Densus Anti-Korupsi Berbuah Dilema
- Pool
VIVA – Empat tahun mengendap, usulan Detasemen Khusus Antikorupsi Polri akhirnya mendapat “panggung”. Gagasan yang pernah ditolak Kapolri Jenderal Sutarman pada tahun 2013 itu bahkan kini, kalau jadi, bakal diguyur anggaran hingga Rp2,6 triliun. Jumlahnya tiga kali lipat dari jatah anggaran untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki tugas serupa.
Anggaran itu, seperti dirincikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian ke DPR, berupa belanja pegawai Rp786 miliar untuk 3.560 personel, belanja barang Rp359 miliar dan belanja modal senilai Rp1,55 triliun.
"Biar mereka sama dengan KPK, sistem anggaran dan sistem indeks. Kelebihan di teman-teman KPK mungkin bisa diterapkan ke Densus Tipikor," kata Tito di hadapan Komisi III DPR, Kamis, 12 Oktober 2017.
Hebatnya lagi, densus yang baru setahun ini mengemuka ulang di lingkungan Polri itu, digagas akan dipimpin oleh Jenderal Bintang Dua. Dengan sistem kepemimpinan kolektif kolegial yang melibatkan Kejaksaan hingga Badan Pemeriksa Keuangan. "Nantinya kepala Densus Tipikor di bawah kapolri langsung," kata Tito.
FOTO: Kapolri Jenderal Tito Karnavian
Sejak 'tiba-tiba' mencuat ulang pada 2016, diakui perlahan desas-desus gagasan densus itu akhirnya makin mengkristal. Komunikasi Polri ke DPR sampai ke istana pun mengalir lancar.
KPK yang menjadi sorotan publik lantaran menjadi posisi yang akan 'tersaingi' oleh Densus Antikorupsi, justru membuka diri.
Tidak ada kekhawatiran KPK soal ini. Bahkan lambaga antirasuah ini menilai dengan adanya Densus Antikorupsi, maka “kasus-kasus recehan” bisa menjadi makanan kepolisian.
"Selama ini KPK menghadapi kasus di atas Rp1 miliar. Terus yang di bawah Rp1 miliar seperti apa? Siapa yang menangani? Bagaimana orang yang (korupsi) Rp50-100 ribu? KPK kan gak bisa ambil yang segitu," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.
Angin Segar
Sejalan dengan KPK, Kejaksaan Agung juga mengapresiasi ide Polri itu. "Wacana dan gagasan itu dinilai positif untuk meningkatkan kinerja Polri dalam pemberantasan korupsi," kata Jaksa Agung Prasetyo.
Angin segar pun juga datang dari pintu istana. Presiden Joko Widodo lewat juru bicaranya, Johan Budi, mengaku membuka lebar rencana polisi mendirikan lembaga baru khusus korupsi.
Selain itu sudah merupakan kewenangan Polri, Jokowi berharap lewat lembaga itu maka kasus korupsi di Indonesia dapat ditangani lebih baik.
"Upaya pemberantasan korupsi harus lebih massif, lebih cepat, (dan) yang kedua sinergi dengan penegak hukum lain (KPK dan Kejaksaan)" kata Johan di istana negara, Selasa, 17 Oktober 2017.
"Agenda pemberantasan korupsi tidak bisa kita andalkan hanya kepada KPK," tambah politikus Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman.
FOTO: Proses perampungan pengerjaan gedung KPK di Jakarta
Ya, apa yang menjadi 'mimpi' Polri tahun ini mengalir mulus. Bahkan meski tahun 2018 Polri mendapat anggaran 'tergemuk' ketiga senilai Rp77,751 triliun setelah pertama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Rp106,911 triliun dan kedua Kementerian Pertahanan Rp105,727 triliun.
Tak tahu mengapa ini seperti begitu lancar, namun yang jelas jika rencana Polri menambah kocek kembali senilai Rp35,64 triliun di luar yang sudah disahkan Rp77,75 triliun, bukan tidak mungkin bakalan moncer juga.
Maklum, jurus cepat ala Polri dan DPR ini bak gendang dan penabuhnya. Gendang densus ditabuh Polri, langsung ditabuh oleh DPR yang sedang merengut lantaran bersitegang dengan KPK atas skandal korupsi e-KTP.
