Sikap MK Soal Calon Tunggal Jangan Sampai Lahir Masalah Baru

Sumber :
  • Lilis Khalisotussurur

VIVA.co.id - Mahkamah Konstitusi akhirnya "menghalalkan" calon tunggal di Pilkada serentak. Putusan Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 itu dibacakan pada Selasa, 29 September 2015, di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Putusan itu memanaskan kembali polemik calon tunggal.

Komisi Pemilihan Umum harus melakukan revisi terhadap sejumlah Peraturan KPU pasca putusan tersebut. Begitu putusan keluar, mereka menggelar rapat hingga malam hari guna mengambil sikap.

Menurut Anggota KPU Arief Budiman, dampak putusan itu tak hanya soal pencalonan. Ini juga meliputi juga soal desain surat suara, logistik, hingga pengaturan kampanye untuk pasangan calon, jadwal, dan tahapan pemilihan kepala daerah.

Langkah KPU kemudian, melakukan pengecekan terhadap daerah-daerah yang jumlah pasangan calonnya kurang dari dua, apakah mereka siap soal anggaran, personel, logistik untuk menyelenggarkan pilkada dengan waktu yang tersisa.

“Apakah bisa diikutkan pada pemilihan 9 Desember 2015. Kita membuat catatan-catatan, kita simulasikan. Kalau masih mencukupi kita akan ikutkan di 2015," ucap Arief.

Lihat:

Putusan MK yang berdampak luas itu merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandu. Mereka menggugat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang atau yang populer disebut UU Pilkada.

Pasal yang digugat dari UU Pilkada itu adalah, Pasal 49 ayat (8), (9), Pasal 50 ayat (8), (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), (5), (6) UU Pilkada. Secara umum pasal yang digugat mengatur soal syarat jumlah minimal pasangan calon dalam pilkada.

Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan, yakni persoalan calon tunggal dengan syarat daerah yang bersangkutan telah mengupayakan adanya pasangan calon lainnnya dalam waktu tiga hari.

Ada pun permohonan yang ditolak adalah soal bumbung kosong. MK tak sependapat dengan permohonan pemohon bahwa solusi calon tunggal ini bisa dengan pilkada yang mengkontestasi calon tunggal dengan kotak kosong dalam kertas suara.

Mahkamah menilai lebih tepat meminta rakyat setuju atau tidak setuju dengan calon tunggal itu. Mekanisme ini dianggap lebih demokratis dari pada menyatakan menang calon tunggal bersangkutan.  Sebagai catatan, putusan MK itu tak bulat diamini seluruh hakim, tetapi ada satu hakim yang memberikan pendapat berbeda, yakni Patrialis Akbar.

Lihat:

Perubahan yang terjadi dengan dikabulkannya pasal tersebut maka daerah yang memiliki pasangan calon tunggal dapat tetap melaksanakan pilkada dengan memberikan kedaulatan pada rakyat untuk memilih apakah calon itu berhak atau tidak memimpin daerahnya.

Pertimbangan MK mengabulkan permohonan itu disampaikan Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna. Menurutnya, pelaksanaan pilkada harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Dalam UU Pilkada, para pembuat UU memang mengatur ada kontestasi dalam pilkada dengan mensyaratkan adanya dua pasang calon. Tapi, para pembuat UU dinilai luput memikirkan jika syarat dua pasang calon tidak terpenuhi sehingga memang ada kekosongan hukum atas persoalan calon tunggal.

Adanya calon tunggal muncul kekosongan hukum dan mengakibatkan tidak terselenggaranya pilkada. Hal ini juga berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut Mahkamah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang sudah mencoba mendorong kebuntuan ini dengan mengeluarkan peraturan KPU. Tapi hal itu dianggap tidak menyelesaikan masalah.

Menurut Mahkamah, aturan KPU soal calon tunggal dengan pembukaan kembali pendaftaran pasangan calon tidak berpengaruh pada bakal calon untuk mendaftar. Akibatnya malah Pilkada ditunda ke Pilkada selanjutnya yang menghilangkan hak dipilih dan memilih warga negara.

Tiga daerah

Putusan MK menjadi kabar baik bagi tiga daerah, yaitu Tasikmalaya, Jawa Barat; Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur; dan Blitar, Jawa Timur. Pasangan calon di tiga daerah itu sebelumnya dinyatakan tak bisa berlaga karena tidak mendapatkan lawan.

Namun, putusan MK itu mengubah segalanya. Kartu mereka hidup lagi. KPU menyatakan mereka bisa bertanding ikut Pilkada Serentak yang pemungutan suranya dijadwalkan 9 Desember 2015, meski tanpa lawan.

Menurut Anggota KPU Ida Budhiati, KPU sudah menyiapkan mekanisme kelanjutan tahapan Pilkada di tiga daerah itu. Di antaranya, pasangan calon di tiga daerah itu tetap diberikan kesempatan kampanye. KPU juga akan memfasilitasi mereka dalam memaparkan visi dan misinya ke masyarakat.

"Kalau lebih dari satu itu kan namanya debat, tapi kalau satu paslon cuma satu ya kami akan fasilitasi penyampaian visi dan misi programnya. Tapi teknisnya sama," kata Ida di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jalan MH Thamrin 14, Jakarta Pusat, Rabu, 30 September 2015.

