: Tentu membutuhkan imajinasi lebih, karena saat kita mengarahkan adegan, visualnya belum ada. Jadi, mesti mencari jalan tengah menerapkan ekstrem sinematografi, dengan kemampuan serta keterbatasan animasi 2D.
Kuncinya, kita harus bisa mengkoordinasi antar divisi pembentuk elemen film (animasi, sound, background, effect, dan lainnya) menjadi satu paket audio visual yang hidup. Ini ibarat film live, yang digabung melalui rekaman kamera. Cukup menantang bukan?
Adegan film animasi Battle of Surabaya.
Secara umum, apa kendala membuat film animasi di negara kita?
A: Jelas masalah pendanaan, lalu regulasi, dan kurangnya ketersediaan SDM yang memiliki standar kompetensi bagus. Jadi dibutuhkan investor `gila` yang tak hanya berorientasi uang, tetapi bersedia melihat potensi karya anak bangsa.
Saya rasa, peran pemerintah juga masih lemah dibanding negara lain. Kadang, saya melihat mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, akibatnya justru sering membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Demi kemajuan film animasi ke depan, bentuk dukungan pemerintah seperti apa yang diharapkan?
A: Tidak muluk-muluk, tolong dibuatkan regulasi, mulai dari kewajiban exhibitor menayangkan film Indonesia berkualitas, membatasi peredaran film asing (kecuali yang bagus), serta mengurangi pajak tontonan, sehingga tiket menonton masyarakat murah. Lalu, bangun pula bioskop rakyat yang terjangkau di daerah, ini penting untuk memberi ruang hidup para film maker.
Selain itu, bantu kita terhubung dengan distribusi luar negeri, khususnya di ASEAN dan negara-negara mitra. Pendanaan film animasi yang diawasi konsorsium, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. O ya, jangan lupa, perkuat tindak hukum yang tegas bagi pelanggar HAKI.
Adegan film animasi Battle of Surabaya.
Ke depan, apakah akan membuat film 2D lagi? Jika ya, apa temanya?
A: Tentu, dengan teknologi yang lebih canggih agar animasinya makin sempurna. Temanya masih tentang budaya Indonesia dan genre filmnya fantasi adventure. Ha ha ha...mulai penasaran ya?
Sejauh ini, jumlah penonton Battle of Surabaya sudah berapa banyak?
A: Enam hari tayang di bioskop kita sudah dapat 50 ribu penonton. Statistiknya masih meningkat kok, walaupun layar di XXI dikurangi dan dirotasi, mungkin karena giliran ada film baru masuk. Tapi kami masih optimistis.
Penghargaan apa yang telah dimenangkan film ini?
A: Kalau di tingkat nasional, kita dapat tiga. Winner Inaicta 2012, Winner Indigo Fellowship 2012, dan Nominasi Best Animasi AFI 2012. Sedangkan di tingkat internasional, kita sabet Winner People’s Choice Awards IMTF (California, Amerika) dan nominasi Best Foreign Animation Trailer Golden Trailer 2014 (Amerika).
Oke, kami tunggu karya-karya hebat selanjutnya.
A: Terima kasih, kami sangat butuh dukungan media.
Adegan film animasi Battle of Surabaya.
Industri yang mulai menggeliat
Kemunculan film animasi Battle of Surabaya ternyata tidak hanya membanggakan Aryanto, selaku awak dari MSV Pictures, pihak yang membuat film ini, namun juga membuat Daryl Wilson, Direktur dari Kumata, sebuah studio pembuat film animasi 2D asal Bandung, ikut senang.
Diwawancara di tempat terpisah, kreator film animasi kocak: Biggu Buddy dan Galli Loe Lei itu berkata, sebagai sesama studio animasi lokal, ia bangga bisa melihat film ini rampung, dan kini tayang di bioskop. Ia melihat, ini sebuah harapan baru, bahwa geliat industri animasi mulai maju. Ia berharap, momentum ini dapat memicu studio animasi lain untuk makin cepat bergerak, membuat karya-karya bagus.
Daryl Wilson, Direktur Kumata, studio animasi asal Kota Kembang. Dok VIVA/Ricky Anderson
Daryl mengatakan, sejak dahulu ia percaya industri film animasi Indonesia berpotensi dijual, bahkan hingga ke luar negeri. Dari Kumata, katanya, juga sudah melakukan hal itu.
