Mesin Jahit, Simbol Kekayaan Kini Turun Kelas
- VIVA.co.id/Putri Firdaus
VIVA.co.id – Ada yang menarik ketika melintasi Jalan Majapahit menuju Harmoni, Jakarta Pusat. Di sudut sebelah kiri perempatan jalan, dekat lampu merah, ada toko dengan eksterior klasik. Sekilas, memang tak ada yang istimewa, namun jika menilik ke sejarah berdirinya, ternyata usia bangunan tersebut sudah lebih dari satu abad, tiga dekade.
Toko bercat putih di pinggir jalan itu sudah ada sejak tahun 1880 atau tepatnya bertahan di sana selama 137 tahun. Meski begitu, bangunan dengan sebuah papan nama bertuliskan Singer dalam huruf kapital berwarna merah terang terpampang di muka toko dan pada dua jendela besar bagian depan yang mengapit pintu vintage berwarna putih, masih berdiri kokoh.
Kesan bangunan kuno pun begitu terasa ketika memasuki toko yang memiliki ruang kursus menjahit di bagian tengah. Sebuah meja resepsionis besar tepat di depan pintu menyambut pembeli datang. Di bagian kanan terdapat display berbagai tipe mesin jahit keluaran terbaru. Sementara di bagian kiri, beragam aksesori dan perlengkapan untuk perawatan mesin jahit tertata di etalase.
Nilai keantikan toko semakin kental dengan beberapa koleksi perabotan jadul yang sengaja diletakkan, seperti mesin tik, pesawat telepon, setrika, hingga replika model mesin jahit lawas. Tak cuma itu, di bagian paling belakang toko, beberapa mesin jahit klasik berjajar rapi dalam kondisi bersih.
Perbedaan menonjol fisik mesin jahit dahulu dan kini menunjukkan bahwa alat itu telah mengalami transformasi panjang dan berulang kali dari masa ke masa. Dan berbicara soal sejarah mesin jahit, Sewalot.com membeberkan bahwa beberapa orang di negara Barat pada abad ke-18 telah berusaha menciptakan alat untuk membuat pakaian, namun orang pertama yang mampu menciptakan mesih jahit dengan fungsi baik adalah Elias Howe pada abad ke-19.
Dia pun mematenkan temuannya yang menggabungkan prinsip dasar dengan hasil jahitan dari benang dan jarum yang dapat mengunci kain, pada 10 September 1846 di Amerika Serikat. Perang paten mesin jahit dimulai kala Isaac Merritt Singer menemukan mesin jahit dengan jarum yang digerakkan melalui kayuhan pedal kaki, berbeda dengan penemuan sebelumnya yang menggerakkan jarum dari pinggir menggunakan tangan.
Atas hasil temuan baru itu, Howe menuntut Singer lantaran mengaplikasikan mekanisme jalinan benang yang dia patenkan dan memenangkan tuntutan pada tahun 1854. Akibatnya, Singer wajib membayar royalti paten ke Howe. Jika saja Walter Hunt yang juga menerapkan jalinan dua sumber benang dan jarum berlubang mematenkan temuannya sebelum Howe, sejarah akan sedikit berbeda.
Kendati demikian, mesin jahit sejak saat itu terus bertransformasi, dikembangkan dan dipasarkan oleh banyak perusahaan di Amerika, Eropa hingga Asia, termasuk Indonesia.
Mesin Jahit 'Jajah' Indonesia
Sejarah masuknya mesin jahit ke Tanah Air, diceritakan kurator Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Hermanu Romo Sindu, memiliki riwayat panjang. Menurutnya, mesin jahit mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan budaya Barat, yakni ketika Belanda menjajah negeri ini.
"Mesin jahit ditemukan oleh Elias Howe, lalu berkembang berbagai merek mesin jahit di Amerika dan Eropa. Kalau orang Belanda (sudah) di Indonesia, otomatis mesin jahit sudah beredar," kata pria, yang pada akhir tahun lalu menggelar Pameran Mesin Jahit dan Mode Lama di Kota Gudeg kepada VIVA.co.id.
