Peran Indonesia Pasca Kekalahan China di Arbitrase

Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol dalam kunjungannya ke Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Kamis, 23 Juni 2016. Kedatangan Presiden ini sebagai jawaban atas sikap China yang sengaja menerobos kedaulatan Indonesia.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Sekretariat Kabinet

VIVA.co.id – Pengadilan Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration / PCA) di Den Haag, Belanda, resmi memenangkan Filipina dalam "pertarungan resmi" melawan China atas sengketa wilayah di Scarborough Shoal, Laut China Selatan.

Di bawah Hukum Laut Internasional PBB atau UNCLOS 1982, pengadilan arbitrase mengatakan klaim "9 Dashed Lines" yang diajukan China tidak memiliki dasar hukum kuat.

Ini artinya, China tidak boleh mengklaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) di wilayah perairan Laut China Selatan, termasuk Scarborough Shoal, Kepulauan Spratly dan Paracel.

Tak pelak, keputusan ini membuat China berang. Presiden Xi Jinping menolak semua putusan pengadilan internasional itu dan tetap mengklaim kawasan sengketa bagian dari kedaulatan dan hak maritim Beijing.

Padahal, keputusan ini mengikat secara hukum. Namun, sisi lain, kemenangan Filipina ini membuat pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte semringah.

Bahkan, Menteri Luar Negeri Filipina, Perfecto Yasay Jr., mengaku akan terbuka untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan China usai pengadilan memutuskan putusan tersebut.

Pengamat Hubungan Internasional Anak Agung Banyu Perwita, mengatakan, "kekalahan" Beijing atas Manila makin membuat mereka ngotot mempertahankan Laut China Selatan.

Baca:

Sebab, menurut Banyu, kekalahan ini tidak bisa diterima oleh negara yang memiliki sejarah panjang di dunia kemaritiman sejak 2.000 tahun lamanya.

"Ini (hasil putusan arbitrase) adalah tamparan keras bagi China. Karena klaim mereka dimentahkan. Makanya, mereka bukannya menerima tapi makin 'menjadi'," kata Banyu kepada VIVA.co.id, Rabu, 13 Juli 2016.

Ia kembali mengatakan, China boleh saja ngotot namun akibat dari sikap keras kepalanya itu membuat citra negeri Tirai Bambu di mata dunia internsional justru negatif. Pasalnya, baik secara hukum laut dan hubungan internasional, China sudah "kalah".

Konflik terbuka

Padahal, lanjut Banyu, China dan Filipina adalah dua negara yang menandatangani kesepakatan UNCLOS.

Akibatnya, muncul kekhawatiran bakal terjadinya konflik terbuka alias perang antara China dengan negara-negara pengklaim seperti Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan, tentu saja Filipina.

'Konflik terbuka (perang) sangat mungkin terjadi. Tapi menurut saya itu masih jauh. Justru Filipina dan beberapa negara lainnya harus tetap menahan diri," paparnya.

Baca juga:

Lantas, bagaimana dengan sikap negara ASEAN terhadap konflik ini? Banyu mengingatkan bahwa Indonesia harus memainkan peran atas stabilitas di kawasan.

Ibarat seorang peselancar, Banyu menuturkan, dalam menaklukkan ombak tidak boleh hanya diam saja, karena pasti akan digulung. Justru harus terus bergerak meniti buih.

"Indonesia harus menjadi penentu arah ASEAN. Apalagi, dengan kebijakan Poros Maritim yang digaungkan Presiden Joko Widodo. Sikap tegas namun bersahabat harus dijalan. Inilah saatnya memainkan peran dalam konflik China dengan Filipina," ungkap Banyu.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan jangan sampai ASEAN nasibnya seperti Uni Eropa, di mana keluarnya Inggris membuat "ikatan" mereka menjadi goyah.

Oleh karena itu, sekali lagi Banyu menjelaskan, ASEAN harus menyatukan suara dan sikap terkait hasil putusan arbitrase.

“Tahun depan ASEAN berumur 50 tahun. Di usianya yang sudah setengah abad masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Seperti masalah perbatasan serta perdagangan manusia dan kayu ilegal. Ini (konflik China-Filipina) ujian bagi ASEAN. Soliditas harus diperkuat,” kata Banyu.

Hormati hukum internasional

Pada kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri lndonesia, Retno LP Marsudi, meminta semua pihak untuk menghormati putusan Pengadilan Arbitrase Internasional atas sengketa di perairan Laut China Selatan.

Pada putusannya, pengadilan memenangkan Filipina atas sengketa perairan tersebut.

"Posisi Indonesia adalah mengenai pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional. Termasuk di antaranya UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) 1982. Karena kita yakin kalau semua pihak dan semua negara menghormati hukum internasional, perdamaian dan stabilitas kawasan serta dunia akan lebih tercapai," kata Retno, di Istana Negara, Jakarta, Rabu 13 Juli 2016.

Menurut Retno, UNCLOS 1982 sangat penting artinya bagi lndonesia. Lantaran Indonesia merupakan negara kepulauan yang turut memperjuangkan hingga pada akhirnya konvensi itu ada.

"UNCLOS menjadi sangat penting artinya untuk Indonesia. Jadi sekali lagi, penghormatan kepada hukum internasional, termasuk UNCLOS," ujar Retno.

Terkait sikap China yang menolak putusan arbitrase itu, Retno meminta agar negeri Tirai Bambu itu bersama Filipina dapat menyelesaikan konflik itu melalui negosiasi. Retno menekankan pentingnya semua pihak menahan diri agar tercipta stabilitas.

"Satu pesan khusus yang disampaikan Indonesia pada saat ini adalah sekali lagi minta semua pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan tensi. Itu sangat penting untuk disampaikan Indonesia," kata Retno.