Perawat, Politik, dan Pelayan yang Tak Terlayani

Ilustrasi perawat.
Sumber :

VIVA – Melihat sepak terjang profesi perawat dalam kacamata Indonesia, maka yang kita temui adalah jumlahnya yang banyak, namun tak memiliki power dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan jumlah perawat yang banyak tersebut, hanya terlihat sebagai pelengkap di tanahnya sendiri. Perawat dipandang sebelah mata dalam konteks kebijakan-kebijakan politik.

Coba kita tengok bagaimana perawat harus membutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa meloloskan RUU Keperawatan dari meja parlemen. Padahal, kebutuhan akan RUU itu penting guna melindungi dan meningkatkan sumber daya manusia keperawatan serta menjamin kualitas pelayanan terhadap pemakai jasanya.

Apa yang menjadi problem dari profesi ini tentu jawabannya adalah percaturan politik Indonesia. Di mana perawat dengan jumlah yang besar, tetapi hanya sekadar dihitungan dan tidak diperhitungkan. Adanya sebuah upaya dari organisasi Persatuan Perawat Indonesia (PPNI) guna meracik formula politik perawat. Namun, sampai saat ini masih dibilang tingkat keberhasilannya sangatlah rendah.

Racikan yang diramu oleh PPNI hanya pada daunnya, bukan pada akarnya. Persoalan hari ini adalah generasi perawat di setiap institusi sama sekali tidak dibekali dengan pengetahuan politik. Mereka cenderung individualis daripada organisatoris. Mereka hanya didoktrin untuk menjadi pelayan dengan upah rendah, tetapi tidak didoktrin untuk bagaimana diperlakukan setara dalam persoalan upah. Bagaimana mereka bisa memperjuangkan keringatnya yang banyak berceceran untuk dihargai seharga dengan banyaknya keringat yang telah mereka keluarkan.

Mereka hanya didoktrin dengan berbagai tuntutan akan pelayanan yang prima. Tetapi mereka tak diajarkan untuk menyampaikan tuntutan mereka sendiri. Jika mereka berkata ini profesi yang mulia, terkadang saya berpikir kalau perawat juga manusia.

Generasi perawat diperkenalkan dengan risiko yang mereka hadapi. Profesi ini memiliki risiko tertular segala jenis penyakit karena kontak langsung dengan sumbernya. Bahkan, pelayanan perawat berlaku 24 Jam tanpa henti. Tak kenal mana Idul Fitri, Nyepi, ataupun Natal, mereka tetap bersiaga dan rela untuk tidak merasakan indahnya merayakan hari besar keagamaan yang Tuhan-Nya sendiri perintahkan.

Sehingga, patut kita apresiasi bersama bahwa perawat sebagai sebuah profesi yang memiliki waktu kontak yang paling banyak dibanding dengan tenaga kesehatan manapun. Padahal jika kita bandingkan dengan profesi lain yang lebih menjanjikan, seperti guru dan TNI serta Polri, perawat termasuk salah satu profesi dengan pendapatan paling terendah di Indonesia, namun mempunyai risiko yang tinggi.

Hal ini diakibatkan oleh sistem pendidikan perawat yang menuntut perawat hanya sekadar menjadi pelayan yang tak terlayani. Lihat saja bagaimana kakunya sejumlah institusi keperawatan yang bahkan melarang mahasiswanya untuk berorganisasi. Belum lagi kurikulumnya yang hanya membahas soal melayani dan melayani. Sehingga tak heran jika seluruh generasi perawat yang diluluskan hanya bercita-cita bekerja di Rumah Sakit dengan status Pegawai Negeri Sipil.

Mereka tak diajarkan untuk melihat sisi lain yang akan mengangkat profesinya dari jurang ketertindasan dalam sistem pelayanan kesehatan ala Indonesia, dimana tuntutan besar gaji kecil. Bagaimana bisa negera menuntut banyak dari perawat berupa pelayanan yang ramah, dengan gaji yang rendah? Bagaimana mereka bisa memikirkan pelayanan yang ramah, jika kehidupan yang diberi negara padanya tak ramah?

Oleh sebab itu, sudah saatnya perawat mendidik generasinya melihat tuntutan yang ada, dirinya sendiri, dan apa yang negera tuntut darinya. Ingat, bahwa perawat juga manusia yang butuh sejahtera untuk bisa tersenyum ramah. Walaupun terkadang tidak sejahtera pun mereka masih bisa tersenyum ramah. Namun, di balik senyumnya itu, banyak beban kehidupan dari segi finansial.

Karena itulah, PPNI harus meramu kembali pola politik transaksional atau perdagangan politik yang selama ini mereka artikan untuk bisa dievaluasi kembali dengan diubah polanya. Yaitu perbaikan internal dengan mensolidkan perawat-perawat produk pendidikan individualis dan membangun kesadaran akan kepentingan profesi yang membutuhkan kerja kolektif. Serta ingatkan kepada mereka, bahwa perawat adalah profesi yang sering menjadi korban dari percaturan politik, Di mana lahirnya berbagai undang-undang ataupun peraturan-peraturan pemerintah.

PPNI juga harus turun tangan memperbaiki persoalan yang ada pada akar. Yaitu generasi perawat yang selama ini dicetak menjadi perawat individualis dan alergi politik, sembari tetap memacu kompetensi perawat untuk lebih baik guna menjalankan tugasnya. (Tulisan ini dikirim oleh Abd. Rasyid Tunny, Dosen STIKes Maluku Husada)