Konflik AS-Korut, Mengukur Ancaman Bagi Asia
- Central News Agency (KCNA) /Reuters
VIVA.co.id – Pemerintah Amerika Serikat resmi melarang warganya melakukan perjalanan ke Korea Utara. Aturan baru itu, buntut ketegangan hubungan kedua negara. Sejak pemerintahan Presiden Donald Trump, Korut getol melakukan uji coba senjata. Program nuklir pula terus berlanjut. Ditambah sikap tak acuh Korut, AS merasa benar-benar gerah.
Departemen Luar Negeri AS meminta agar seluruh warganya yang masih berada di Korea Utara segera hengkang dari negara tersebut. AS menyatakan bahwa mulai 1 September 2017 hingga satu tahun ke depan, AS akan melarang warganya menuju maupun melintasi negara pimpinan Kim Jong-un itu. Pengecualian hanya untuk jurnalis dan pekerja kemanusiaan dengan izin ketat dari pemerintah AS.
“Orang-orang yang saat ini berada di Korea Utara dengan paspor AS harus meninggalkan Korea Utara sebelum pembatasan perjalanan mulai berlaku pada hari Jumat, 1 September 2017,” dituliskan dalam rilis resmi Kemenlu AS sebagaimana dikutip laman Reuters, Kamis 3 Agustus 2017.
Selama beberapa bulan terakhir, hubungan AS-Korut, tegang. Bahkan eskalasinya meningkat dari pekan ke pekan. Berkali-kali Korea Utara unjuk kekuatan melakukan uji coba senjata mutakhir yang disinyalir memang ingin menggentarkan Amerika Serikat. Sekalipun, AS masih merupakan negara yang memiliki kekuatan militer paling kuat di dunia sesuai laporan berbagai lembaga internasional.
Setelah Presiden Donald Trump naik, beberapa kali Korut sudah melakukan uji coba senjata termasuk dua kali percobaan rudal balistik antarbenua yang disebutkan memiliki jangkauan hingga ke daratan Amerika Serikat.
Bahkan salah satu rudal balistik canggih itu diluncurkan hanya sehari sebelum hari Kemerdekaan Amerika Serikat yang jatuh pada tanggal 4 Juli 2017 silam. Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan bahwa peluncuran rudal balistik tersebut ibarat kado hari kemerdekaan untuk AS.
Dirilis otoritas Korut, Kim Jong-un mengatakan, rudal ICBM tersebut adalah kado untuk Amerika “si brengsek”.
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan bahwa peluncuran yang bertepatan dengan Independence Day membuat ketegangan antara AS dan Korut semakin terbuka dan jelas. AS pada saat itu kembali menegaskan bahwa Korea Utara merupakan ancaman global.
Perlombaan senjata antara kedua negara berlanjut lantaran AS juga terpancing melakukan uji coba senjata canggih untuk merespons sesumbarnya Korea Utara. Sepekan setelah rudal antibalistik Korut dites, AS menguji coba rudal mutakhirnya, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD). Rudal milik AS tersebut menurut para pakar jelas bisa menandingi rudal Korea Utara.
AS memiliki fasilitas THAAD yang tak hanya di berada wilayahnya namun juga di teritori Korea Selatan yang terlibat konflik semenanjung dengan Korea Utara selama ini.
Korea Utara sejak lama memang menjadi “musuh” Amerika Serikat di Asia mengingat Korea Utara menganut Komunis yang menjadi paham dimusuhi AS sejak lama. Sementara keberpihakan negara tersebut terhadap Korea Selatan di sisi lain, makin menegaskan permusuhan itu.
Hubungan AS dan Korea Selatan merekah sejak tahun 1953. Menurut laporan yang pernah dipublikasikan Congressional Research Service pada Mei 2017 yang bertajuk “US-South Korea Relations”, disebutkan bahwa hubungan AS dan Korea Selatan menguat salah satunya karena sama-sama menganggap Korea Utara sebagai masalah yang harus dihadapi.
Sejak tahun 2009, AS menambah jumlah pasukannya di semenanjung Korea tepatnya di Wilayah Korsel. Pula ikut mendorong penguatan militer Korsel dengan pembangunan THAAD di negeri tersebut.
Selanjutnya...
Siapa Punya Senjata Nuklir
Ihwal kemarahan AS terhadap Korut lebih awal terkait pengayaan nuklir dan peningkatan senjata nuklir. AS yang memberikan peringatan agar Korut menghentikan pengembangan senjata nuklir ternyata tak membuat negara
tersebut membatalkan programnya. Bahkan dilaporkan, pengembangan senjata makin gencar sejak Kim Jong-un menduduki tampuk kepemimpinan di Korut.
Bila menilik data kepemilikan senjata nuklir di dunia, lembaga riset kredibel di dunia, Stockholm International Peace Research Institute atau SIPRI merilis data terbaru kepemilikan senjata mematikan tersebut. Pada 3 Juli 2017, ada 9 negara yang memiliki share kepemilikan senjata nuklir yaitu Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, China, Pakistan, India, Israel dan Korea Utara.
SIPRI merilis soal kepemilikan senjata termasuk nuklir setiap tahunnya melalui the SIPRI Yearbook.