Menurut Ida, meski sendiri tetapi esensinya KPU tetap memfasilitasi paslon dalam menyampaikan visi misi programnya ke khalayak luas guna menjaring dukungan suara. "Tidak masalah kalau tak ada kompetitornya. Bisa calon itu sendiri menyampaikan visi dan misinya," ujar Ida.

Meski demikian, tak ada jaminan ketiga daerah bisa ikut Pilkada serentak 2015. Sebab, pasangan calon di sana harus melalui verifikasi persyaratan hingga tes kesehatan guna menilai apakah layak lolos ke tahapan berikutnya.

"Diverifikasi dulu dong. Kan kemarin belum ditetapkan. Kalau tidak ada yang lolos verifikasi ya tak ada tambahan waktu lagi dong, cukup," kata Ida.
Ida menegaskan jika pada masa verifikasi persyaratan pendaftaran paslon dan tes kesehatan, tidak ada juga paslon yang lolos maka Pilkada terpaksa akan ditunda ke tahun berikutnya pada Februari tahun 2017 mendatang. "Kalau tak ada calon bagaimana mau Pilkada," ujarnya.

Senada, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menegaskan bahwa jika tak ada yang lolos pada tes kesehatan dan masa verifikasi persyaratan pendaftaran, maka kemungkinannya Pilkada di daerah tersebut akan ditunda. "Kemungkinan seperti itu bisa ditunda, tapi kan nanti kita sesuaikan lagi dengan PKPU yang ada," tutur Hadar.

Lihat:



Referendum?

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait calon tunggal dalam Pilkada Serentak memunculkan istilah referendum. Istilah ini dinilai oleh beberapa kalangan kurang pas. Komisi II DPR akan menentukan nama yang baik untuk mekanisme yang diinginkan oleh MK tersebut. Mereka tak ingin kesalahan dalam penyebutan nama justru memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat.

"Paling dalam revisi Undang-Undang Pilkada akan fokus juga ke nama, apakah referendum atau bumbung kosong. Katanya namanya jangan referendum, karena sensitif. Nanti bisa pakai nama yang dekat dengan kearifan lokal," kata Wakil Ketua Komisi II, Lukman Edy, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 30 September 2015.

Dalam revisi nanti, Komisi II juga akan menentukan mekanisme yang jelas ketika si calon tunggal ternyata kalah. Menurutnya, revisi akan dinamis karena menyesuaikan dengan kebutuhan. "Bisa saja Komisi II putuskan ada mekanisme lain. Makanya (UU Pilkada) jangan dituntut ideal, pasti dinamis, harus dilakukan revisi-revisi, untuk perbaikan," ungkapnya.

Mengenai kecurigaan bahwa akan ada temuan calon tunggal akan "memborong" partai lain demi memuluskan jalan, politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai pasti akan ada tindakan tegas kepada partai itu.

"Ya, memang bisa saja terjadi, bisa borongnya pakai uang. Ya itu nanti jadi temuan, bisa didiskualifikasi partainya," kata Lukman.

Sementara itu, Anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, mengatakan putusan MK bukan sesuatu yang luar biasa. Menurutnya, putusan MK itu masih menyisakan sejumlah persoalan sehingga sulit dikatakan bahwa putusan itu sudah memberikan solusi.

"Saya masih berpendapat putusan ini masih menyisakan permasalahan. Yang jadi persoalan di sini kalau banyak pemilih tidak setuju maka pilkada tersebut harus ditunda di periode selanjutnya. Artinya tetap tidak solutif," katanya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini juga memberi catatan terkait teknis pemilihan yang dilakukan dengan mekanisme setuju atau tidak setuju. "Ya ini dapat saya terima, tetapi tidak boleh open clause. Artinya pilkada ini harus tuntas dan menghasilkan pemimpin yang dipilih rakyat," katanya.

Wakil Ketua DP, Fahri Hamzah menilai putusan MK itu harus dilaksanakan. Untuk sementara waktu, putusan ini tidak perlu diperdebatkan, karena belum ada pengaturan yang baru. "Menurut saya, untuk sementara waktu, karena belum ada undang-undang baru, ini cara yang paling praktis supaya calon tunggal itu memiliki atau mendapatkan keabsahan penuh di dalam dia memimpin daerahnya,"  katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan, sisi positif putusan MK adalah memperpendek masa jabatan pelaksana tugas. Karena, menurut dia, tidak baik jika suatu daerah dipimpin terlalu lama oleh pelaksana tugas. "Jadi, satu yang positif, terima saja dulu," ujar Fahri. (ren)

Menurutnya, usulan pilkada melalui DPRD masih terbuka, jika pilkada langsung dianggap merepotkan. Dia mencontohkan, pilkada secara langsung di DKI Jakarta justru sedikit, meskipun penduduknya disebut sudah terdidik.

"Sementara itu, seperti daerah-daerah Papua yang lebih kompleks secara kultural dipaksa untuk menggelar pilkada terlalu banyak. Lebih baik salah satu opsi itu mesti kami buka juga," tutur Fahri.