Geger Deklarasi Kekerasan ala Presiden Duterte

Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte saat meninjau TKP ledakan bom di Pasar Roxas, kota Davao, Filipina Selatan.
Sumber :
  • REUTERS/Presidential Palace Photo/Handout via Reuters

VIVA.co.id – Filipina dilanda teror bom. Ini kali pertama serangan teror bom di era pemerintahan Presiden Rodrigo Roa Duterte.

Adalah kota Davao di Mindanao, Filipina Selatan, yang menjadi sasaran, tepatnya kawasan keramaian di sebuah pasar malam, pada Jumat malam, 2 September 2016. Tercatat, 14 orang tewas dan 71 lainnya luka-luka.

Bukan tanpa alasan mengapa Davao menjadi target pengeboman. Di sanalah “kampung halaman” Duterte. Di sana pula “pusat pemerintahan kedua”, setelah Istana Malacanang di Manila.

Tujuan dari serangan teror ini, mungkin untuk menjatuhkan mental Sang Presiden agar mengendurkan kebijakan “tangan besi” terhadap pelaku kartel narkoba dan kelompok bandit Abu Sayyaf.

Namun, bukannya melunak, justru Duterte naik pitam dan mengeluarkan deklarasi yang menyatakan kalau Filipina “negara tanpa hukum” (state of lawlessness). Menurutnya, deklarasi dikeluarkan untuk memastikan adanya koordinasi antara polisi dan militer dalam melawan terorisme.

Artinya, semakin banyak tentara yang dikerahkan ke penjuru negeri serta semakin bertambah pula titik pemeriksaan (checkpoint) di beberapa wilayah yang dinilai rawan. Meski demikian, Duterte memastikan jam malam tak akan diterapkan di Filipina.

"Ini waktu yang tidak biasa. Ada krisis di negara kita yang melibatkan narkotika dan kelompok bandit. Ini (ledakan bom) adalah pembunuhan di luar hukum. Jadi sudah terlihat seperti lingkungan tanpa hukum,” kata Duterte, seperti dikutip situs Inquirer, Minggu, 4 September 2016.

Dua orang wanita menangis pascaledakan bom di kota Davao (Reuters.com)

Sontak, deklarasi ini menimbulkan protes dan kritikan dari Parlemen Filipina. Mereka lalu meminta klarifikasi Duterte terkait deklarasi tersebut.

Deklarasi ini akan memberikan lebih banyak kekuatan untuk menyatakan pasukan keamanan berangkat "perang'' setelah ada ancaman di dalam negeri.

Presiden Senat Franklin Drilon mengungkapkan, akan menangguhkan keputusan Presiden untuk memiliki akses ke informasi intelijen.

"Duterte harus berhati-hati dalam mengeluarkan deklarasi karena efeknya akan berdampak besar terhadap perekonomian, khususnya investasi, iklim usaha dan pariwisata," kata Drilon, seperti dikutip situs Inquirer.

Sementara, Senator Grace Poe berharap bahwa pengumuman deklarasi ini tidak keluar dari niat pemerintah untuk mengatasi ancaman.

"Saya berharap bahwa deklarasi memang fokus untuk mengatasi ancaman bangsa. Bagaimana pun kita harus tetap waspada dan mendesak pemerintah untuk menjaga masyarakat dari serangan berikutnya," katanya.

Sudah sesuai konstitusi

Senator Antonio Trillanes IV, yang juga mantan tentara, mengatakan bahwa deklarasi tersebut tidak seharusnya dilakukan sama sekali.

"Serangan teroris di Davao adalah pengingat suram bahwa masalah narkoba bukanlah yang terbesar, dan pasti bukan satu-satunya ancaman keamanan nasional. Deklarasi itu belumlah tepat diterapkan saat ini. Apa yang dibutuhkan adalah koordinasi dan menuntut kerja intelijen agar lebih serius," tutur Trillanes IV.

Akan tetapi, pihak Istana Malacanang buru-buru mengklarifikasi. Melalui akun Facebook resminya, seperti dikutip VIVA.co.id, Kantor Sekretaris Komunikasi Presiden Filipina mengungkapkan bahwa deklarasi telah sesuai dengan Pasal VII ayat 18 Konstitusi Filipina yang berbunyi:

“Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Filipina, dan jika diperlukan, dapat memerintahkan militer untuk mencegah atau menekan kekerasan tanpa hukum, invasi atau pemberontakan”.

