Menanti Hasil Paket Kebijakan Ekonomi XII

Perajin sepatu dan sandal di Malang, Jawa Timur
Sumber :

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo mengumumkan paket kebijakan ekonomi jilid XII yang difokuskan untuk memperbaiki tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia (Ease of Doing Business), atau EODB yang saat ini berada pada peringkat ke-109, dari 189 negara sebagaimana survei yang dilakukan Bank Dunia.

Posisi Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura pada posisi satu, Malaysia pada posisi 18,  Thailand di posisi 49, Brunei Darussalam posisi 84, Vietnam posisi 90, dan Filipina posisi 103.

Untuk itu, harus dilakukan sejumlah perbaikan dari aspek peraturan maupun prosedur perizinan dan biaya, agar peringkat kemudahan berusaha di Indonesia, terutama bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), semakin meningkat. 
 
Menindaklanjuti perintah Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang kemudian melakukan koordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan beberapa kementerian dan lembaga terkait. 

Sejumlah langkah perbaikan itu pun dituangkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XII, yang diumumkan Presiden pada Kamis 28 April 2016, di Istana Kepresidenan, Jakarta. “Ini paket yang besar dan penting dengan cakupan yang luas,” ujar Darmin Nasution, dikutip dalam siaran persnya, Kamis.
 
Penetapan paket ini berawal dari penetapan 10 indikator tingkat kemudahan berusaha oleh Bank Dunia. Masing-masing adalah Memulai Usaha (Starting Business), Perizinan terkait Pendirian Bangunan (Dealing with Construction Permit). 

Kemudian, Pembayaran Pajak (Paying Taxes), Akses Perkreditan (Getting Credit), Penegakan Kontrak (Enforcing Contract), Penyambungan Listrik (Getting Electricity), Perdagangan Lintas Negara (Trading Across Borders), Penyelesaian Perkara Kepailitan (Resolving Insolvency), dan Perlindungan Terhadap Investor Minoritas (Protecting Minority Investors).

Dari ke-10 indikator itu, total jumlah prosedur yang sebelumnya berjumlah 94 prosedur, dipangkas menjadi 49 prosedur. Begitu pula, perizinan yang sebelumnya berjumlah sembilan izin, dipotong menjadi enam izin.

Jika sebelumnya waktu yang dibutuhkan total berjumlah 1.566 hari, kini dipersingkat menjadi 132 hari. Perhitungan total waktu ini belum menghitung jumlah hari dan biaya perkara pada indikator Resolving Insolvency, karena belum ada praktik dari peraturan yang baru diterbitkan.  
 
"Meski survei Bank Dunia hanya terbatas pada wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya, pemerintah menginginkan kebijakan ini bisa berlaku secara nasional," tuturnya.