Trump Harus Redam Sentimen Anti-Minoritas di AS

Presiden AS terpilih, Donald Trump. Skandal Trump dengan Rusia terus berhembus kuat.
Sumber :
  • REUTERS/Carlo Allegri

VIVA.co.id – Kaum Muslim dan Yahudi biasanya sering berseberangan. Tapi, di Amerika Serikat, dua kubu ini tengah kompak. Dua organisasi tingkat tinggi yang mewakili Muslim dan Yahudi AS sepakat membentuk Dewan Lintas Agama sebagai “barikade” terhadap penganiayaan agama dan diskriminasi yang terjadi di negara tersebut.

Adalah Joe Liberman, seorang mantan Senator dari Partai Demokrat, dan calon wakil presiden, serta Norm Coleman, mantan Senator Partai Republik, lalu Farooq Kathwari pengusaha interior dan Rabia Chaudry, penulis dan aktivis, menjadi empat pionir yang menggagas Dewan Pertimbangan Yahudi-Muslim. Mereka mengaku prihatin dengan berkembangnya intimidasi dan diskriminasi di Amerika Serikat.

Keempat orang ini mengatakan, niat untuk membentuk dewan tersebut sudah digagas sejak beberapa bulan lalu oleh anggota Masyarakat Islam Amerika Utara dan Komite Yahudi Amerika. Meski dideklarasikan hanya sembilan hari setelah Donald Trump menang Pemilu, mereka menolak anggapan bahwa pembentukan dewan ini didasari atas kemenangan konglomerat Amerika itu. 

Namun, tak bisa dipungkiri, sejak Trump terpilih menjadi Presiden AS, aksi kekerasan, pelecehan dan intimidasi terhadap kaum minoritas di AS mengalami peningkatan. Nyaris setiap hari petugas keamanan mendapatkan laporan terjadinya aksi diskriminasi dan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Tak cuma kelompok Muslim, namun juga mereka yang berasal dari Meksiko, imigran, kulit hitam, dan Yahudi. Namun kelompok Muslim mungkin yang paling banyak mendapat getahnya. 

Diberitakan oleh Al Jazeera, 15 November 2016,  kampanye Presiden terpilih Donald Trump beberapa waktu lalu yang terus fokus pada kaum minoritas, imigran, dan Muslim, sebagai ancaman terhadap perdamaian, ekonomi, dan keamanan negara.  

Al Jazeera mengatakan, ada beberapa laporan kasus rasis dan Islamophobia yang terjadi sejak kemenangan Trump pekan lalu. Beberapa diantaranya adalah perusakan masjid di New York, serangan di Universitas Brooklyn, beberapa Muslimah dipaksa melepas hijab mereka dengan tekanan dan ancaman, juga lontaran kalimat bernada kebencian. 

Tak hanya itu, mahasiswa kulit hitam di University of Pennsylvania mengaku takut menghadiri kelas di kampus karena menjadi sasaran penghinaan ras dan berbagai ancaman dari lingkungan sekitar mereka.
Menurut laporan dari Biro Federal Investigasi (FBI), kejahatan bermotif kebencian pada warga Muslim naik ke tingkat tertinggi sejak serangan teroris 11 September 2001. Menurut laporan FBI, kejahatan kebencian terhadap Muslim melonjak di tahun 2015 melonjak hingga 67 persen, dari 154 kasus di tahun 2014, menjadi 257 kasus di tahun 2015.

Sementara itu, pelanggaran-pelanggaran bermotif bias pada Muslim juga mengalami kenaikan hingga 4,4 persen, sedangkan kejahatan bermotif kebencian terhadap agama naik 21 persen disbanding seluruh bentuk kejahatan bermotif kebencian yang terjadi sepanjang tahun 2015.

FBI mendefinisikan “hate crime”  sebagai pelanggaran criminal yang sebagian atau secara keseluruhan dilatarbelakangi oleh status sesungguhnya atau penilaian atas status seseorang atau sekelompok orang, misalnya ras dan etnis, agama, disabilitas, orientasi seks, gender, dan identitas gender.

