TPP Tanpa AS, Antara Peluang dan Ancaman
- BBC
VIVA.co.id – Janji kampanye Donald Trump mulai ditepati usai dilantik sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat. Dia secara resmi menandatangani sebuah keputusan eksekutif di Ruang Oval, Gedung Putih untuk menyatakan AS menarik diri dari kemitraan perdagangan Trans Pacific Partnership atau TPP yang beranggotakan 12 negara.
Dilansir dari laman Reuters, Selasa 24 Januari 2017, keputusan Trump untuk mengakhiri kemitraan dagang dengan TPP dinilai semakin menjauhkan AS dengan para sekutunya di Asia. Padahal, di wilayah tersebut pengaruh ekonomi China semakin meningkat di sejumlah negara.
Keputusan Trump yang sangat kontroversial tersebut, lantaran AS ingin meningkatkan industri manufaktur. Ia akan mencari satu per satu penawaran perdagangan dengan negara-negara tertentu, yang memungkinkan AS bisa menghentikan kerja sama dalam 30 hari, apabila negara bersangkutan 'bertingkah'.
"Kami akan menghentikan transaksi perdagangan konyol yang telah mengambil semua orang keluar dari negara kami dan mengambil perusahaan dari negara kami," ujar Trump.
Selain itu, Trump direncanakan akan bernegosiasi kembali dengan Kanada dan Meksiko, terkait perjanjian North America Free Trade Agreement (NAFTA), yang dijalin sejak 1994. Dan bila dua negara itu tidak setuju dengan perjanjian baru NAFTA yang diusulkan Trump, AS juga mempertimbangkan untuk keluar.
Menanggapi kebijakan Trump, ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menilai, langkah AS yang keluar dari blok perdagangan tersebut secara tak langsung sama saja dengan membubarkan TPP. Sebab, TPP tidak akan bisa kembali berjalan tanpa kehadiran negeri Paman Sam itu.
“Pencetus dan penggerak TPP itu AS. Presiden Barack Obama yang mendorong itu. Kalau AS tidak ada, sudah tidak bisa lagi. Untung kita (Indonesia) belum ikut,” ujar David kepada VIVA.co.id.
David menilai, TPP hanya menguntungkan negara-negara seperti Vietnam dan Laos, yang saat ini mengejar pangsa pasar di negeri adidaya tersebut. Namun, bagi Indonesia, TPP bukanlah satu-satunya perjanjian perdagangan yang bisa diikuti.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mengatakan, Trump memang sedang berupaya melepaskan semua bentuk kerja sama multilateral, dan berencana membangun hubungan-hubungan bilateral dengan sejumlah negara.
Menurut dia, konsep kerja sama multilateral yang kerap menyetarakan AS dengan negara-negara anggota lainnya, dianggap tidak efisien dibandingkan pola kerja sama bilateral, di mana AS masih bisa menjadi lebih superior dari negara lain yang dipilihnya bekerja sama.
"TPP ini memang oleh Trump langsung dieliminasi. Tapi, Trump sebenarnya sedang penetrasi besar-besaran secara bilateral. Intinya, dia ingin menghabisi konsep kerja sama multilateral dan menguatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara lain," kata Bhima kepada VIVA.co.id.
Dampaknya bagi RI
Sementara itu, terkait dampak bagi ekonomi Indonesia, Bhima optimistis bahwa Trump justru malah akan membuka hubungan bilateral dengan Indonesia, dengan sejumlah kepentingan ekonominya. Kondisi tersebut tentu membuat Indonesia bisa mengamankan peluang ekspornya ke AS.
"Ini momentum yang pas untuk Indonesia, karena mereka enggak bisa benci barang Indonesia. Barang elektronik, manufaktur, dan tekstil kita itu unggul di mata mereka. Bahkan tenaga kerja Indonesia lebih kompetitif," ujarnya.
