Menanti Vonis Ahok

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Sumber :
  • ANTARA/Reno Esnir

VIVA.co.id – Tinggal selangkah lagi nasib persidangan perkara yang menyeret Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, akan diputuskan majelis hakim.

Direncanakan persidangan dengan agenda putusan dilaksanakan dua pekan dari sekarang, yakni pada Selasa, 9 Mei 2016.

"Sesuai dengan jadwal maka putusan akan kami ucapkan pada hari Selasa tanggal 9 Mei. Untuk itu diperintahkan kepada saudara terdakwa untuk hadir dalam persidangan tersebut," kata Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Utara, Dwiarso Budi di ruang sidang Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa 25 April 2017.

Sesuai kebiasaan dalam sebuah persidangan perkara di pengadilan. Usai menggelar persidangan dengan agenda pledoi atau pembelaan oleh tergugat (terdakwa-red). Majelis hakim baru akan melaksanakan persidangan putusan setelah memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), untuk mengajukan replik, dan duplik dari kuasa hukum Ahok. Tapi, dalam persidangan perkara ini, kedua belah pihak, baik JPU dan penasihat hukuam Ahok, sama-sama menyatakan tidak akan mengajukan replik dan duplik.

Ketua tim JPU, Ali Mukartono beralasan replik tak lagi diperlukan karena apa yang disampaikan penasihat hukum terdakwa, hanya pengulangan dari persidangan-persidangan sebelumnya.

"Jadi Karena itu di pengulangan saja, maka tidak ada hal yang baru. Kalau dia pengulangan saya pengulangan lagi," ujarnya.

Pada persidangan kemarin, Ahok dan penasihat hukumnya telah membacakan seluruh isi dari berkas nota pembelaan.

Ahok membacakan sendiri pembelaan atas dirinya, dalam nota pembelaan yang diberinya judul 'Tetap Melayani Meski Difitnah', Ahok menyatakan, dirinya tidak pernah memiliki niat dan keinginan menghina atau menistakan satu agama atau juga golongan tertentu.

Menurut Ahok, meski mengutip Surat Al-Maidah ayat 51, pidatonya di Pulau Pramuka pada September 2016, hal itu hanya ditujukan untuk menceritakan pengalaman pahitnya ketika mengikuti proses Pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2007.

Ahok mengatakan, pidato itu hanya bertujuan agar nelayan di Pulau Pramuka, tak patah semangat dan takut program budidaya ikan kerapu yang digagas Ahok akan terhenti, jika Ahok tidak lagi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada DKI 2017.

"Majelis Hakim yang saya muliakan. Nota pembelaan ini saya buat untuk mematahkan semua tuduhan dan fitnah atas sambutan saya, selaku Gubernur DKI Jakarta, yang sedang menjalankan tugas di Kepulauan Seribu, pada tanggal 27 September 2016, dengan maksud mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program budidaya ikan kerapu, berdasarkan Pasal 31 UU Pemerintah Daerah," ujar Ahok.

Ahok berkesimpulan, apa yang terjadi pada dirinya di persidangan ini, merupakan efek dari ulah seorang pria bernama Buni Yani, yang mengunggah video pidatonya dan menambah kalimat bernada provokatif di media sosial. 

Tuduhan kepada Buni Yani bukan sekadar pelengkap bumbu dalam nota pembelaan Ahok saja. Terbukti tuduhan itu sebelumnya juga masuk dalam uraian pertimbangan JPU, ketika membacakan tuntutan hukuman terhadap Ahok.


 

FOTO: Basuki Tjahaja Purnama saat serahkan nota pembelaan ke hakim PN Jakarta Utara

Dari semua rangkaian persidangan beragenda pembelaan itu, ada hal yang sangat penting dan bisa menciptakan sebuah keputusan berbeda pada persidangan terakhir nanti

Bukan hanya karena penasihat hukum memohon majelis hakim untuk membebaskan Ahok dari segala tuduhan di persidangan. Karena dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar kedua pasal alternatif yang digunakan JPU dalam surat dakwaan.

Tapi, karena tim penasihat Ahok mengajukan permohonan dasar hukum berbeda dari permohonan dasar hukum yang diterapkan JPU dalam tuntutan pada persidangan sebelumnya, kepada majelis hakim.

Dalam butir pembelaannya, tim penasihat hukum meminta hakim untuk menerapkan Pasal 156a KUHP, sebagai delik materiil. Padahal pasal ini tak bisa diterapkan JPU sebagai delik materiil saat mengajukan tuntutan terhadap terdakwa. 

"Agar majelis hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil dan oleh karenanya mens rea (niat) untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya, tidaklah terpenuhi," ujar ketua tim penasihat hukum Ahok,  I Wayan Sudarta.

Tak hanya itu saja, tim penasihat hukum Ahok menitikberatkan legalitas penggunaan Pasal 156a KUHP pada perkara itu. Sebab sesuai yang tertera dalam surat dakwaan JPU, pasal itu dituliskan sebagai pasal alternatif pertama yang digunakan dalam dua pasal alternatif untuk menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke persidangan dengan perkara penodaan agama.

Penasihat hukum Ahok meminta majelis hakim dapat menerapkan hukum yang konstekstual, agar sejalan dengan produk-produk hukum yang ada sebelumnya seperti dengan mengacu pada,

Putusan MK nomor 8 TUU X 2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB tiga menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut, sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana.

Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU nomor 9 tahun 1998 serta UU nomor 39 tahun 1999 dan UU nomor 12 tahun 2005.

"Agar majelis hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex serta sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP khususnya pada unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dapat dihindari karena terlampau multitafsir," ujar I Wayan Sudarta.

 

FOTO: JPU membacakan tuntutan kepada Basuki Tjahaja Purnama.

Permohonan untuk menerapkan Pasal 156a KUHP yang diajukan penasihat hukum Ahok itu tentu bisa menjadi bumerang bagi JPU. Sebab majelis hakim bisa mengeluarkan putusan berbeda dari tuntutan yang diajukan JPU.

Karena dalam persidangan lalu, dalam tuntutannya, JPU telah menyatakan Pasal 156a KUHP tidak bisa diterapkan. Sebab selama persidangan tidak ditemukan unsur niat menghina agama dalam kalimat pidato yang diucapkan Ahok.

Pada persidangan yang digelar Kamis, 20 April 2017, JPU menyebut, berdasarkan Undang-undang nomor 1/PNPS Tahun 1965, unsur niat merupakan syarat utama bisa diterapkannya Pasal 156a pada perkara terdakwa penoda agama.

"Mengingat kesengajaan Pasal 156a huruf a KUHP adalah dengan maksud untuk memusuhi dan menghina agama, maka pembuktian Pasal 156a huruf a KUHP tidak tepat diterapkan dalam kasus a quo," ujar anggota JPU, Andri Wiranova dalam persidangan tersebut.

Akhirnya dalam tuntutannya, JPU menggunakan Pasal 156 KUHP tentang tindak pidana di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu golongan di Indonesia.

Untuk diketahui, padahal Pasal 156 KUHP hanya pasal alternatif kedua yang ditulis JPU dalam surat dakwaan ketika pertama kali menyeret Ahok ke pengadilan pada Selasa, 13 Desember 2016.

Kali ini tinggal menanti apakah dalam memutuskan perkara ini, majelis hakim akan tentunya memutuskan berdasarkan bukti-bukti di pengadilan, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen, petunjuk dan keterangan terdakwa. Bukti-bukti itu merupakan alat bukti yang sah sesuai pasal 183 KUHAP.