Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Demo kepala desa, lurah, di depan gedung DPR.
Sumber :
  • ANTARA/Widodo S Jusuf

VIVA – Pemilihan Kepala Daerah seperti gubernur hingga jajaran terkecil berupa pemilihan kepala desa adalah ajang masyarakat untuk memilih siapa pemimpin yang terbaik dari sisi kualitas kepemimpinan, kinerja, background, program, hingga visi dan misi calon kepala daerah tersebut.
 
Maka, harapan masyarakat satu-satunya terhadap kepala daerah seperti kepala desa adalah tentang siapa dan bagaimana usahanya dalam membangun atau memberdayakan warga. Didorong keinginan untuk perubahan itu, maka menjadi ajang kompetisi yang sangat menggembirakan sekaligus yang paling demokratis di salah satu desa Kabupaten Mandailing Natal, tepatnya Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, Sumatera Utara pada pemilihan kepala desa 2017 tahun lalu.
 
Bayangkan saja, betapa kegembiraan demokrasi telah dirasakan warga Lumban Dolok ketika itu. Dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 3.199 orang ternyata berhasil mengantarkan H. Muammar Nasution Al Hafiz menjadi kandidat termuda (bahkan masuk kategori kepala desa termuda di Kabupaten Mandailing Natal) terpilih secara mutlak dengan kemenangan 1.800-an suara dari dua rival politiknya.
 
Perjalanan menjadi seorang kepala desa ternyata tidak semulus yang dibayangkan. Dalam setahun, kepemimpinan kepala desa alumni Darul Ulum, Muara Mais, jebolan Mekkah ini banyak diganjal oleh orang-orang yang mungkin saja berhasrat untuk menjatuhkannya.
 
Tidak heran kemudian bahwa gaji sebagai kepala desa yang seharusnya menjadi haknya H. Muammar sebagai perangkat desa dengan penghasilan tetap setiap bulan bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam APBD Kabupaten/Kota sama sekali tidak pernah ia terima.  
 
Padahal semestinya, sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014  menyebutkan “Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berhak menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan, dan mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan.” Demikian bunyi Pasal 26 Ayat (3c,d) UU No 6/2014.
 
Selain dari hal tersebut di atas, alokasi dana desa seperti yang diamanatkan UU ternyata tidak sampai mengucur ke wilayah Lumban Dolok. Ini tentu menjadi pertanyaan serius yang harus dijawab, mengingat jumlah penduduk yang tidak sedikit di wilayah tersebut.
 
Belum lagi selesai satu persoalan, maka persoalan lain kembali muncul, dimana pengusung kepala desa  seperti halnya salah satu guru, Parwis Nasution yang secara tiba-tiba saja dipindah tugaskan alias dimutasikan ke SMPN Natal yang tentu saja cukup jauh dari tempat biasa ia mengajar yaitu di SMPN Kecamatan Siabu.
 
Walau pada akhirnya Alamulhaq Daulay, SH selaku Asisten 1 Bupati Mandailing Natal telah memberikan jawaban bahwa Surat Keputusan atas pemberhentian Kepala Desa atas nama H. Muammar akan dicabut.
 
“Seterusnya, mutasi kepada guru pengusung kepala desa tersebut akan dikembalikan kepada tempat tugas di mana biasanya ia mengajar,” ujar Asisten 1 Bupati, pasca demonstrasi dari ribuan masyarakat Lumban Dolok yang memblokade Jalan Lintas Sumatera, 21 Februari 2018.
 
Dari fenomena tersebut, maka wajar kemudian asumsi-asumsi liar mulai bermunculan di masyarakat. Seperti dikaitkannya dengan masalah tambang timah Hhitam dari PT. BME yang ingin mengelola dan menguasai wilayah tersebut.
 
Kekhawatiran ini bisa saja terjadi jika kepala desa tersebut telah diganti. Padahal, secara tegas bahwa masyarakat telah menolak kehadiran dan keberadaan operasionalnya tambang itu sejak tahun 2012 silam dengan membubuhkan ribuan tandatangan pernyataan komplain kepada bupati saat itu.
 
Maka sebagai tanggung jawab pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Mandailing Natal, Dahlan Hasan Nasution, mesti lebih arif menyikapinya jika tidak ingin masalah berlarut hingga menjadi puncak gunung es. Pemerintah harus menjaga ketentraman dan kenyamanan warga, bupati harus berbuat sesuai aturan hukum yang berlaku bukan bentuk kesewenang-wenangan.
 
Upaya hadirnya pemerintah dalam menjawab tuntutan warga harus lebih konkrit dan tidak sebatas janji, tetapi  harus dijawab sesuai dengan surat, berupa pembatalan keputusan pemberhentian kepala desa Keputusan Bupati Mandailing Natal Nomor: 14/0068/K/2018. Pada akhirnya, jalan tahkim atau damai merupakan sebuah jawaban atas persoalan ini. Tidak lagi perlu mengedepankan ego dan aspek politik apalagi sampai melakukan pembusukan untuk mengorbankan harapan masyarakat.
 
Semoga upaya rekonsiliasi Desa Lumban Dolok mencapai titik temu agar pembangunan secara fisik dan non fisik apalagi membangun Kampung Alquran dapat terwujud sesuai dengan visi dan misi kepala desa yang hafiz itu. Selanjutnya, hal ini menjadi pelajaran berharga tidak hanya untuk Desa Lumban Dolok,  Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, tetapi berharap bahwa pengelolaan instansi dan bangsa ini lebih beradab untuk Indonesia bermartabat. (Tulisan ini dikirim oleh Rahmat Kurnia Lubis, Mandailing Natal)