Kebijakan Diskriminatif Trump Sudah Keterlaluan

Ilustrasi imigran.
Sumber :
  • Reuters/Mike Theiller

VIVA.co.id – Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung membuktikan janjinya saat kampanye. Melalui perintah eksekutif, ia membuktikan ucapan yang pernah ia sampaikan sejak masa kampanya.

Namun, sejumlah kebijakan baru yang dikeluarkan Trump sejak beberapa hari jadi presiden tidak saja mengagetkan, juga membuat susah banyak orang. Tak heran bila Trump akhirnya mulai mendapat perlawanan dari rakyat sendiri melalui aksi-aksi demonstrasi sejak pekan lalu. 

Trump tak main-main dengan ucapannya saat kampanye. Baru delapan hari resmi menjabat sebagai Presiden AS, ia langsung mengeluarkan perintah eksekutif yang menggemparkan. Mulai dari memecat diplomat pilihan Obama, membekukan Obamacare, memastikan akan membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, dan yang paling kontroversial adalah melarang imigran dan pengungsi dari tujuh negara Muslim memasuki Amerika.

Melalui Executive Order for Border Security and Immigration Enforcement Improvement, Trump memastikan pengetatan terhadap pengungsi dan imigran.  Salah satu isi pokok perintah eksekutif  tersebut adalah pengetatan rejim keimigrasian melalui langkah penangkapan dan penderportasian imigran gelap di Amerika Serikat, yang salah satunya adalah  melarang pengungsi dari tujuh negara mayoritas Muslim untuk memasuki Amerika Serikat. 

Perintah eksekutif tersebut ditandatangani oleh Trump  pada Sabtu, 28 Januari 2017 di Pentagon, usai upacara pengambilan sumpah Jenderal James Mattis atau Mad Dog, sebagai Menteri Pertahanan.

"Saya memastikan langkah-langkah pemeriksaan baru untuk memastikan teroris Islam radikal dibersihkan dari Amerika Serikat. Kami hanya memberikan izin masuk ke Amerika pada mereka yang siap mendukung negara ini dan mencintai warga negara ini," ujar Trump saat menyampaikan pidato dalam upacara pelantikan tersebut seperti dikutip dari BBC, 28 Januari 2017.

Keputusan tersebut ditetapkan sebagai Program Penerimaan Pengungsi AS selama 120 hari. Beberapa hal yang disepakati adalah melarang pengungsi dari Suriah hingga ada perubahan signifikan, serta selama 90 hari menghentikan kedatangan pengungsi dari Irak, Suriah, dan beberapa area "yang menjadi perhatian," seperti Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman. Pelarangan diberlakukan hingga ada pengumuman lebih lanjut. Trump berdalih, pelarangan itu dilakukan untuk melindungi warga AS dari serangan Islam radikal.

Hanya hitungan jam setelah Trump menandatangani perintah eksekutif itu, kegaduhan terjadi. Sejumlah imigran yang sudah terlanjur berada di beberapa bandara di AS langsung merasakan dampaknya. Diberitakan oleh Independent, Sabtu, 28 Januari 2017, sejumlah orang ditahan di bandara JFK, New York. Bandara internasional lain di beberapa negara AS juga melakukan hal yang sama.

Mereka yang berasal dari tujuh negara itu tertahan, dan dilarang memasuki AS. Bahkan, ratusan orang yang sudah berada di bandara di deportasi. Para pemegang green card yang berasal dari tujuh negara itu dan kebetulan sedang keluar dari AS juga terkena imbas aturan baru Trump. Mereka tak bisa kembali ke AS.

Warga AS yang tak sepakat dengan aturan Trump turun ke jalan. Mereka melakukan demonstrasi dan menentang pelarangan seperti yang disampaikan Presiden AS melalui perintah eksekutifnya. Di kota New York, Washington, dan Boston, dua gelombang unjuk rasa terjadi secara spontan dan melumpuhkan bandara pada Minggu, 30 Januari 2017.

Salah satu aksi protes yang paling besar terjadi di Battery Park di Lower Manhattan, tepat dibawah sinar patung Liberty di pelabuhan New York, yang selama ini menjadi simbol kedatangan di dataran AS.

Senator dari Partai Demokrat, Charles Schumer, menilai apa yang dilakukan oleh Trump itu bukanlah ciri Amerika dan berlari jauh dari nilai dasar negara tersebut. "Apa yang kita bicarakan saat ini adalah tentang hidup dan mati dari banyak orang," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, 30 Januari 2017. "Saya tak akan beristirahat hingga perintah mengerikan ini dicabut kembali," ujarnya menegaskan.

Tak hanya warga dan anggota Senat yang menolak aturan tersebut. Bos Starbucks Corp, Howard Schultz, dengan caranya menolak kebijakan Trump. Ia mengatakan perusahaannya berencana mempekerjakan 10 ribu pengungsi selama lima tahun ke depan di 75 negara. Diberitakan oleh Reuters, 30 Januari 2017, Schultz dalam surat resminya mengatakan kepada karyawan bahwa perusahaan akan membantu para pekerjanya yang terkena dampak dari kebijakan Trump soal imigrasi tersebut.

Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau bahkan secara terbuka mengatakan Kanada membuka pintu selebar-lebarnya bagi pengungsi dan imigran yang ditolak AS. Tapi, akibat ucapannya itu Kanada harus membayarnya dengan harga mahal, yaitu terjadinya penembakan brutal di sebuah masjid di kota Quebec, Minggu malam, 30 Januari 2017. Enam orang tewas, dan delapan lainnya luka-luka akibat penembakan yang dilakukan oleh tiga pria bersenjata. Bergeming, Trudeau malah mengatakan penembakan tersebut adalah teror pada kelompok Muslim.

Walikota New York Bill de Blassio juga mengecam tindakan Trump. Diberitakan oleh Independent, 29 Januari 2017, de Blassio mengatakan keputusan Trump seperti mengirim "pesan yang mengerikan" pada seluruh dunia. Ia menolak perintah Trump.

Pelarangan yang diberlakukan Trump baru memasuki hari kedua dari rencana empat bulan yang ia tetapkan. Namun penolakan publik terus menguat. Trump acuh, ia tetap merasa tak ada yang salah dengan keputusannya. Ia bersikukuh kebijakannya bukanlah kebijakan intoleran. Dikutip dari Reuters, 30 Januari 2017, ia bersikukuh keputusannya adalah demi rakyat Amerika. "

Agar jelas, ini bukan soal pelarangan Muslim, seperti yang salah diberitakan oleh media," ujar Trump. "Ini bukan tentang agama, ini tentang teror, dan membuat negara kita tetap aman," ujarnya menegaskan. (ren)