Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?
- Dok. Istimewa
VIVA – Ada kisah menarik yang melibatkan seseorang yang nama besarnya tercatat sepanjang masa. Kisah masyhur ini ditulis dalam kitab Hilyatul Awliya, karya Ahmad bin ‘Abdillah al-Ashbahani.
Alkisah, suatu ketika sepupu Rasulullah SAW, sayidina Ali bin Abi Thalib, pernah kehilangan baju besi kesayangannya. Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja, sewaktu mengunjungi pasar, Ali yang waktu itu sudah jadi khalifah, melihat baju besinya sedang dijajakan pedagang yahudi.
Tentu saja Ali terperanjat. Ia yakin bahwa yang sedang ditawar-tawarkan itu, baju besi kesayangannya. Maka tanpa buang waktu, Ali menghampiri si pedagang Yahudi tadi. “Ini baju besiku yang beberapa hari lalu terjatuh dari untaku. Bagaimana ceritanya bisa ada di tanganmu? ”
Serta merta, Yahudi ini membantah. Ia ngotot mengatakan itu baju besi miliknya. Terjadilah perdebatan. Sampai singkat cerita, akhirnya, Ali dan Yahudi tadi bersepakat meminta keadilan di depan Mahkamah Pengadilan.
Syahdan, yang kala itu menjadi hakim adalah Syuraih. Ketika sidang digelar. Ali berkata, Wahai hakim ini baju besiku yang terjatuh. Lalu orang Yahudi ini mengambilnya.”
Syuraih lantas bertanya lagi, “Bagaimana menurutmu, wahai fulan bin fulan?”
Yahudi tersebut berkata, “Bukan! Baju besi ini milikku.”
Syuraih berkata, “Demi Allah, jika kamu benar wahai ‘Amirul Mukminin, dan baju besi ini adalah baju besimu, hadirkanlah dua orang saksi.
Lalu tak seberapa lama kemudian, Ali memanggil dua saksi. Saksi yang pertama diterima keterangannya. Saksi kedua ditolak hakim.
Lalu hakim berkata, Aku tidak meragukan kejujuranmu, wahai Amirul Mu’minin, akan tetapi engkau tetap harus mendatangkan dua saksi yang bisa bersaksi bahwa baju besi itu milikmu.”
Ali pun berencana mendatangkan anaknya, Hasan, sebagai saksi. Syuraih menjawab bahwa menjadikan anak sebagai saksi dalam persidangan adalah hal yang dilarang. Ali meyakinkan hakim bahwa Hasan orang yang bisa dipercaya dan ia sangat mengenal baju besi ayahnya. Tapi Syuraih tetap tegas menolak.
Selain Hasan, Ali tak punya saksi lain.
Akhirul kalam, Ali pun rela melepas baju besi kesayangannya. “Ambil saja,” kata Ali kepada orang tersebut, disebabkan Ali tak punya saksi. khalas. Selesai. Ali beranjak.
Yahudi itu terkejut atas sikap Ali. Ia tak menyangka kalau Ali akan begitu tiba-tiba mengikhlaskan baju besinya. Bukankah Ali seorang khalifah perkasa dan sangat berpengaruh? Bukankah Ali dikenal sebagai orang tangguh yang tak gampang menyerah?
Akhirnya, orang Yahudi tadi, di depan Hakim, berkata kepada Ali, “Engkau benar! Aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin.” Ia mengembalikan baju besi itu.
Singkat cerita, atas peristiwa itu Yahudi tadi masuk islam.
Kisah ini menurut saya luar biasa. Tak terbayangkan, bagaimana jika dulu, Ali yang khalifah berpengaruh, memilih cara paksa untuk merampas baju besi dari tangan si Yahudi? Dan ia punya power untuk itu.
Atau paling lunak, bisa dibayangkan bagaimana jadinya, jika Ali melakukan penggalangan opini sebagai strategi untuk menyudutkan si Yahudi? Toh ia seorang khalifah, sahabat Rasul yang terpuji. Se jazirah arab, pasti lebih percaya kepadanya daripada kepada Yahudi itu.
Sebaliknya, saya juga membayangkan apa jadinya juga, jika si Yahudi tadi bertahan pada kebohongannya. Ia pasti bakal mendadak tenar, karena bisa mengalahkan khalifah di Mahkamah Hukum.