Tak semudah dan praktis seperti sekarang, mesin jahit yang dibawa ke Indonesia awal mulanya masih digerakkan secara manual menggunakan tangan, memiliki ukuran mini mulai 10 centimeter (cm) hingga 30 cm, sehingga bisa dibawa ke mana-mana. Kemudian berkembang mesin jahit dengan penopang meja yang menggunakan bantuan tenaga kaki untuk menggerakkan mesin.
Setelahnya muncul kombinasi mesin jahit yang digerakkan menggunakan tangan dan kaki hingga akhirnya memanfaatkan energi listrik. Sementara mesin jahit yang menggunakan kaki, menurut Hermanu, meski kebanyakan berukuran lebih besar namun ada yang bisa dijinjing.
Berat mesin jahit pun beragam mulai 1 kilogram (kg) hingga 10 kg. Mesin yang digunakan menjahit sepatu memiliki ukuran lebih besar dan bobot lebih berat dibanding mesin jahit pakaian.
"Mesin jahit dulu dan sekarang bentuknya sama, cuma yang klasik itu berukir-ukir dan makin ganti tahun makin simple, ukiran-ukiran mulai dikurangi. Prinsipnya sama tapi dekorasinya macam-macam," kata dia.
Adapun merek mesin jahit yang masuk ke pasar lokal, seperti Singer, Butterfly, Pfaff, Miyake, Gritzner-Durlach, dan Mouser Specia. Menurut Hermanu, merek yang legendaris hingga kini adalah Singer, Butterfly dan Pfaff. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa merek hilang dari pasar Indonesia, namun muncul banyak merek lain, di antaranya Brother, Janome dan Juki.
Dan sebagai salah satu mesin jahit yang merajai pasar Indonesia, Singer yang diciptakan Isaac Merritt Singer pada 1851 dipasarkan oleh Singer Corporation. Namun berganti nama menjadi Singer Manufacturing Company pada 1865, dan berubah lagi menjadi The Singer Company pada 1963.
Di sini, Singer kali pertama dipasarkan oleh PT Singer Indonesia. Namun perusahaan itu gulung tikar dan diambil alih PT Wijaya Mapan Abadi. "Tahun 2000-an sudah bukan Amerika lagi yang pegang. Singer bangkrut, lalu dipegang PT Wijaya Mapan Abadi pada 2003," kata pemilik Toko Singer ikonik, yang beralamat di Jalan Majapahit Nomor 2A, Bonardo Tua Siahaan kepada VIVA.co.id.
Dia menuturkan, mesin jahit Singer yang pertama masuk Indonesia adalah model klasik berwarna hitam. Kemudian berkembang dengan menggunakan tipe mesin flat bed dan hi-speed dengan pola jahitan lurus. Baru pada tahun 2000-an, Singer mengeluarkan mesin jahit dari bahan plastik, fiber dan portabel dengan beragam pola yang terprogram di mesin jahit sehingga memudahkan pemakainya.
Soal harga, mesin jahit Singer termurah saat ini dibanderol Rp1,7 juta untuk model klasik. Sedangkan gaya modern mulai Rp1,9 juta hingga Rp23 juta. Uniknya, Singer tak hanya menjual mesin jahit, tapi juga membuka kursus menjahit sejak kali pertama toko itu dibuka.
Turun Kelas
Menengok harganya yang cukup ramah kantong saat ini untuk model tertentu, banyak orang yang sebenarnya mampu membeli. Namun mereka lebih memilih aspek kepraktisan, membeli baju ready to wear alias siap pakai lantaran kebutuhan sandang mudah didapat di sejumlah mal negeri ini plus tak perlu repot dibanding harus menjahit sendiri.
Padahal, awal munculnya di Indonesia hingga beberapa tahun setelahnya sebelum ditemukan pesawat, mesin jahit masih identik dengan barang prestise alias mewah. Pemiliknya masih sangat terbatas, hanya orang-orang Belanda dan kalangan pribumi kelas atas atau priyayi di Tanah Jawa.
