Indonesia Krisis Budi Pekerti

Ilustrasi aktivitas ospek/plonco di sekolah
Sumber :
  • VIVA.co.id/jangankuper.com

VIVA – Anda tentu masih ingat kasus kekerasan yang menimpa guru di Madura hingga tewas. Tepatnya pada Kamis, 1 Februari 2018, Ahmad Budi Cahyono, guru kesenian di SMAN 1 Torjun, kabupaten Sampang, Madura, mengembuskan napas terakhir setelah dianiaya muridnya, yang berinisial MH.  
 
Kejadian itu berawal saat Budi sedang mengajar di kelas XI, MH menjadi salah satu murid di kelas itu. Alih-alih mengikuti kegiatan kelas dengan tertib, MH malah mengganggu teman-temannya. Berusaha menjaga aktivitas belajar mengajar tetap kondusif, Budi lantas menegur MH, tapi diabaikan.  
 
Tak puas hati pada sikap anak didiknya, Budi kemudian menghampiri MH dan memberi sanksi ringan dengan mencoret pipi MH menggunakan cat lukisan. Di luar dugaan, MH berang. Ia melawan Budi dan mendaratkan pukulan di tubuh guru muda berkaca mata itu.  
 


“Siswa yang lain melerai,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim, Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera, dihubungi VIVA pada Jumat, 2 Februari 2018, setelah membenarkan adanya kejadian tersebut.  
 
Selang insiden pemukulan itu, Budi dipersilakan pulang oleh Kepala Sekolah. Namun setiba di rumah, Budi mengeluh sakit di leher kemudian tak sadarkan diri. Dia sempat dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan dalam hitungan jam, dinyatakan tutup usia.  
 
Jika Budi adalah guru yang menjadi korban kekerasan murid, lain halnya dengan RM, guru SD Negeri di kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. RM menerapkan hukuman tak senonoh pada muridnya, MBP, yakni jilat WC.
 
Peristiwa itu terjadi pada 9 Maret 2018. Gara-garanya, MBP tidak membawa pupuk kompos ke sekolah, seperti yang diminta RM. Pupuk kompos tersebut akan digunakan menanam bunga di sekolah.  
 
Tak pelak, MBP muntah-muntah. Orangtua MBP yang mendengar anaknya diperlakukan tak manusiawi, kemudian melapor ke Kepala Sekolah, dan RM dijatuhi sanksi berupa mutasi.  
 
Insiden kekerasan di lingkup sekolah, tak hanya pada dua peristiwa tersebut. Ibarat bola salju yang terus menggelinding, jumlah kasus kekerasan yang melibatkan guru dan murid semakin meningkat dari tahun ke tahun.  

Menurut data dari laman Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah (7 dari 10 siswa). 45 Persen siswa laki-laki menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan. 22 Persen siswa perempuan menyebutkan bahwa guru atau petugas sekolah merupakan pelaku kekerasan
 
Angka tersebut belum termasuk tindak kekerasan yang dilakukan antar siswa dan teman sebaya, antara lain: 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya. 75 persen siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah. 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan (bullying) di sekolah.
 

Berakar dari budaya
 
Berbicara soal kasus kekerasan di sekolah, seperti yang terjadi pada Budi dan MH, maupun RM dan MBP, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Susanto, MA, melihat hal tersebut sebagai persoalan mindset, yaitu tak sedikit guru yang menganggap bahwa pendekatan kekerasan sebagai cara efektif untuk menegakkan kedisiplinan.  
 
“Padahal meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai pelanggaran,” ujar Susanto kepada VIVA, Jumat, 13 April 2018.
 
Dihubungi secara terpisah, psikolog dan pendidik dari Sekolah Cikal dan komunitas Keluarga Kita, Najelaa Shihab, menyampaikan pernyataan yang senada dengan Susanto.
 
Menurut wanita yang akrab disapa Ella itu, tak sedikit guru di sekolah maupun orangtua di rumah yang masih menganut paham bahwa untuk menerapkan disiplin, harus menempuh metode kekerasan. Sehingga anak atau murid terbiasa melihat contoh-contoh kekerasan itu dalam proses tumbuh kembang mereka.  


 
“Masalah utama di dunia pendidikan kita itu budaya kekerasan. Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan. Bahkan anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” kata Ella kepada VIVA, Jumat, 13 April 2018.  
 
Ella menegaskan, bentuk kekerasan yang banyak mengemuka merupakan sebuah gejala, bukan inti dari permasalahan itu sendiri. Sebagai contoh pada kasus Budi dan MH, sebelum MH menghajar Budi, guru muda itu sempat mencoret muka MH menggunakan cat lukisan dengan tujuan menegur perilaku MH. Artinya, Budi sendiri telah terlebih dahulu menyalurkan hukuman fisik pada MH, meski skalanya ringan.  
 
