Inggris Hengkang, Uni Eropa Berguncang

Bendera Inggris dan Uni Eropa.
Sumber :
  • uk.reuters.com

VIVA.co.id – Pemimpin Partai Independen Inggris (UKIP), Nigel Farage mengangkat kedua tangannya. Dihadapan para pendukung yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa, Farage meneriakkan kalimat "Independence Day!" untuk menyambut kemenangan mereka.

Bagi warga Inggris dan Uni Eropa, Jumat 24 Juni 2016, menjadi hari yang bersejarah. Setelah bersama Uni Eropa selama 43 tahun, hasil referendum yang digelar pada 23 Juni 2016, menunjukkan keunggulan bagi Brexit, atau kelompok yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa.

Hingga Jumat siang waktu setempat, 75 persen suara yang masuk dari 30 juta pemilih memperlihatkan Brexit berada pada posisi 52 persen lebih banyak dibanding Remain, yaitu sebutan bagi kampanye yang menginginkan Inggris tetap bersama Uni Eropa.

Hasil referendum Inggris mengejutkan warga Uni Eropa. Untuk pertama kalinya dalam 31 tahun, pasar saham Inggris anjlok, dan mata uang poundsterling melemah. Saham di seluruh Eropa juga bergejolak. Begitu pula saham di Asia.

Pakar Hubungan Internasional, Anak Agung Banyu Perwita menuturkan, jika Inggris ke luar dari Uni Eropa akan berdampak besar. Baik dari sisi ekonomi maupun politik. "Krisis ekonomi yang belum pulih sejak tahun 20,08 serta krisis migran, adalah di antara penyebab Inggris ingin pisah dari Uni Eropa," kata Banyu saat diwawancara VIVA.co.id, Jumat.

"Sentimen Brexit lebih banyak pengaruhnya pada kondisi perekonomian di zona Eropa. Ini langsung bersentuhan dengan mata uang Inggris, poundsterling yang melemah dan penguatan euro," dia menambahkan.
 
Selain itu, tidak hanya blok 28 negara saja yang merasakan dampaknya, tetapi juga Amerika Serikat. "Ini seperti efek domino. Bila sebuah negara di suatu kawasan terkena masalah, maka dampak atau efeknya, negara-negara sekitar akan ikut terpengaruh juga," kata Banyu.

Hasil referendum Inggris mengecewakan Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier. Tak lama setelah hasil Brexit menguat, Steinmer menyuarakan pendapatnya melalui akun Twitter. Ia menulis, keputusan Inggris untuk memilih keluar dari Uni Eropa akan menjadi tanda sebagai hari yang menyedihkan bagi Eropa.

"Kabar yang berhembus dari Inggris ini sangat menyakitkan. Rasanya, seperti menghadapi hari yang sangat menyedihkan bagi Eropa dan Inggris," ujar Steinmer melalui akun Twitternya, seperti dikutip dari Reuters, Jumat 24 Juni 2016.

Sedangkan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia  (WTO), Pascal Lamy mengatakan, keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah hari yang buruk bagi mimpi Uni Eropa.

Keberhasilan Inggris dengan referendumnya, ternyata menarik minat politisi sayap kanan dari Belanda dan Prancis. Pemimpin Front Nasional Prancis, Marine Le Pen, melalui Twitternya menulis kemenangan Brexit sebagai "Victory for Freedom.” Menurutnya, saat ini, Prancis juga sudah waktunya mengambil hak untuk memutuskan.

"Kemenangan untuk kebebasan. Seperti yang telah saya sampaikan selama bertahun-tahun, saat ini kita harus mendapatkan kesempatan referendum yang sama untuk Prancis, dan negara Eropa lainnya," tulis Le Pen, seperti dikutip dari BBC, Jumat.

Politisi anti-imigrasi Belanda, Geert Wilders mengatakan, sekarang Netherlands juga memiliki kesempatan untuk memutuskan "Nexit." Menurutnya, Belanda harus memiliki kesempatan untuk bertanggungjawab penuh pada negaranya, untuk memutuskan keuangan, perbatasan, dan kebijakan imigrasi. "Secepat mungkin, Belanda harus mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka soal keanggotaan di Uni Eropa," ujarnya.