Diberitakan oleh VOA, 15 November 2016,  peningkatan kebencian terhadap warga Muslim terus berlanjut setelah memasuki tahun 2016. Menurut pengamat dan pakar Muslim di AS, meningkatnya Islamophobia pada warga Paman Sam,  memiliki peran atas peningkatan kejahatan bermotif kebencian. Reaksi publik AS atas serangkaian teror yang terjadi di Amerika dan Eropa, serta pernyataan-pernyataan pedas dalam pilpres AS juga ikut memicunya. 

Kampanye Kontroversial

Trump, dalam serangkaian kampanyenya, kerap melontarkan kalimat yang melecehkan atau menunjukkan ketidaksukaannya pada Muslim. Ia pernah mengatakan, jika menjadi Presiden AS, maka akan melarang Muslim masuk ke negara tersebut. Trump juga mengungkapkan rasa tak sukanya pada imigran Timur Tengah, yang kebanyakan juga Muslim. 

“Pembalasan terhadap meningkatnya serangan teror di Amerika dan Prancis, meluasnya bias anti-Muslim, dan meluasnya masalah itu dalam dunia sosial politik tampaknya menjadi dorongan kuat meningkatnya kejahatan bermotif kebencian secara signifikan,” ujar Brian Levin, Direktur Centre for the Study of Hate and Extremism di Universitas California.  Ucapan Brian seperti menjadi pembenaran, meningkatnya kejahatan karena kebencian pada Muslim di AS makin tinggi setelah Trump terpilih.

Ucapan dan isu yang dipilih oleh Trump saat kampanye membuat Trump berhasil meraih dukungan suara dari kelompok rasis dan radikal kanan. Bahkan kelompok Ku Klux Klan pernah secara terbuka menyatakan dukungan mereka pada Trump. Slogan kampanye Trump, “Make America Great Again,” dianggap sesuai dengan mimpi kelompok paling rasis itu yang selalu menganggap Amerika berjaya karena kelompok kulit putih.

Trump mengaku sedih dengan semua kejadian tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CBS melalui siaran “60 Minutes,” pada Minggu malam, 13 November 2016, meminta pendukungnya untuk berhenti melecehkan warga minoritas.

“Saya sangat sedih mendengar hal ini,” ujar Trump. “Hentikan ini. Jika hal ini membantu, maka saya akan mengatakan ini. Dan saya mengatakan saat ini juga, didepan kamera, Hentikan ini!”

Meski Trump sudah menyampaikan kesedihan dan penyesalannya, namun menurut Brian Levin, ucapan Trump tak cukup mampu untuk menghapus ucapan-ucapan Trump saat kampanye yang menurut Levin sangat beracun. Bahkan sebuah LSM, The Southern Poverty Law Centre (SPLC) bahkan menganjurkan Trump untuk membatalkan semua ucapannya selama masa kampanye, termasuk semua dukungan yang ia terima dari kelompok rasis dan radikal kanan. 

Sepertinya bukan pekerjaan yang mudah untuk Trump mencabut kembali ucapannya. Meski ia sudah mengaku sedih dan meminta pemilihnya untuk menghentikan aksi mereka, namun kebencian yang sudah ia bangkitkan sulit untuk dikuburkan kembali.

Jika Amerika yang selama ini mengaku sebagai negara yang paling demokratis akhirnya terlihat meningkat kasus  kejahatan kebencian hanya karena ucapan pemimpin dan kalimat jualan masa kampanye, apa kabarnya Indonesia dan negara-negara lain  yang sedang merintis untuk mencoba menjadi negara yang demokratis?

Bukan tak mungkin hal yang terjadi pada Trump dan pengikutnya juga terjadi di sini, di ibu Kota yang sedang bersolek mempersiapkan Pilkada DKI.
 

(ren)