Baik atau Buruk
FOTO: Seorang penyidik dari Bareskrim Polri melakukan penggeledahan di kantor SKK Migas beberapa waktu lalu
Ya, apa pun itu, kini Densus Antikorupsi sudah bukan desas-desus lagi. Besar kemungkinan jika tak ada aral melintang pada tahun 2018, lembaga ini beroperasi.
Namun demikian, yang mesti diselesaikan saat ini adalah mengenai mekanisme sistemnya. Sebabnya, Tito begitu bersemangat agar Densusnya setara dengan KPK.
Karena itu, selain mematok anggaran gemuk, ia juga hendak mencaplok jaksa dari Kejaksaan Agung. Alasannya adalah, dengan keterlibatan jaksa dalam tim densus, maka lembaga ini tak perlu lagi melimpahkan berkasnya ke Kejaksaan Agung. Selayaknya apa yang kini diterapkan oleh KPK.
Konsep ini jelas menemui benturan. Jaksa Agung Prasetyo langsung menolak mentah-mentah tawaran Polri tersebut. Ia berpendapat penggabungan jaksa dan polisi justru akan mengeruhkan sistem.
"(Pelibatan jaksa) Akan mengurangi independen masing-masing penegak hukum," kata Prasetyo.
Ya, jaksa yang memiliki kewenangan sebagai penuntut, jelas akan 'tercemar' dengan bergabungnya mereka dalam lembaga yang sama yakni Densus Antikorupsi.
FOTO: Jaksa Agung M Prasetyo
Ini secara tidak langsung telah membuat Kejaksaan yang setara Polri justru berada di bawah Polri. Mengingat gagasan Tito, Densus ini akan dikepalai oleh Jenderal Bintang Dua.
Dengan itu juga, kendali suatu perkara dapat dikatakan layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan, akhirnya menjadi semakin kabur.
"Densus Tipikor akan semakin memperkuat serta memperbesar kewenangan kepolisian tanpa pengawasan yang kuat dan menimbulkan potensi kesewenang-wenangan," ujar Praktisi hukum Universitas Indonesia Adery Ardhan Saputro.
Atas itu, dibutuhkan konsepsi jelas soal ini. Apalagi, Polri sepertinya sudah tak sabar agar lembaga baru ini segera menunjukkan giginya di 2018.
Sebab, tanpa ada sistem yang jelas, maka ini akan menjadi mubazir. Penolakan jaksa untuk bergabung dalam lembaga ini telah menjadi peringatan 'keras' polisi bahwa kewenangan itu ada batasnya.
Lalu bagaimana jika ini masih tak tak menemukan jalan? Maka secara prinsip, Densus Antikorupsi yang dicita-citakan Polri dan DPR akhirnya tak ubahnya dengan Direktorat Tindak Pidana Korupsi yang ada di bawah Bareskrim Polri saat ini.
Jika ini terjadi, maka akan ada potensi pemborosan anggaran sebesar Rp2,6 triliun yang diajukan ke negara. Karena ada baiknya, tak perlu membentuk lembaga baru namun cukup 'menguatkan' Dittipikor yang sudah terlembaga di tubuh kepolisian.
FOTO: Presiden Jokowi dan Wakil Jusuf Kalla
Selain itu, seperti kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa dengan semakin banyaknya lembaga yang mengurusi korupsi akhirnya cuma membuat tak tenang pejabat.
"Kita juga harus hati-hati (dengan rencana pembentukan Densus Tipikor). Jangan isu pemberantasan korupsi itu menakutkan bagi semua orang, sehingga menakutkan juga pejabat pembuat kebijakan," ujar JK, Selasa, 17 Oktober 2017.
Atas dasar itu, JK menekankan agar kasus korupsi biarlah kini menjadi tanggung jawab KPK. Polri atau pun kejaksaan tetap berjalan dalam koridor, yang sejatinya juga ikut menjerat siapa pun koruptor.
"Cukup biar KPK dulu (menjadi lembaga utama pemberantasan korupsi). Toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu," ujar JK. (ren)