Pasal Penghinaan Presiden, Perlukah Dihidupkan Lagi?

Aksi Jokowi Bohong
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di DPR RI kembali menuai polemik. Dari 786 pasal yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP, terdapat satu pasal yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal tersebut terkait Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal ini sejatinya telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 7 Desember 2006 silam, yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Uji Materi terhadap Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP terkait Penghinaan terhadap Presiden/Kepala Negara.

Dengan adanya keputusan MK Nomor 013-022-/PUU-IV/2006 itu, maka klausul tentang Penghinaan Presiden, sebagaimana pada Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dianggap tidak berlaku lagi.

Praktisi hukum Eggi Sudjana, selaku pihak yang mengajukan judicial review atas  Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden pada tahun 2006 lalu, mengatakan MK telah mencabut pasal tersebut lantaran tidak jelas batasannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Suatu ironi dari segi perasaan, kalau intelektual hukum ini anomali," kata Eggy Sudjana dalam perbincangan bersama tvOne, Minggu malam, 2 Agustus 2015.

Eggi mengatakan, putusan MK 9 tahun lalu merupakan kajian serius, di mana terjadi perdebatan serius antara 9 hakim konstitusi dalam menjatuhkan putusan. Sebagaimana diketahui, putusan tersebut terjadi dissenting opinion, 5 hakim mendukung permohonan Eggi dan kawan-kawan, sedangkan 4 hakim lainnya menolak.

Pengacara yang pernah mencalonkan diri di Pilkada Jawa Timur ini menegaskan yang paling mendasar dari permohonannya terkait Uji Materi Pasal Penghinaan Presiden adalah ketidakjelasan batasan penghinaan. "Saya ini ketua umum partai, mau kritik, karena (isi pasalnya) siapapun bisa kena. Batasan ini nggak jelas," ujarnya.

Lagipula, seandainya pasal tersebut menjelaskan batasan-batasannya, Eggi menilai sudah tidak relevan lagi dalam konteks negara demokrasi. Dia menduga, dengan diajukannya pasal ini, pemerintah ingin menjungkirbalikkan penegakan hukum yang sudah berjalan demokratis ke zaman kerajaan.

Eggi mengingat betul argumentasinya di depan majelis hakim konstitusi 9 tahun lalu. Waktu itu Eggi menyatakan KUHP merupakan produk kolonial Belanda yang dibuat tahun 1830, kemudian masuk ke Indonesia tahun 1872, kemudian diproses menjado hukum nasional tahun 1900.

"Hampir 100 tahun, kalau dari awal 200 tahun, kok kita kembalikan pikiran yang masih 200 tahun lalu, norak banget, nggak intelektual banget gitu. Kalau DPR menerima itu, cara berpikirnya sama kayak 200 tahun lalu, zaman primitif dalam konteks Indonesia," papar dia.

Namun pasal yang pernah dicabut MK itu kini berusaha 'dihidupkan' kembali oleh Pemerintahan Jokowi, dengan memasukkannya ke dalam RUU KUHP yang akan dibahas DPR. Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi:

"Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Pasal selanjutnya semakin memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden yang tertuang dalam RUU KUHP, seperti dalam Pasal 264, yang berbunyi:

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV,"

Dengan masuknya Pasal tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ke dalam RUU KUHP, Eggi menduga, Pemerintahan Jokowi tidak memiliki itikad baik dengan memaksakan pasal yang pernah dicabut MK ini ingin dihidupkan lagi. "Pasal ini tidak boleh ada, kalau ada yang pasti kita judicial review lagi. Kita mau lihat konsistensi intelektual MK," tegasnya.

Butuh Payung Hukum

Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi kekhawatiran yang muncul akibat diajukannya Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden dalam RUU KUHP. JK sepakat, jika kepala negara dan wakil kepala negara tidak dihina-hina, apalagi dalam menjalankan tugasnya.

"Presiden kan kepala negara. Di mana-mana pun di dunia ini, kepala negara Presiden itu dihormati orang," kata Kalla, di kantornya, Jakarta, Senin 3 Agustus 2015.

Menurut JK, saat ini tidak adanya payung hukum kepada mereka yang menghina Presiden, seperti yang terjadi masa lalu. Sehingga tak heran, banyak orang dengan mudahnya menghina Presiden, dan juga mengganggu kerja pemerintah. "Fungsi pemerintahan juga tentu terkena, jadi wajar saja," kata Kalla.

Mantan Ketua Umum Golkar ini mengklaim, usulan yang baru dari pemerintah untuk memasukkan Pasal Penghinaan Presiden, tidak sama dengan yang sudah dicabut MK.

Walau begitu, Kalla tidak menyebut apa perbedaan yang baru dengan yang sebelumnya. Meskipun, belum ada alasan yang kuat dari pemerintah, kenapa pasal yang sudah dicabut MK ini dimasukkan kembali.

"Kan ini tentu punya alasan, inikan masuk KUHP baru kan. Nantilah kita lihat," elak Kalla.

Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, menegaskan kekhawatiran terkait masuknya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ke dalam RUU KUHP jangan dimaknai terlalu berlebihan. Sebab kata dia, Pasal ini masih berbentuk rancangan dan baru akan dibahas DPR setelah masa reses berakhir 13 Agustus 2015 mendatang.

"Dalam hal ini berkaitan dengan penghinaan berlaku secara universal kepada siapa pun. Tentu kita sepakat demokrasi kita tidak boleh mundur, harus maju. Kita akan pilah mana yang menghina dan mengkritik, kita akan membuat batasan," kata Masinton.

