Pembelian Impulsif di Balik Keranjang Belanja Konsumen

motivasi pembelian dibalik keranjang belanja konsumen
Sumber :
  • vstory

VIVA – Lorong-lorong supermarket bak labirin tanpa ujung. Panjang, berkelok memanjakan mata. Jejeran rak, cahaya lampu, warna-warni produk, sukses menghipnotis setiap konsumen yang berkunjung. Pusat perbelanjaan modern itu memberi kepuasan maksimal namun semu.

Sri Mulyani Ungkap APBN Surplus Rp 8,1 Triliun hingga Maret 2024

Suatu sore, sepulang kerja, Kayla (31) mampir ke supermarket, niatnya sederhana, hanya ingin membeli sabun mandi. Namun sesampainya di kasir, baru disadari bahwa keranjang kosongnya telah penuh membludak. Awalnya, dia mungkin termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar (seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan). Namun, setelah kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, fokusnya bergeser ke kebutuhan yang lebih tinggi di piramida Maslow.

Teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow menggambarkan kebutuhan manusia dalam bentuk piramida, mulai dari kebutuhan fisik dasar di bagian bawah hingga kebutuhan untuk aktualisasi diri di puncak. Di tengah piramida, ada kebutuhan sosial, termasuk kebutuhan untuk pengakuan dan penghargaan, yang dikenal sebagai kebutuhan esteem. Dalam konteks sosial dan ekonomi saat ini, kebutuhan menjadi landasan motivasi segala perilaku manusia. Setiap tindakan yang dilakukan berlatar belakang kebutuhan tertentu, seperti cerita Kayla seorang executive muda yang cukup sukses.

5 Trik Biar Uang THR Gak Habis Buat Keperluan Lebaran

Kisah Kayla, yang mungkin tampak sederhana, sebenarnya menyajikan wawasan mendalam tentang alasan psikologis yang mendorong perilaku impulsif. Fenomena pembelian impulsif ini merupakan aspek yang umum dalam kehidupan sehari-hari konsumen. Farid dan Ali (2018) dalam “Effects of Personality on Impulsive Buying Behavior”, menemukan bahwa beberapa aspek kepribadian dapat memiliki pengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap pembelian impulsif, yang menunjukkan bahwa selain faktor eksternal, aspek internal seperti kepribadian juga berperan dalam mendorong perilaku pembelian impulsif.

Kisah ini mengeksplorasi bagaimana dan mengapa seseorang mungkin merasa terdorong untuk membeli produk dalam jumlah besar secara tiba-tiba, tanpa pertimbangan yang matang atau proses berpikir yang panjang. Dalam konteks ini, keputusan untuk melakukan pembelian cenderung didasarkan lebih banyak pada emosi dan perasaan daripada logika atau pemikiran rasional. Kebiasaan seperti itu sering kali dipicu oleh daya tarik sesuatu yang secara instan menarik perhatian atau membangkitkan keinginan. 

Lebaran Pengeluaran Membengkak? Ini 7 Tips Menyiasatinya Biar Lebih Hemat

Cerita Kayla menyoroti dinamika menarik antara pencapaian pribadi dan tindakan konsumsi yang terkadang tidak terduga. Dalam masyarakat yang sering mengaitkan kesuksesan dengan pemberian reward kepada diri sendiri, momen-momen pencapaian seperti promosi atau penerimaan bonus menjadi pemicu untuk "memanjakan" diri. Bukan hanya tentang membeli kebutuhan, tapi lebih tentang memberi penghargaan kepada diri sendiri atas kerja keras dan dedikasi.

Kunjungan Kayla ke supermarket secara simbolis merepresentasikan bagaimana mudahnya kita tergelincir dari tujuan awal kita ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan godaan. Supermarket, dengan segala kemilau dan tawarannya, bisa menjadi simbol dari dunia konsumsi yang lebih luas, di mana individu terus-menerus dihadapkan pada pilihan antara kebutuhan dan keinginan.