Harganya yang mahal, membuat rakyat jelata tak mampu memilikinya pada masa itu. Hermanu mengatakan, biaya besar mengirim mesin jahit yang memakan waktu hingga satu kuartal setelah dipesan menjadi alasan mahalnya harga mesin jahit.
"Harganya mahal karena pesawat belum ada. Ongkos mendatangkannya mahal dan waktu pengiriman lama, barang baru sampai dua sampai tiga bulan setelahnya," ujar dia.
Faktor lain yang membuat mesin jahit jadi barang berharga adalah produksinya masih minim dan handmade. Bahkan, mesinnya dibuat dari bijih besi, sedangkan saat ini dari besi daur ulang sehingga kualitasnya tak seperti beberapa tahun silam.
Karena faktor itu, Hermanu mengatakan, harga mesin jahit di masa awalnya masuk Indonesia bisa seperti harga sepeda yang saat itu masuk kategori barang mewah. Dan harga alat transpostasi kayuh tersebut setara dengan satu ons emas.
Meski sempat menjadi barang kelas atas, perlahan mesin jahit mulai turun kelas. Perkembangan teknologi, tumbuhnya pabrik dan perusahaan yang memproduksi mesin jahit membuat harganya menjadi sedikit terjangkau, meski belum bisa disebut murah.
Selain itu, membaiknya ekonomi Pulau Jawa pada tahun 1940-an juga mendorong masyarakat membeli mesin jahit, sehingga banyak rumah memiliki alat ini. Kendati demikian, geliat mesin jahit di Tanah Air sempat redup dan berhenti dijual lantaran memburuknya ekonomi usai kemerdekaan RI. Mesin jahit baru kembali masuk Indonesia sekitar tahun 1950-an.
Seiya sekata dengan Hermanu, Bonardo mengatakan bahwa zaman dahulu, memiliki mesin jahit menunjukkan kelas sosial seseorang di masyarakat. Bahkan, mesin jahit kerap dijadikan hadiah istimewa untuk pernikahan.
"Dulu (mesin jahit) Singer itu mahal. Orang punya Singer dibilang kaya raya," ucapnya.
Perubahan sikap
Di sisi lain, keberadaan mesin jahit, menurut Hermanu, juga mempengaruhi pakaian yang dikenakan masa itu. Pakaian kaum bangsawan atau kaya lebih bagus, rumit dengan jahitan rapi dan jumlah lebih banyak, berbeda dengan rakyat biasa yang pakaiannya lebih sederhana dan sedikit, yang dijahit dengan bantuan jarum dan benang menggunakan tangan.
Soal itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Sunyoto Usman pun menjelaskan korelasi antara mesin jahit dan pakaian hingga dianggap sebagai barang berharga. Pada saat itu, pakaian memiliki nilai tinggi, sehingga apapun yang terkait dengan pakaian, dalam hal ini mesin jahit, dianggap sebagai barang berharga. Sementara sekarang harga pakaian relatif terjangkau dan bisa beli di mana pun dengan model dan kualitas bagus.
"Jadi saya kira produk yang dihasilkan itu juga punya nilai. Kalau dahulu orang punya pakaian, gengsinya naik. Status dalam masyarakat dianggap tinggi, sehingga apa saja yang terkait dengan produk itu dihargai. Kalau sekarang untuk apa dihargai, (karena) di pasar saja (harganya) murah," tutur Guru Besar Fisipol UGM tersebut kepada VIVA.co.id.
Fungsi tersebut yang membuat mesin jahit pada masa itu menjadi sesuatu yang istimewa, yang membedakan dengan kebanyakan orang. Dia menganalogikan mesin jahit saat itu layaknya motor dan mobil, serta handphone pada saat ini.
Mobil dan motor merupakan barang berharga karena dapat membuat mobilitas tinggi atau handphone lantaran memudahkan komunikasi dengan banyak orang. Barang-barang tersebut menjadi simbol status seseorang kekinian.
"Jadi barang-barang yang dianggap bisa membedakan dengan orang kebanyakan, itu menaikkan statusnya. Orang-orang sosiologi biasanya bilang simbol status, jadi simbol status melekat pada yang membedakan dengan orang kebanyakan," ujar Sunyoto. (umi)