Berikutnya, tuntutan reformasi di Uni Eropa...

Tuntutan reformasi di Uni Eropa

Keguncangan di Uni Eropa, bukan hanya soal keinginan untuk melakukan referendum, namun hengkangnya Inggris juga dilihat sebagai sebuah "wake up-call", agar Uni Eropa melakukan reformasi dan bersedia mendengarkan anggotanya.

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta Uni Eropa untuk memahami anggotanya. "Ketidakpuasan yang Anda lihat di Inggris, juga hadir di negara-negara lain, termasuk saya sendiri," ujarnya.

"Ini harus menjadi stimulus untuk melakukan lebih banyak lagi reformasi dan memberi kesejahteraan yang lebih," kata Rutte menambahkan.

Perdana Menteri Chechnya Bohuslav Sobotka,  meminta Uni Eropa untuk secepatnya berubah. "Uni Eropa harus berubah secepatnya. Bukan karena Inggris keluar dari Uni Eropa, namun proyek Uni Eropa membutuhkan dukungan yang kuat dari warganya. Eropa harus siap bertindak, lebih lentur, mengurangi birokasi, dan lebih sensitif pada perbedaan dari 27 anggotanya," ujar Sobotka.

Menteri Luar Negeri Italia Paolo Gentiloni juga mengakui, keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa adalah sebuah panggilan peringatan. "Pada tingkat politik, ini adalah saat dimana kita tak bisa hanya berdiam diri. Keputusan rakyat Inggris adalah sebuah panggilan peringatan bagi Uni Eropa," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, 24 Juni 2016.

Di Inggris sendiri, hasil referendum membuat PM Inggris David Cameron memilih mundur. Melalui  pernyataan resminya, Cameron yang lebih memilih, agar Inggris tetap bersama Uni Eropa, menyatakan akan mencoba menenangkan "kapal" pascareferendum, hingga secara resmi mundur pada Oktober 2016.

Namun, kelompok pro Brexit, seperti Boris Johnson dan Michael Gove meminta Cameron untuk tetap menjadi PM, apapun hasil referendum. Hanya Nigel Farage yang meminta Cameron untuk turun dari jabatannya.

Namun, keputusan Cameron yang baru akan mundur pada Oktober dan menyerahkan seluruh proses mundur dari Uni Eropa pada penggantinya ditentang oleh petinggi blok negara maju tersebut.

Berikutnya, Kepala Komisi Eropa gelar pertemuan...

Kepala Komisi Eropa gelar pertemuan

Tak lama setelah hasil referendum yang mengatakan Inggris keluar dari Uni Eropa menjadi berita utama di seluruh media Inggris, Kepala Komisi Eropa Jean-Claude Juncker melakukan pertemuan dengan Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, dan Perdana Menteri Belanda Mark Ruttee.

Empat petinggi Eropa itu mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan hasil referendum, namun tetap menghormati keputusan tersebut. Melalui pernyataannya, mereka  juga meminta rakyat Inggris untuk segera bersiap menerima konsekuensi atas keputusan tersebut, bagaimana pun menyakitkannya proses tersebut.

Setiap keterlambatan yang tidak perlu, hanya akan memperpanjang ketidakpastian. Uni Eropa mengaku sangat siap bernegosiasi cepat dengan Inggris mengenai syarat dan ketentuan pengunduran diri negara kerajaan itu dari Uni Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga mengatakan, mereka bertekad akan terus melanjutkan perjalanan dengan 27 anggota tersisa.

Keputusan Uni Eropa untuk segera merapatkan barisan dan menguatkan keanggotaan sangat bisa dipahami. Bagaimana pun keberhasilan referendum Inggris bisa menularkan dampak dan gejolak yang sama pada negara Eropa lainnya, seperti yang sudah disuarakan oleh kelompok sayap kanan Belanda dan Prancis.

Sementara itu, Inggris, seperti yang disampaikan PM Cameron, mungkin akan seperti kapal yang mengalami guncangan dan butuh waktu untuk kembali stabil. (asp)