Stadhuis Schandaal, Film Sejarah Rasa Millennial

Para pemain film Stadhuis Schandaal, termasuk Haniv Hawakin.
Sumber :
  • dok.ist

VIVA – Satu lagi film drama yang mengangkat aspek sejarah hadir di bioskop Tanah Air. Stadhuis Schandaal adalah film yang mengangkat aspek nilai sejarah dengan pendekatan kekinian, agar dapat diterima oleh millennial.

Sang sutradara film, Adisurya menjelaskan, industri film Indonesia banyak mengangkat cerita sejarah sebagai film layar lebar, namun karena penggarapannya jauh dari aspek menghibur sehingga cenderung tak diminati penonton, khususnya millennial.

"Kelemahan film kita adalah mengangkat kisah nyata sejarah tapi tidak dalam wujud kekinian, dalam artian memakai format pendekatan hiburan dan pop," kata Adisurya, Senin 9 Juli 2018.


Film Stadhuis Schandal sendiri mengisahkan tentang Fei (diperankan Amanda Rigbi), seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia. Saat mencari bahan dan riset di kawasan Kota Tua Jakarta, dia merasa diperhatikan seorang gadis keturunan Belanda dan Jepang yang kemudian dikenal sebagai Saartje Specx atau dipanggil Sarah (Tara Adia).

Sosok Sarah kemudian menghilang dari pandangan Fei saat dering telepon berbunyi. Pertemuan Fei dengan Sarah membuat dia tidak dapat menghilangkan pertanyaan dalam pikiran siapa sosok wanita yang memperhatikannya di Museum Fatahillah --yang dulu bernama Stadhuis itu.

Ada dua kurun waktu yang ditampilkan dalam film terbaru karya Adisurya Abdy ini, yakni setting zaman kolonial pada abad ke-16 dan kekinian (modern). Tidak hanya menyutradarai, Adisurya juga menulis skenario film yang mengambil lokasi pengambilan gambar di Jakarta, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Shanghai, Tiongkok.

Film ini rencananya akan diputar di bioskop Tanah Air pada pertengahan tahun 2018.

"Kalau kita bicara sejarah tempo dulu, maka mereka tidak paham. Filmlah yang memiliki ruang dan alat untuk memberi tahu mereka, apa dan siapa yang pernah terjadi di negeri ini. Caranya ikuti selera milenial," kata Adisurya.

Adisurya yang menempuh pendidikan di Advanced School for Film Directing (1986-1987) di Los Angeles, Amerika Serikat, pernah menyutradarai berbagai film seperti Gita Cinta dari SMA, Roman Picisan, dan Asmara. Menurut Adisurya, para pelaku industri perfilman, termasuk sutradara, tidak bisa menghindari hal itu karena penonton film di Indonesia rata-rata didominasi dari kalangan berusia 12 hingga 27 tahun.