Jeruji Besi untuk Cinta Fidelis

Fidelis Arie Sudewarto mencium anak bungsunya di PN Sanggau Kalimantan Barat. Pria ini divonis 8 bulan penjara karena menanam ganja untuk obat istrinya.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Facebook

VIVA.co.id – Tulisan “TAHANAN” terpampang jelas di belakang rompi biru cerah yang melampisi kemeja ungu milik seorang pria bertubuh ceking di ruang sidang Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat. Dia duduk pasrah di sebuah kursi. Kepalanya menunduk.

Di depan, duduk tiga aparat hukum berseragam hitam berpadu merah dengan dasi sehelai kain putih. Seorang di antara mereka memegang palu. Sebuah papan nama di atas mejanya menuliskan, Hakim Ketua.

"Divonis delapan bulan penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu bulan," ujar si hakim ketua sembari mengetuk palu.

FOTO: Sidang vonis terhadap Fidelis Arie Sudewarto di PN Sanggau Kalimantan Barat, Rabu (2/8/2017)

Pagi menjelang siang, ucapan vonis penjara itu mencekat leher Fidelis Arie Sudewarto. Bapak dua anak ini dianggap bersalah karena menanam 39 batang ganja di dalam rumahnya.

Dalam sekejap air menggenang di pelupuk mata lelaki berusia 36 tahun itu. Wajahnya pun langsung terlihat memerah. Bersamaan itu beberapa bulir air turun perlahan dari kedua bola mata Fidelis.

Putusan penjara delapan bulan itu tiga bulan lebih lama dari tuntutan jaksa yang hanya meminta Fidelis divonis lima bulan penjara dan denda setengah miliar.

Selanjutnya...Siapa Fidelis?

Siapa Fidelis?

FOTO: Fidelis Arie Sudewarto/Facebook


Nama Fidelis mencuat setelah pada medio Februari lalu ia dicokok Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat atas kepemilikan 39 batang ganja di rumahnya.

Publik dibuat terhenyak bukan karena ulah Fidelis. Namun soal pengakuannya yang sengaja menanam ganja untuk mengobati istrinya,Yeni Riawati, yang sudah sejak hampir empat tahun divonis Syringomyeila usai melahirkan anak kedua mereka.

Syringomyeila memang bukan penyakit biasa. Ia melumpuhkan. Dokter saja menyarankan agar istri Fidelis dioperasi dengan cara membelah tulang belakangnya.

Namun apa daya, biaya yang mahal dan kondisi Yeni yang nyaris lumpuh total, memaksa Fidelis mencari segala cara untuk menyembuhkan sang istri.

Singkatnya, dari berbagai upayanya berburu informasi di internet, akhirnya didapatilah salah satu terapi yang baik untuk penderita Syringomyeila, yakni dengan menggunakan ekstrasi ganja.

FOTO: Fidelis Arie Sudewarto dan istrinya Yeni Riawati/Facebook

Usaha Fidelis pun berbuah hasil. Yeni yang sudah beberapa tahun tak pernah bergerak dan bersuara, tiba-tiba pada Januari 2017, bereaksi. Bak mukjizat, Fidelis mendengar langsung istrinya bernyanyi.

Perempuan yang tubuhnya sudah habis dimakan penyakit itu seolah 'hidup' kembali. Bahkan menu makanan yang selama ini kerap dimuntahkannya justru lahap dimakan.

Namun tuhan berkehendak lain, praktik pengobatan menggunakan ganja oleh Fidelis rupanya mengundang masalah. Tanaman ganja yang sengaja disemainya di rumah membuat Fidelis dicokok petugas.

Dalihnya untuk mengobati sang istri tak mempan. Tepat 19 Februari 2017, Fidelis digelandang ke tahanan. Dan yang lebih buruk lagi, 32 hari usai penangkapan itu istri Fidelis meregang nyawa.

Selanjutnya...Ganja untuk Obat, Bisa?

Ganja untuk Obat, Bisa?

FOTO: Ilustrasi/Daun Ganja

Di Indonesia, sudah menjadi ketentuan bahwa ganja memang barang haram. Karena itu siapa pun yang bersentuhan dengan ini pasti berhadapan dengan hukum.

Meski begitu, secara medis memang tak terbantahkan jika ganja dan sejenisnya memang bisa menjadi obat dalam kadar tertentu. Peneliti Natural Product and Pharmaceutical Chemistry Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Sofna Banjarnahor bahkan menyebutkan di dalam ganja memang mengandung banyak senyawa aktif.