Deklarasi ini, menurut Kantor Sekretaris Komunikasi Presiden Filipina, terbatas sehingga hanya bisa memanggil militer untuk menekan kekerasan tanpa hukum.

“Ini adalah kasus yang berbeda dari keberadaan invasi atau pemberontakan. Hanya jika ada invasi atau pemberontakan, dan ketika keselamatan umum menuntut hal itu, maka Presiden dapat menangguhkan surat perintah habeas corpus atau menyatakan hukum darurat militer,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Menanggapi hal ini, Pakar Hubungan Internasional, Emil Radiansyah, mengatakan, sebagai negara berdaulat, di satu sisi Filipina berhak mengeluarkan kebijakan apa pun. Termasuk melakukan kekerasan dengan tujuan menegakkan aturan.

Namun, sisi lain, kebijakan tersebut cenderung bertentangan dengan hukum kemanusiaan karena terjadi main hakim sendiri.

“Saya melihat saat ini Duterte menegakkan aturan dengan kekerasan. Tapi, nanti harus dibarengi dengan penerapan hukum. Kalau tidak begitu, bisa chaos negara dan eskalasi kekerasan tak bisa dikendalikan,” kata Emil kepada VIVA.co.id, Minggu.

Pemakzulan

Emil melanjutkan, mantan Wali Kota Davao ini sedang mencari pola kebijakan yang cocok untuk diterapkan di negaranya. Sebab, pemerintahan sebelumnya hanya manis di bibir namun pahit di pelaksanaan.

Presiden Duterte saat mengunjungi korban ledakan bom di sebuah rumah sakit kota Davao (Reuters.com)

“Keadaan politik dan keamanan Filipina saat ini relatif tidak stabil. Duterte berusaha me-restore order (mengembalikan tatanan pemerintahan yang cocok untuk diterapkan). Memang ini butuh waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan,” papar dia.

Tak hanya narkoba dan Abu Sayyaf, Duterte juga dihadapkan oleh masalah yang tak kalah beratnya. Korupsi yang sudah masuk ke sendi-sendi negara serta tekanan di Laut China Selatan, turut menambah “daftar belanja” Duterte untuk segera diselesaikan selama enam tahun masa pemerintahannya.

Kendati demikian, Emil mengungkapkan kalau Duterte tidak akan dimakzulkan (impeachment) seperti yang terjadi di Brasil dan Venezuela. Sebab, menurut dia, meski terkesan “barbar” dalam menegakkan aturan, tetapi apa yang dilakukan Duterte saat ini persis apa yang dikampanyekan dahulu.

“Rakyat Filipina sudah melihat hasil kerjanya, walau baru permulaan. Militer pun ada di belakang Duterte. Asalkan kekerasan diikuti dengan penegakan hukum, saya melihat posisinya aman sampai akhir jabatan,” ujar Emil.

Kepolisian Nasional Filipina kini memiliki tiga orang pelaku, dua perempuan dan satu pria, yang diduga kuat sebagai pelaku peledakan bom. Kepala Polisi Nasional Filipina, Direktur Jenderal Ronald "Bato" Dela Rosa, mengatakan, pihaknya tengah mengejar tiga orang tersebut.

"Saksi juga bilang kalau ketiga pelaku meninggalkan bom yang dikendalikan melalui alat peledak (Explosive Ordnance Disposal/EOD)," kata Dela Rosa.

Meski begitu, dia tidak memberikan rincian lebih lanjut dari ketiga pelaku. Ia juga enggan menjawab apakah ketiganya masih ada di kota Davao atau sudah kabur.
 
Dela Rosa juga menduga bahwa daya ledakan bom ini sangat mirip dengan IED yang dibawa oleh tersangka teroris yang masih buron, Abdul Manap Mentang, dalam pemboman di Hari Kasih Sayang (Valentine) dari Ecoland Terminal Davao pada 2005 silam.

Empat Petugas SAR Filipina tengah mengangkut mayat akibat ledakan bom di kota Davao (Reuters.com)