Politikus PDI Perjuangan ini menekankan bahwa martabat kepala negara harus tetap dijaga dan dilindungi. Akan tetapi, dia sepakat, munculnya RUU itu jangan sampai menyurutkan semangat dalam membangun demokrasi dan penegakan hukum tidak boleh represif terhadap kritik atau pendapat publik.

"Kritik, pendapat, harus dibedakan dengan yang sifatnya menghina," ujarnya. Masinton menegaskan, sebagai RUU, Pasal Penghinaan Presiden ini akan diterima DPR untuk dibahas dan semangatnya untuk melindungi kepala negara, bukan mengembalikan ke masa orde baru.

Sementara itu, Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah, menambahkan Pasal Penghinaan Presiden yang diajukan dalam RUU KUHP, tidak sama dengan pasal yang pernah dicabut MK. Hal tersebut, sudah dikonsultasikan dengan Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Sekretaris Negara.

"Saya sudah tanyakan ke Menkumham dan Menteri Sekretaris Negara, kita tahu ada putusan MK, makanya akan kita usulkan penerapan pasal tersebut bersifat delik aduan," kata Basarah.

Basarah mengatakan, keberadaan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan sesungguhnya tidak cukup mengakomodir dalam menghadapi terjangan demokrasi liberal, di mana siapapun bisa menyatakan pendapatnya dengan media apapun. Pasal tentang Penghinaan Presiden itu nantinya akan mengatur batasan-batasan di era demokrasi liberal ini.

"Supaya Presiden fokus dalam menghadapi tugasnya. Jangan nanti ada orang yang katanya mengkritik, tetapi sesungguhnya ingin menghina," ucapnya.

Berbahaya

Ketua Komisi III DPR RI, Aziz Syamsuddin, akan menolak usulan RUU KUHP yang diajukan Pemerintah terkait Pasal Penghinaan Presiden. Aziz beralasan, penolakan itu karena MK selaku penafsir tunggal Undang-Undang telah mencabut Pasal Penghinaan Presiden.

"Sesuatu yang telah dibatalkan di MK tidak bisa lagi untuk dibahas atau dihidupkan kembali dalam RUU yang baru. Dihidupkan kembali pun akan dibatalkan oleh MK," kata Aziz di Gedung Parlemen.

Penolakan Ketua Komisi III DPR diamini mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Dia menilai upaya pemerintah menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sangat berbahaya, karena tidak ada batasannya sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Mahfud justru menganggap munculnya RUU tersebut sangat berlebihan.

"Menurut saya, (Pasal Penghinaan Presiden) sama sekali tidak penting, karena setiap penghinaan sudah ada pasalnya sendiri," kata Mahfud.

Dalam KUHP, telah jelas diakomodir pasal penghinaan atau pencemaran nama baik, seperti pada Pasal 310 KUHP bagi individu yang diserang kehormatannya, dan Pasal 207 KUHP bagi pejabat publik, termasuk Presiden dan Wakil Presiden. Mahfud menilai, kedua pasal ini cukup mengakomodir penghinaan terhadap pejabat negara.

Ada pun Pasal Penghinaan Presiden yang tengah diajukan dalam RUU KUHP ini berisi setiap orang yang menghina Presiden dan Wakil Presiden bisa dipidana. Kemudian, ditambah satu pasal lain, yang juga berpotensi menjerat para wartawan yang menyiarkan atau mempertunjukkan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.

"Anda wartawan bisa kena, kalau besok pemerintahannya represif. Sebaiknya kawan-kawan di DPR mengedrop lagi," tegas Mahfud. Namun, Mahfud sepakat penghinaan terhadap seorang kepala negara tidak bisa ditolerir.

Di samping itu, Mahfud menyatakan Pasal Penghinaan Presiden sebenarnya sudah lama ingin diajukan pemerintah. Saat masih menjabat anggota DPR tahun 2004 lalu, Mahfud mengaku pasal tersebut sudah pernah diajukan ke DPR. Hanya saja, pasal tersebut ditolak dan kembali diajukan di pemerintahan Jokowi.

"Ini sudah lama. Mungkin baca satu-satu (Jokowi) tidak sempat atau sengaja diloloskan. Menurut saya, DPR punya peran," tegasnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Eddyono juga sepakat Pasal Penghinaan Presiden seharusnya tidak masuk lagi ke dalam RUU KUHP. "Soalnya penghinaan kepala negara sudah cukup diakomodir dengan pasal penghinaan biasa (Pasal 310, 311 dan 315)," ujar Eddy kepada VIVA.co.id.

Lagipula kata dia, sebagai pejabat publik, kepala negara harus berani menerima kritik tajam dari masyarakat. Sebaliknya, dengan keberadaan Pasal Penghinaan Presiden, justru akan membatasi kebebasan berpendapat dan merupakan langkah mundur dalam membangun demokrasi.

"Karena rezim hukum pidana kita tidak berhasil memisahkan mana yang menghina, mana yang mengkritik," papar dia.

ICJR lanjut Eddy, merekomendasikan Pasal Penghinaan Presiden sebaiknya dihilangkan dari RUU KUHP, sebagaimana putusan MK. "Kita akan uji ke MK jika Pemerintah bersikeras memasukkan pasal itu di KUHP mendatang," tegas Eddy. (ren)