"Setidaknya ada 113 lebih senyawa. Dari sifatnya ada dua yakni psikoaktif dan nonpsikoaktif," ujarnya.

Senyawa non-psikoaktif sudah banyak diteliti manfaatnya di bidang kedokteran, yakni sebagai antiradang, antikanker pelemas otot, obat epilepsi dan antinyeri. 

Secara umum, lanjut Sofna, senyawa psikoaktif lebih kelihatan mata, misalnya menjadi mudah tidur, selera makan dan membuat mood yang lebih baik. Sedangkan senyawa non-psikoaktif cenderung pada yang tidak kelihatan mata.

FOTO: Ilustrasi/Peneliti

Riset lain di luar negeri, di Virginia misalnya. Sebuah riset dari Virginia Commonwealth University menemukan bahwa ganja atau mariyuana bisa mencegah serangan epilepsi. Riset ini dipublikasikan dalam  Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics.

Di Amerika Serikat, sejak 10 tahun silam National Eye Institute telah merekomendasikan penggunaan ganja untuk mengurangi gejala Glaukoma. Sebab tumbuhan ini bisa meringankan tekanan pada saraf mata.

Riset berikutnya adalah dari publikasi The Journal of Alzheimer’s Disease. Dimana riset ini menyebutkan dosis kecil Tetrahydrocannabinol, senyawa yang ada di dalam ganja bisa memperlambat serangan Alzheimer.

Kemudian ada lagi riset dari University of South Carolina pada tahun 2014 yang menemukan bahwa senyawa THC dalam ganja bisa membantu merekan penyakit autoimun atau radang.

Tak cuma itu, peneliti dari University of Nottingham bahkan menyebut bahwa ganja ternyata mampu melindungi otak dari kerusakan yang disebabkan stroke.

Begitu pun peneliti dari University of California. Mereka menyebut bahwa ganja ternyata efektif meringankan rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf.

Dan termasuk juga hasil riset yang dipublikasikan European Journal of Gastroenterology and Hepatology. Dimana para peneliti menyebutkan bahwa 86 persen pasien Hepatitis C bisa meredam efek penyakit ini dengan menggunakan ganja.

FOTO: Seorang petugas kepolisian mengamati hasil perkebunan ladang ganja di Aceh beberapa waktu lalu

Namun demikian, terlepas sebanyak apa pun hasil riset itu. Setuju atau tidak, ganja tetap barang haram di Indonesia. Dalih ganja untuk medis masih dianggap bukan alasan.

"Penyalahgunaan akan dijadikan pembenaran untuk semua," ujar peneliti LIPI Sofna Banjarnahor.

Pernyataan serupa pun disampaikan Kepala Humas BNN Sulistyandriamoko. Bahkan ia meyakini sampai saat ini tidak ada hal ilmiah yang menyebut bahwa ganja bisa untuk pengobatan.

"Sifat salah satu dari ganja itu jahat, adiktif. Sampai kini kan belum ada yang menyatakan secara ilmiah, bahwa itu bisa digunakan sebagai obat," katanya.

Selanjutnya...Dorong Penelitian

Dorong Penelitian

FOTO: Fidelis Arie Sudewarto beserta dua anaknya menjelang proses sidang di Pengadilan Negeri Sanggau Kalimantan Barat/Facebook


Apa pun itu, yang pasti kini kasus Fidelis telah memunculkan sejumlah pemikiran baru. Bahwa kini Fidelis masih berjuang menuntut keadilan setelah vonis delapan bulan penjara memang menyesakkan.

Namun hal lain yang mestinya juga menjadi pemikiran adalah bahwa Indonesia idealnya harus membuka diri untuk meneliti secara khusus soal manfaat fanja untuk kebutuhan medis.

Jadi tidak cuma sebatas menegakkan hukum dan berpandangan sempit bahwa ganja itu selalu berkaitan dengan pecandu. "Di Indonesia belum ada penelitian senyawa apa pun dari tanaman ini (ganja)" kata peneliti LIPI Sofna Banjarnahor.

Hal ini diakuinya memang berkaitan dengan status hukum ganja di Indonesia. Sehingga banyak peneliti kemudian memilih enggan mendalami lebih jauh soal ganja terutama untuk kebutuhan medis.

"Mau meneliti tapi dibatasi ketat oleh regulasi," ujarnya.

Prinsipnya, jangan sampai ke depan akan ada Fidelis yang lain yang mengalami nasib serupa. Rasanya betul-betul menyayat hati ketika apa yang dilakukan seorang suami penuh cinta untuk istrinya agar sembuh lalu diganjar penjara. (ren)