Pada awal tahun 2017, ada total 14.935 senjata nuklir yang kepemilikannya tersebar di 9 negara itu. Angka ini memang dicatat lebih rendah dibandingkan tahun 2016 yakni 15.395 senjata nuklir.
Merujuk pada jumlah hulu ledak nuklir yang siap aktif maupun yang sebagiannya adalah cadangan menunjukkan bahwa Rusia justru memiliki senjata nuklir terbanyak dengan total 7.000 unit. Setelah itu langsung disusul oleh AS yang memiliki senjata nuklir dengan jumlah tipis di bawah Rusia yaitu 6.800. Prancis diprediksi ada di posisi ketiga dengan jumlah 300 unit disusul China yang memiliki 270 senjata nuklir.
Sementara Korea Utara di antara 9 negara merupakan negara yang diperkirakan memiliki jumlah senjata nuklir paling sedikit yakni 10 hingga 20 senjata nuklir. Posisinya berada di bawah Israel dengan kepemilikan 80 senjata nuklir.
Selanjutnya...
Senjata di Tangan yang Salah
Dewan Keamanan PBB sudah memberikan sanksi isolasi terhadap Korea Utara. Dasarnya, tidak transparannya Korut atas kepemilikan senjata dan pengayaan nuklirnya. Selain itu, perilaku Korea Utara yang dianggap tidak stabil juga bisa menjadi ancaman keamanan dunia.
Dilansir laman The Guardian pada 20 April 2017, PBB menyatakan sanksi terhadap Korut. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley dalam rapat dengan Dewan Keamanan menyatakan bahwa Korut adalah ancaman serius dengan membangun dan menguji coba senjata dengan sembarangan. Senjata-senjata itu dianggap rentan karena berada di tangan yang salah.
“Tidak ada satu orang pun di Dewan Keamanan yang ingin menyaksikan Korea Utara terus melanjutkan uji senjata dan gertakan-gertakannya,” kata Haley.
Untuk meredam Korut, AS lantas mendekati China. Meskipun AS-China secara militer dan isu power diketahui dalam posisi rivalitas. Keduanya juga terlibat perlombaan senjata. Namun secara ekonomi, hubungan keduanya
dicatat cukup lancar.
Dengan posisi China sebagai negara terkuat di Asia, beberapa lama ini AS juga menekannya agar bertindak menghentikan aksi pamer senjata Korea Utara.
Diketahui, hubungan China dan Korea Utara sangat baik. Bahkan 80 persen kegiatan ekonomi di Korea Utara bisa terus hidup karena ada kerja sama dengan Tiongkok. Sementara dalam hal isu keamanan, keduanya juga cenderung dianggap sekutu dibandingkan posisi lawan.
Belum lama ini, Presiden Donald Trump berkali-kali mendesak agar Presiden China Xi Jinping bertindak dan memberikan sanksi isolasi terhadap Korea Utara. Diprediksi, tekanan China dalam hal ekonomi akan bisa memukul Korut. Namun Trump harus gigit jari. Tampaknya China masih soft merespons Korut.
Pada Kamis, 3 Agustus 2017, China menyatakan bahwa secara umum mereka mengecam aksi uji coba senjata Korut. Namun demikian, China meminta agar semua pihak menahan diri termasuk AS yang telah melarang warganya bepergian ke Korut.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, sebagaimana dilansir Reuters menyatakan bahwa sikap Korut tak perlu buru-buru disikapi dengan agresif. Sementara Wang Yi dijadwalkan akan bertemu dengan Menlu AS Rex Tillerson di
Ministerial Meeting ASEAN yang akan dilangsungkan pekan ini di Manila, Filipina. Salah satu hal yang mendesak dibahas adalah soal krisis Korut.
Selanjutnya...
Andil ASEAN
Tak hanya mendekati China yang dicap sebagai sekutu Korut, AS juga mulai getol meminta negara-negara anggota ASEAN agar ikut memberi tekanan terhadap Korut. Diketahui bahwa Korea Utara memiliki hubungan baik dengan sejumlah negara Asia Tenggara termasuk dengan Indonesia.
Menlu AS Tillerson meminta agar negara-negara ASEAN ikut menjalankan sanksi mengisolasi Korut agar menyetop program pengembangan senjatanya. Isolasi beramai-ramai oleh negara di Asia diprediksi akan bisa membuat Korut berpikir ulang.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte tak lama melalui rilis pers langsung merespons isu ini. Dia menyatakan bahwa tindakan sembarangan Kim Jong-un jelas merugikan kawasan. Duterte bahkan menyebut Kim Jong-un sebagai maniak.
“Dia bermain-main dengan hal berbahaya, orang ini gila,” kata Duterte sebagaimana dikutip dari laman AsiaOne.
Tindakan Kim yang ceroboh diingatkan Duterte akan bisa memicu terjadinya perang nuklir dan sangat berbahaya bagi Asia.
"Jika dia membuat kesalahan, tanah kita menjadi korban. Perang nuklir itu harus dihentikan. Jika konfrontasi itu terjadi maka itu akan berdampak pada sumber daya kita," ujar sang Presiden. (one)