SOS Demokrasi

Seorang pengunjuk rasa mencoret pagar kompleks Parlemen di Jakarta, Senin (23/9/2019) malam. Ribuan mahasiswa yang berasal dari kampus se-Jabodetabek turun ke jalan berdemonstrasi menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA – Ibarat seseorang yang terancam nyawanya di tengah lautan sehingga membuat sinyal darurat SOS, begitu pula dengan demokrasi di Indonesia saat ini. Kebebasan berekspresi dan berdemokrasi terancam dengan tindakan represif aparat keamanan setelah aksi demo mahasiswa yang terjadi di sejumlah tempat sepanjang pekan ini malah berlanjut dengan bentrokan.

Banyak yang luka-luka, baik mahasiswa, pelajar sekolah, polisi hingga warga sipil. Bahkan sudah ada bentrokan yang bergelimang darah, seperti yang terjadi di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, 26 September lalu.

Aparat keamanan pun, dalam hal ini kepolisian, tidak mau begitu saja langsung disalahkan atas insiden maut itu sehingga sedang mengusutnya dengan membentuk tim gabungan. Namun semua pihak, termasuk aparat keamanan, pemerintah dan elit politik, tidak bisa mengelak dari tanggung jawab atas tragedi yang sudah terjadi. 

Setidaknya sudah dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari yang meregang nyawa karena aksi demonstrasi di gedung DPRD Sulawesi Tenggara untuk menolak sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) kontroversial di Senayan, seperti yang juga dilakukan oleh rekan-rekan mereka di berbagai kota. Kedua mahasiswa yang meninggal dalam unjuk rasa tersebut adalah Muhammad Yusuf Qardawi dan Himawan Randi.

Lalu, jurnalis sekaligus aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi karena cuitannya di media sosial tentang persoalan Papua. Meski sudah dibebaskan, namun Dandhy ditetapkan sebagai tersangka.

Polisi menjerat pasal ke Dandhy terkait pelanggaran Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia dianggap menebarkan kebencian berdasarkan SARA.

Usai Dandhy, giliran musisi Ananda Badudu yang diamankan aparat. Kali ini, eks wartawan itu diperiksa karena mentransfer uang senilai Rp10 juta kepada mahasiswa yang menggelar aksi di depan gedung DPR, Jakarta Pusat.

Mahasiswa yang ditransfer dana oleh Ananda sudah ditetapkan sebagai tersangka. Adapun status cucu pakar bahasa Indonesia, Jusuf Sjarif Badudu itu sebagai saksi. Ia pun diperbolehkan pulang oleh polisi.

Sikap represif aparat sebelumnya juga dilakukan terhadap para mahasiswa. Banyak mahasiswa yang masih ditahan tanpa pendampingan hukum. Ada juga mahasiswa yang luka hingga kritis sehingga perlu mendapat perawatan di rumah sakit.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dan berserikat dijamin oleh konstitusi.

"Dalam konteks bernegara. Sejatinya pemerintah tidak boleh represif terhadap rakyatnya. Tak boleh menangkap seenaknya. Dan tak boleh bertindak sewenang-wenang,," kata Ujang kepada VIVAnews, Jumat, 27 September 2019.

Dia meminta pemerintah bisa obyektif dalam merespons kritikan dari rakyat seperti mahasiswa, aktivis, atau pers. Tak perlu merespons dengan tindakan kekerasan menggunakan aparat.

Ujang mengingatkan jika negara ingin aman, stabul maka pemerintah harus responsif terhadap aspirasi rakyat. Jika rakyat menolak UU KPK direvisi dan disahkan maka pemerintah punya keputusan yang bijak. "Pemerintah ada untuk melindungi warganya. Bukan untuk bertindak sewenang-wenang," jelas Ujang.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menambahkan pengerahkan aparat dalam menangkap mahasiswa, aktivis, dan jurnalis menjadi indikator pemerintahan Jokowi menjurus pada otoriter. "Menjurus pada otoritarian, memberangus kebebasan mengeluarkan pendapat dan kritik," ujar Fickar kepada VIVAnews, Jumat, 27 September 2019.

Dia menekankan contoh kasus Dandhy Laksono yang dijemput aparat saat malam hari. Meski dalam hukum pidana tak ada larangan penangkapan dilakukan kapanpun asal ada kepentingan memaksa.

Tudingan polisi ke Dhandy soal jeratan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang ITE dinilai berlebihan. "Jika dilihat dari perspektif kepentingan tidak terpenuhi unsur atau kualifikasi memaksanya. Terkesan ada kepanikan," tutur Fickar.

Citra Jokowi Turun

Berbagai peristiwa jelang pelantikan Jokowi untuk menjabat presiden periode kedua akan mempengaruhi citra eks Wali Kota Solo itu. Apalagi sudah banyak protes yang disampaikan dari barisan pendukung Jokowi saat Pilpres 2019.

"Suka tak suka dengan banyak kasus terjadi belakangan, citra presiden menurun. Yang protes justru yang dukung saat pilpres," ujr pengamat politik asal UIN Jakarta, Adi Prayitno kepada VIVAnews, Jumat, 27 September 2019.

Adi menyindir mestinya Jokowi memberikan kado positif ke rakyatnya jelang masa berakhirnya periode pertama pemerintahannya.

"Bukan malah sebaliknya. Kebebasan yang dikebiri, demo dihalang-halangi," tutur Adi.

Merespons kritikan, Jokowi akhirnya angkat bicara. Namun, ia hanya menyampaikan secara khusus terhadap dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari yang meninggal.

Jokowi mengaku sudah mendapatkan laporan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahwa kedua mahasiswa itu memang ikut berdemonstrasi untuk menyampaikan aspirasinya ke DPRD Sultra. Ia pun mendoakan dua almarhum mahasiswa tersebut.

"Semoga apa yang diperjuangkan oleh ananda Randi dan ananda Yusuf Kardawi ini menjadi kebaikan bagi bangsa ini dan mendapatkan tempat yang paling mulia di sisinya," tutur Jokowi.

Dalam instruksinya, Jokowi meminta Kapolri Tito Karnavian untuk menginvestigasi kejadian meninggalnya dua mahasiswa di Kendari. Kedua mahasiswa itu meninggal diduga karena ditembak aparat keamanan.

Jokowi mengklaim dirinya sudah mengingatkan kepada Kapolri agar jajarannya tak bertindak represif kepada para demonstran.

"Saya juga perintah kan juga untuk menginvestigasi dan memeriksa seluruh jajarannya," kata Jokowi.

Sementara, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Mohammad Iqbal mengatakan, dalam arahan dan petunjuk pimpinan Polri, anggota telah ditugaskan untuk tak menggunakan senjata dalam melakukan pengamanan demo.

"Artinya tidak dibawa senjata itu. Apalagi menggunakan peluru karet dan peluru tajam," kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 27 September 2019.

Iqbal pun menjelaskan, dalam pengamanan aksi unjuk rasa mahasiswa dan siswa di beberapa daerah, anggota hanya dibekali pentungan, tameng, dan helm. Hal tersebut digunakan sebagai bagian melindungi diri.

"Teman-teman saya juga harus melindungi diri sendiri. Kita juga manusia. Tidak sedikit yang luka parah bahkan gugur dalam pelaksanaan tugas mengamankan dan melayani demonstrasi," ujarnya.