“Saya yakin guru-guru itu tidak ada yang dengan sengaja ingin menyakiti anak muridnya. Tapi mereka terjebak dalam lingkaran emosional,” tegas Ella.  
 
Di sisi lain, Ella juga menyoroti anak-anak yang melakukan tindak kekerasan di sekolah bisa jadi tergolong anak-anak yang kurang mendapat penghargaan atau apresiasi. “Kalau anak itu aktif berprestasi, aktif di sekolah, dan merasa mendapat tantangan dari pelajarannya, itu pasti mereka tidak akan memilih melakukan kekerasan,” kata Ella.  
 
Timbulnya kekerasan, baik dari sisi guru maupun murid, juga bisa disebabkan oleh adanya hubungan yang tak baik antara kedua belah pihak. Ella menyebutnya sebagai konsep memanusiakan hubungan. Padahal hubungan yang baik merupakan pondasi dalam pembentukan karakter anak.  
 
“Saya bilangnya memanusiakan hubungan tuh tidak ada dalam pendidikan. Yang namanya anak, kita tidak harus terpaku pada mengajar materi (pelajaran). Tapi menjalin hubungan dengan anak, membantu dia mengelola emosinya, mengarahkan supaya perilaku dia berakhlak, seharusnya kita lebih banyak begitu,” kata Ella.  
 
Oleh karenanya, Ella mengingatkan tentang apa prioritas yang ingin dicapai sebagai pendidik atau guru. “Anak punya karakter yang baik? Atau yang penting ikut pelajaran, lalu lulus? Sehingga supaya akhirnya demi anak mau ikut pelajaran, akhirnya anak digebukin, deh. Apa bangga tuh kalau lulus, tapi kualitas karakternya seperti itu?” ujar Ella menambahkan.  
 
Meski demikian, Ella paham bahwa banyak para guru yang juga sebenarnya menyadari akan pentingnya prioritas penanaman karakter positif pada murid, tapi terjebak dalam aturan dan sistem pendidikan di Indonesia yang masih mendewakan nilai akademik. “Saya paham betul banyak guru yang sebenarnya tidak senang dengan keadaan ini, tapi dia merasa terjebak di sistem. Sehingga seolah-olah yang paling penting itu nilai ujian yang tinggi.”


 
Lingkungan sekolah
 
Kabar tentang kematian Budi karena dianiaya MH, sempat mendapat sorotan dari Presiden Jokowi. Peristiwa itu menunjukkan bahwa pendidikan karakter di Indonesia masih belum sempurna.  
 
"Betapa pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti menjadi PR (pekerjaan rumah) besar," kata  Jokowi saat memberi arahan di acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan di Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Selasa, 6 Februari 2018.
 
Menyinggung soal pendidikan karakter, Najelaa Shihab justru telah mengatakan bahwa Indonesia krisis budi pekerti sejak lama, jauh sebelum  kejadian guru meninggal akibat dihajar murid.  
 
“Krisis budi pekerti itu sudah saya katakan sejak lama, bahkan puluhan tahun lalu. Tapi kita baru menganggap itu darurat ketika sudah ada korban jiwa di depan mata. Padahal ada banyak sekali kekerasan yang tidak diberitakan di media,” kata Ella.  


 
Sebagai langkah solusi dalam rangka memutus mata rantai kekerasan di lembaga pendidikan, Ella mengatakan bahwa ini merupakan masalah ekosistem. Semua elemen bangsa ikut terlibat jika ingin berbenah.  
 
“Iya, perombakan harus terjadi. Dari pemerintah, misalnya kurikulum. Karena semuanya ikut terlibat dalam ekosistem itu. Peran orangtua, misalnya tontonan anak di rumah itu juga memengaruhi. Guru di sekolah juga, kompetensi untuk menjadi pengajar yang baik itu seperti apa,” kata Ella.  
 
Selain itu, sekolah sebagai tempat menimba ilmu dan pendidikan, selayaknya menyediakan atmosfer yang nyaman bagi semua penghuninya. Tidak hanya murid, tapi juga guru. Begitu seperti dikatakan psikolog Nessi Purnomo.  
 
“Sekolah harusnya jadi kegiatan dan tempat yang nyaman untuk anak. Anak diberi dukungan tidak hanya hal-hal yang bersifat akademis, tapi juga keterampilan lain. Karena ada anak yang pandai di bidang pelajaran, tapi ada juga yang terampil hal lain,” kata Nessi Purnomo ketika dihubungi VIVA.  
 
Pada akhirnya, jika akar dari permasalahan kekerasan di sekolah adalah penegakan disiplin melalui jalur hukuman, Nessi Purnomo mengungkapkan pandangannya, “Hukuman pada anak atau murid, boleh. Tapi sifatnya harus membangun dan relevan. Hukuman harus punya nilai membuat anak menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Nessi.