Namun, Bhima menjelaskan jika hal ini bukan tanpa risiko, karena sangat berpotensi menciptakan iklim perang dagang antara AS dan negara-negara lain termasuk China. Dan bila produk China kehilangan pasar di AS, tentu jadi peringatan untuk Indonesia dan negara di kawasan, karena akan banjir barang ekspor dari China.
"Pasar kita kan besar, maka China akan lempar barang ke Indonesia. Data Kemendag saja menyebut bahwa impor kita pada 2016 naik 13 persen secara keseluruhan,” ujarnya.
“Bahkan impor khusus bahan makanan naik 40 persen, sehingga kita harus waspada serbuan barang impor dari China. Sebab hal ini membuat industri dalam negeri terpukul," kata dia.
Senada dengan adanya peluang Indonesia memanfaatkan momen keluarnya AS dari TPP, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai AS tak mungkin menutup diri di era seperti ini. Sebab, Trump akan tetap melakukan perjanjian perdagangan bilateral dengan negara lain tak terkecuali Indonesia.
Menurut dia, sulitnya AS untuk memusuhi negara-negara di kawasan Asia Pasifik adalah karena ekspor terbesar negara Paman Sam itu terbesar adalah ke kawasan itu dibandingkan Eropa. Sangat tidak realistis jika AS memusuhi potensi perdagangannya.
Untuk itu, sebenarnya Indonesia tidak perlu khawatir dengan sikap proteksionisme Trump. Selain karena produk ekspor dalam negeri yang belum bisa bersaing dengan AS, negeri Paman Sam itu masih membutuhkan beberapa barang ekspor nasional.
Tak Jadi Masalah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, pun menegaskan, tidak ada yang perlu ditakuti atau dikhawatirkan dengan keputusan mundurnya Amerika Serikat dari perjanjian perdagangan Trans Pacific Partnership.
Menurut Darmin, pemerintah belum pernah satu kata pun mengambil keputusan untuk menyatakan Indonesia masuk dalam blok perdagangan tersebut. Bahkan, mantan gubernur Bank Indonesia ini menegaskan, pemerintah tidak mempersiapkan apa pun untuk bergabung dalam TPP.
"Tidak ada (yang perlu ditakuti). Kami belum siapkan apa-apa (untuk ikut serta dalam TPP)," tegas Darmin, di Jakarta, Selasa 24 Januari 2017.
Dia melanjutkan, jika keputusan AS pada akhirnya memengaruhi keberlangsungan TPP, negara-negara yang sudah siap seperti Singapura dan Vietnam, seharusnya kembali melakukan penyesuaian. Bagi Indonesia, tidak ada masalah besar dari mundurnya AS dari TPP.
Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Bobby Rafinus Hamzah, menambahkan, dengan tidak adanya AS di TPP, maka ini jadi kesempatan besar untuk Indonesia meningkatkan hubungan perdagangan secara bilateral dengan negara tersebut.
Menurut Bobby, rencana Trump yang ingin menggenjot produksi dalam negeri, dengan membangun infrastruktur, tentu membutuhkan komponen bahan pembangunan dalam jumlah besar. Namun, hal ini akan tetap dilihat dalam beberapa bulan ke depan.
“Ini bisa membuka peluang, karena ada dimensi lain dari pembangunan infrastruktur. Peluang dari produk kita misalnya, aspal dan bahan-bahan lainnya,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pangsa pasar ekspor non minyak dan gas terbesar Indonesia masih didominasi oleh AS dan China. Pada Desember tahun lalu, ekspor non migas ke negeri Tirai Bambu mencapai US$15,10 miliar.
Sementara itu, ekspor non migas ke AS, mencapai US$15,68 miliar atau 11,94 persen dari total ekspor nasional. Selain itu, nilai ekspor Indonesia ke Jepang hingga Desember tahun lalu mencapai US$13,21 miliar. Selanjutnya untuk ASEAN dan Uni Eropa, masing-masing mencapai US$28,78 miliar dan US$14,41 miliar. (art)