Rayuan promosi dan diskon, memacu adrenalin, memunculkan hormon dopamin hingga akhirnya "menemukan kesepakatan", sebuah sensasi yang pada akhirnya memperkuat keputusan untuk terus menambah barang belanjaan. Setiap tawaran promosi dan diskon tidak hanya memengaruhi logika konsumsinya. Bagi Kayla, keinginan untuk meraih kesenangan ataupun kepuasan instan, bereaksi terhadap kondisi emosionalnya saat stres, bosan, atau keinginan untuk merayakan, telah mendorong jauh dari daftar belanja awalnya. 

Selain itu, strategi penempatan produk, desain mirip labirin memaksa konsumen berputar-putar berjalan melewati banyak rak produk lain sebelum sampai pada rak barang yang diperlukan, mendorong aksi pembelian terhadap barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Ditambah lagi, alunan musik yang menenangkan, ruangan yang nyaman, adem, membuat lupa waktu. Setiap elemen tampaknya dirancang untuk memanipulasi psikologi pembeli, menjanjikan kesepakatan yang tidak bisa ditolak. Meskipun di awal, Kayla telah bertekad untuk tidak teralihkan, namun semakin dalam dia menyelami labirin tersebut, ia tersesat dalam desain supermarket yang cerdik, membuat batas antara kebutuhan dan keinginan semakin bias. 

Pembelian impulsif Kayla bukanlah kebetulan, tetapi hasil dari lingkungan belanja yang terkalkulasi dengan cermat untuk mengoptimalkan pembelian impulsif. Dalam Normative Influences on Impulsive Buying Behavior oleh Rook dan Fisher (1995), mengeksplorasi bagaimana pengaruh normatif dapat mendorong perilaku pembelian impulsif. Menyiratkan bahwa evaluasi internal terhadap pembelian impulsif sebagai hal yang baik atau buruk dapat sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan pengalaman pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa pembelian impulsif tidak hanya dapat membawa dampak finansial tetapi juga dapat mencerminkan konflik nilai dalam individu terkait dengan konsumsi.

Bahkan Muruganantham dan Bhakat (2013) dalam “a Review of Impulse Buying Behavior”, menyoroti bagaimana pembelian impulsif dapat menyebabkan penyesalan dan dampak negatif lainnya. Penelitian ini menegaskan bahwa pembelian impulsif sering kali tidak direncanakan dan dapat berakibat pada kepuasan pasca pembelian yang rendah serta konsekuensi finansial negatif. Alih-alih self reward, pembelian impulsif justru menjebak konsumen dalam situasi yang buruk. 

Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan, di antaranya boros secara finansial karena kebiasaan membeli barang-barang yang kurang penting membuat kebutuhan utama tanpa sadar dikesampingkan, menambah tumpukan barang belanjaan yang tidak digunakan, dan kesulitan merencanakan keuangan akibat pengeluaran tak terduga. Sehingga penting bagi kita untuk dapat mengontrol diri dalam mengelola pembelian impulsif, khususnya dalam era digital di mana kemudahan akses terhadap barang dagangan lebih tinggi.

Kembali ke kisah Kayla di supermarket, yang merupakan cerminan dari dinamika kompleks antara motivasi pembelian konsumen dan taktik pemasaran perusahaan. Menghadapi kenyataan ini, penting bagi konsumen seperti Kayla untuk mengembangkan strategi mengelola dorongan pembelian impulsif. Teknik mindfulness saat belanja, seperti yang dituliskan oleh Haws (2016) dalam “Enhancing Self-Control in Consumer Decisions”, yaitu seperti menyusun daftar belanja sederhana dapat menjadi langkah awal yang penting dalam menerapkan kontrol diri. Dengan menetapkan anggaran juga membantu memperkuat keputusan untuk tidak melakukan pembelian yang tidak dibutuhkan. Penggunaan aplikasi pengaturan anggaran juga berguna untuk dapat melacak pengeluaran dan menyoroti kebiasaan pembelian.

