INAPGOC Masih Kekurangan Tenaga Klasifikasi Atlet Difabel

Clasification Director INAPGOC, Dr. Christopher
Sumber :
  • VIVA/Zulfikar Husein

VIVA – Pesta olahraga difabel se-Asia, Asian Para Games, akan digelar di Jakarta pada 8 Oktober hingga 16 Oktober 2018 mendatang. Sementara itu, saat ini tengah berlangsung test event di komplek Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, yang dimulai pada 27 Juni dan berakhir hari ini.

Lantas, bagaimana penggolongan atlet yang dikatakan difabel itu sehingga bisa tampil di Asian Para Games? Clasification Director INAPGOC, Dr. Christopher, menerangkan pengklasifikasian atlet difabel ini berguna untuk kesetaraan kelas bagi para atlet supaya sesama atlet merasakan fairplay.

"Pada tahap awal untuk atlet harus mendapatkan klasifikasi. Itu bisa didapatkan dari nasional hingga internasional. Oleh karena itu, petugas (classifier) harus bisa membedakan atlet ini layak atau sesuai dengan kriteria kecacatan atau tidak," kata Christopher saat sesi jumpa pers di Main Press Centre, GBK, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 Juli 2018.

Setelah dilakukan klasifikasi, para atlet tak langsung dinyatakan lulus. Atlet tersebut nantinya diperiksa tingkat kecacatannya. Setelah itu classifier baru akan menentukan atlet tersebut masuk ke dalam kelas apa.

"Dari lima cabor di test event ini (Atletik, Bulu tangkis, renang, tenis meja dan Wheelchair Basketball) berjalan cukup lancar. Kami juga bekerja sama dengan IPC (International Paralympic Comittee) kecuali tenis meja yang internasional yang classifier standar internasional," ucapnya.

Lebih lanjut, Christopher mengungkapkan bahwa kendalanya saat ini yaitu minimnya sumber daya manusia yang memiliki international classifier. Padahal, pada gelaran Asian Para Games nanti ada sekitar 3.300 atlet. Sementara INAPGOC baru mempunyai 1.100 petugas.

"Karena ini selevel di bawah Olimpiade, jadi atlet yang datang itu yang high class. Dari 1000 itu, malah 300-nya tuna netra visual impairment. Alat-alatnya itu cukup ribet mengadakannya. International classifier untuk visual itu cuma 13 orang dan    semuanya dari luar negeri seperti Eropa, Amerika, Jepang dan Hong Kong. International classifier itu harus berlatar belakang dokter mata atau optometris, di mana optometris di Indonesia tidak mengenal nomenklaturnya," tuturnya.