"Tantangan yang sering dihadapi saat akan menjual film animasi ke luar negeri, adalah bisakah kita memerhatikan aspek sisi bisnisnya? Karena kita harus paham benar, apa sih yang dicari market luar? Selain itu, kita harus punya karya yang bagus, yang bisnis modelnya menarik,” ujar pria tinggi besar itu.
Sama seperti Aryanto, ia katakan kendala terbesar studio animasi lokal adalah finansial. Selain itu, banyak studio animasi yang mau membuat film panjang, namun kurang paham tentang aspek industri film Tanah Air.
Misalnya, berapa jumlah layar bioskop, kemana karya itu bisa jual, dan kendala mencari investornya di mana? Kalau pengalaman dan pengetahuannya ini tidak ada, maka tentu akan jadi sangat berisiko membuat film panjang, apalagi jika ia adalah studio animasi yang masih kecil.
Selanjutnya....Potensi animasi Asia
Potensi animasi Asia
Daryl melihat, peta industri animasi dunia kini tak didominasi Amerika dan Eropa. Ada banyak negara Asia yang kini melesat, menjadi produsen film animasi berkualitas internasional. Ia menyebut Jepang, Korea, India, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Singapura, telah muncul sebagai suksesor Asia yang berpotensi maju.
“Empat tahun lalu, saya coba bandingin film animasi kita dengan Malaysia. Saat itu, kesimpulan saya, kemampuan dua negara ini sama. Namun baru-baru ini, saat saya datang ke sebuah ajang internasional, dan melihat mereka melakukan showcase, saya kaget luar biasa. Film animasi mereka kini jauh lebih maju, mulai dari sisi penceritaan hingga penggarapan ide,” kata pria jebolan kampus di Kota Kembang itu.
Ia melihat, mereka telah menemukan formula bagaimana cara membuat film animasi yang dicari pasar. Nah, lalu bagaimana industri animasi di negara kita? "Saya melihat, Indonesia masih dalam tahap sudah bisa menghasilkan, tapi ketika karya itu jadi, masih dihadapkan pertanyaan apakah bisa dijual? Itu kuncian yang banyak studio animasi lokal belum dapat menjawab," katnya.
Ia lalu menjelaskan, delapan tahun terakhir, pemerintah Malaysia dan Singapura, gila-gilaan mendukung industri animasi di negaranya. Hasilnya tercipta program-program yang membuat seniman animasi mereka hidup.
Mereka, bahkan bisa menyerap proyek animasi kelas internasional, untuk masuk dan dikerjakan di negaranya. Hal ini imbasnya luar biasa secara finansial, dan animator mereka, secara teknis dapat pengalaman yang luar biasa bagus.
Daryl melihat, animasi di Indonesia ibarat memasak air tetapi apinya baru menyala. Jadi, airnya sudah mau panas, tapi belum mendidih.
Penyebabnya, kata dia, karena studio animasi lokal masih berdiri sendiri-sendiri. Belum berpikir untuk membuat asosiasi, padahal itu hal yang sangat penting. Lalu soal investor, banyak orang kaya di Indonesia yang belum melihat industri ini sebagai potensi untuk dikembangkan.
Bersatu untuk maju
Solusi konkret dari Daryl, agar karya animasi anak bangsa cepat dikenal, semua elemen yang berkepentingan di industi animasi, yakni pihak studio, investor, pemerintah, SDM yang terlibat, dan jaringan televisi harus bersatu. Berbarengan dengan itu, setiap animator harus menciptakan ide-ide yang matang. Mereka harus tahu, bahwa film ini dibuat untuk siapa.
Syarat selanjutnya, sejak awal produk itu telah dirancang untuk dapat diaplikasi multi-platform. Misalnya film animasi itu bisa muncul di game, web series, hingga ke fashion industry, publishing buku, dan lainnya.
“Kita sendiri di Kumata masih terus berusaha membawa karya kita tampil di pentas Internasional. Yang terbaru, beberapa bulan lalu, kita ikut kompetisi di luar negeri. Salah satunya di Seoul Promotion Plan, di mana kita sukses masuk di jajaran 20 finalis terbaik,” ujar pria berjanggut itu.