Dari Teori Perilaku Pembeli oleh Howard dan Sheth (1969), kita memperoleh pemahaman tentang bagaimana motivasi sosial dan perubahan dalam nilai-nilai lingkungan dapat memengaruhi perilaku pembelian. Kunci dari perubahan perilaku ini sering terletak pada mengidentifikasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan motif yang diciptakan oleh lingkungan sosial, yang menekankan peranan lingkungan sosial dalam membentuk kebiasaan pembelian. Hal tersebut juga berkaitan dengan teori Konsumsi Berkelanjutan oleh William Young et al. (2010), di mana kita dapat mengeksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku konsumen berkelanjutan dan bagaimana individu dapat mengarahkan perilaku pembelian mereka untuk menjadi lebih ramah lingkungan. 

Berbagi cerita sukses dari individu yang berhasil mengubah kebiasaan pembeliannya, menawarkan inspirasi dan bukti bahwa perubahan adalah mungkin. Mereka yang telah melalui perjalanan ini seringkali menemukan kepuasan, tidak hanya dalam penghematan uang tetapi juga dalam kebebasan dari keinginan konsumtif yang tidak perlu. Oleh karena itu, kita perlu mengulik cara mencegah pembelian impulsif melalui pengendalian diri, membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Sehingga kita dapat membuat keputusan pembelian yang lebih prioritas dan bijaksana.

Dengan memahami motivasi di balik pembelian impulsif dan strategi pemasaran yang digunakan, kita dapat memilih untuk mengejar apa yang benar-benar kita nilai perlu, bukan sebatas apa yang diinginkan pada saat itu. Memahami motivasi ini penting bagi konsumen untuk membuat keputusan pembelian yang bijaksana dan bagi perusahaan untuk merancang strategi pemasaran yang bertanggung jawab. Hal ini bukan sekedar menghindari pembelian impulsif, tetapi juga untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, antara kepuasan seketika dan kebahagiaan jangka panjang.

Refleksi, kesadaran diri, dan perencanaan, sebagai konsumen dipastikan mampu menavigasi hasrat berbelanja yang terus mendorong kita untuk menginginkan lebih. Saat pasar bebas menawarkan pilihan tanpa batas, kekuatan terbesar kita terletak pada kemampuan untuk memilih, tidak hanya apa yang kita beli, tetapi juga apa yang kita nilai. Dengan pilihan yang tepat dapat membantu menjaga keseimbangan antara memenuhi kebutuhan dan tergoda oleh keinginan sesaat.

Tidak kalah penting, perlunya menerapkan konsep self-rationing oleh Wertenbroch (2001), sebagai bukti kontrol diri oleh konsumen, dimana konsumen secara aktif membatasi pilihan mereka sendiri untuk menghindari kelebihan konsumsi. Kita harus mengetahui kapan self reward dilakukan dan ditetapkan waktunya, sehingga tidak terjebak dalam aktivitas impulsif berkedok self reward

Kesimpulannya, kemampuan untuk merenungkan, menyadari kebutuhan versus keinginan, dan merencanakan dengan cermat adalah kunci untuk mengelola hasrat berbelanja dalam cara yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Teori-teori di atas menawarkan wawasan tentang bagaimana individu dapat meningkatkan kontrol diri dan memperkuat kemampuan untuk membuat pilihan yang sejalan dengan nilai dan tujuan pribadi agar tidak terjebak keinginan sesaat.

Dengan menerapkan pemikiran ini, kita dapat memprioritaskan kebutuhan nyata dan mengurangi pembelian yang tidak perlu, mendukung kehidupan yang lebih berkelanjutan. Bukan hanya tentang menghemat uang, tapi juga tentang memilih gaya hidup yang berdampak positif pada diri sendiri dan lingkungan. Melalui introspeksi dan pilihan yang lebih sadar, kita dapat membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan, menjaga keseimbangan antara kepuasan sekarang dan kesejahteraan jangka panjang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.