Atau paling lunak, saya juga tak membayangkan bagaimana jadinya, jika si Yahudi tadi terus menerus meretas penggalangan opini public untuk mendeskreditkan Ali sebagai khalifah yang curang? Wah, pastilah ia bakal mendadak tenar.
Tapi mungkinkah si Yahudi melakukan itu? Mungkin sekali, toh di masa itu Yahudi juga punya komunitas yang solid, punya relawan. Militan, bahkan!
Tapi Ali dan Yahudi itu tidak mengambil jalan seperti yang saya bayangkan. Ali tidak membangun opini public sebagai strategi untuk menebar kebencian terhadap lawannya. Pun si Yahudi, dia tidak kepikiran cari popularitas lantaran bisa melawan khalifah.
Padahal, meski di zaman itu belum ada medsos, saya yakin Ali bisa dengan mudah menggalang opini. Si Yahudi juga sama.
Tapi itulah, contoh kematangan dua anak manusia di zamannya. Mereka tahu bagaimana semestinya menyelesaikan masalah! Tahu bagaimana seharusnya bersikap. Dan tahu pula sikapnya harus bagaimana.
Kalau saya sampai teringat pada kisah klasik itu, bukan semata karena kisah ini seru dan menyangkut nama orang besar. Tapi juga lantaran kisah di atas bisa menjadi iktibar untuk melihat bagaimana carut marutnya, orang zaman now membangun strategi menang-menangan.
Kisah semacam ini bisa menjadi oase di tengah era yang mengombang-ambing kebenaran. Era yang disebut-sebut dengan istilah post truth.
Cerita baju besi tadi, nampak banyak kontrasnya dengan apa yang terjadi di era ini.
Era post-truth, orang cenderung merasa halal menggunakan media sosial dalam rangka menggalang dukungan atas pikiran dan perasaannya. Urusan apa pun diposting. Karena lewat posting di medsos itu, pikiran, perasaan dan keluh kesahnya akan ditanggapi, dinilai, dikembangbiakkan sampai viral. Semua itu dipandang halal, meski tanpa uji kebenaran.
Di Medsos orang bisa membangun musuh, perghibahan dan sekaligus pengadilan bersama dalam rangka mencapai kebenaran subyektif. Inilah wadah yang membuat kapitalisasi kebenaran subyektif terlihat lebih seksi ketimbang fakta.
Fakta bisa dibungkam oleh narasi. Fakta sudah sulit berbicara, karena “omon-omon” lebih leluasa merekayasa fakta. Maka jangan heran kalau hoax hari ini tidak pernah kehilangan muka.
Orang bisa seru-seruan – bahkan berlomba -- cepet-cepetan menebar berita tak jelas, tanpa punya secuil pun tanggung jawab moral. Perkara di kemudian waktu berita itu ternyata hoax, ya sudah. Biarkan saja. Sepelekan saja. Meski isu yang dikapitalisasi tadi sudah menggelontor ke tujuh penjuru angin.
Tanpa kejelasan apapun, netizen hari ini merasa tanpa beban, menebar kebencian atas apa yang ia rasakan mengganjal. Meski kebencian subyektif ini, tidak berbasis fakta sama sekali.
Seseorang dipandang sah melampiaskan tendensi dan rasa melankoliknya. Kebencian atau pemujaan terhadap apa saja. Baik itu terhadap pemerintah, terhadap Partai pemenang pemilu, terhadap calon Presiden jagoannya atau lawannya, terhadap Presiden terpilih, suku, agama, pokoknya benci atau kagum terhadap apa sajalah, bisa diolah-olah! Dia nggak mikir kalau pelampiasan emosionalnya – bisa saja dipercaya orang lain.
Hoax telah mempertebal banalitas kebohongan – yang menganggap kebohongan sebagai hal yang biasa. Ia telah mengikis moralitas kejujuran. Ironisnya, inilah yang sekarang menjadi penyedap informasi, terutama yang terkait kehidupan sosial politik.
Tentu saja rentetan fakta ini bukan hendak mengatakan kalau Medsos tak punya manfaatnya. Tidak!
Tapi jika yang banyak dipertontonkan di dunia medsos, tidak jauh dari berita palsu, banalisasi kebohongan, rasanya kok eman. Memprihatinkan. Terutama karena ia bisa membuat omon-omon dengan gampangnya merekayasa seribu fakta.
Menyedihkan kan?
Lalu, keumatan dan kebangsaan kita ini mau dibawa ke mana?
(Ditulis oleh Idrus Marham, Politisi Golkar)