Krisis Karakter di Dunia Pendidikan

Ilustrasi anak sekolah.
Sumber :
  • Pixabay/Public domain pictures

VIVA.co.id – Di Indonesia, dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semagat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015. Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.

Balitbang Kemendiknas telah menyusun grand design pendidikan karakter (2010). Di sana dijelaskan bahwa secara psikologis dan social cultural, pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam olah hati (spiritual and emotional development) , olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik  (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

Dalam catatan tambahannya dijelaskan bahwa ada lima nilai yang diharapkan menjadi nilai minimal yang dikembangkan di setiap sekolah. Yaitu nyaman, jujur, peduli, cerdas, dan tangguh/kerjakeras. Sekolah dan guru dapat menambah atau pun mengurangi 18 nilai-nilai yang telah terincikan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah.

Ketika tujuan pendidikan Indonesia adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa. Tetapi justru banyak kebijakan dalam dinamika dunia pendidikan justru kontradiktif. Misalnya, aktivitas yang mengarah pada liberalisasi perilaku difasilitasi sementara kegiatan rohis dan keagamaan dicurigai bahkan dilarang. Konten pelajaran yang mengarah pada pemahaman Islam kafah dihilangkan, sementara konten liberal dan  merusak moral secara vulgar dibiarkan.

Upaya pembungkaman rohis dan aktivis dakwah di sekolah, pesantren dan masjid kampus dilakukan secara masif, sementara kegiatan-kegiatan hedonis disemarakkan. Terlebih lagi, sebenarnya akar persoalan adalah karena sekulerisme yang menggurita. Sebaik apapun orangnya, sesantun apapun perilaku pelaksana Negeri ini, bila rusak sistemnya maka mereka tidak akan mampu mengubah wajah bangsa.

Penerapan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis sesungguhnya merupakan masalah dasar munculnya berbagai persoalan. Termasuk di dalamnya yang terkait dengan karakter manusia dan aturan yang dibuatnya. Berbagai tindakan buruk manusia lahir dari cara pandang terhadap kehidupan dan adanya aturan yang lahir dari cara pandang tersebut.

Saat bangsa ini menganut sistem demokrasi yang bertumpu pada empat pilar kebebasan. Yakni kebebasan bertindak, berpendapat, bebas mengeksploitasi sumber daya alam, kebebasan beragama, yang terangkum dalam HAM, maka bisa kita saksikan dan rasakan bahwa aturan yang diterapkan di tengah masyarakat adalah aturan yang liberal.

Dunia gelap remaja, semisal bisnis dan konsumsi narkoba. Barang haram ini tidak diberantas seutuhnya karena dipandang sebagai benda ekonomis sepanjang masih ada orang yang membutuhkannya dan ternyata menguntungkan. Pergaulan bebas tidak serius dilarang, mengingat bahwa persoalan ini masuk dalam ranah individu yang mempunyai hak asasi manusia untuk melakukan apa saja yang disukainya.

Pornografi-pornoaksi, cenderung dilegalkan karena memberi keuntungan pada pendapatan individu masyarakat maupun negara dengan pajaknya. Dan segudang problem lain, termasuk dalam hal pelaksanaan hak beragama. Kasus semisal ahmadiyah, aliran sesatnya Lia Eden, cuci otak ala NII, dan aliran sesat lainnya tidak kunjung tuntas dan telah membawa banyak korban.

Bila pendidikan dijadikan tumpuan untuk membangun karakter bangsa unggulan. Sementara sistem besar yang menjadi pilar tegaknya pendidikan ini berorientasi pada sekularisme dan kapitalisme, akankah berhasil? Jawabnya tentu tidak. Tumpuan ini begitu rapuh. Orientasi pendidikan sudah dibalut kepentingan ideologi kapitalistis. Bagaimana bisa dilawan dengan gerakan moral yang berbasis pada pilar bangsa yang nyatanya juga sekuleris?

Pencanangan pendidikan karakter kebangsaan, di samping tidak akan menyelesaikan persoalan juga menjadi bukti adanya upaya pelanggengan ideologi sekulerisme di negeri ini. Pendidikan yang selama ini menjadi pintu masuknya pemahaman justru makin terkuasai oleh sekulerisme. Pendidikan dalam pandangan Islam kafah sudah diatur secara sempurna. Lalu akankah kita umat Islam masih akan menerima konsep pendidikan di luar Islam? Padahal, Allah SWT telah memperingatkan dalam Alquran.

“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai  daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”(QS. At Taubah:24)

Begitu pula Allah SWT telah melarang kaum muslim mengikuti hukum yang tidak berbasis pada ideologi Islam alias hukum jahiliyah. Dan sebaliknya, memerintahkan untuk menerapkan Islam secara sempurna. Allah SWT berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah:50).

Membangun pendidikan karakter di luar konsep kepribadian Islam hanyalah upaya tambal sulam dari rusaknya sistem kehidupan yang sekuler. Sungguh, hal itu tidak akan memperbaiki persoalan. Justru menambah persoalan baru karena mengokohkan sekulerisme ideologi yang bertentangan dengan Islam.

Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh generasi ini adalah pendidikan berbasis karakter yang sahih.  Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang pernah membangun sebuah peradaban maju telah memberikan aturan membangun pendidikan yang sahih. Pendidikan yang dibangun oleh Islam terbukti menghasilkan generasi yang mampu membangun peradaban maju dan kuat.

Sistem pendidikan Islam tersebut menitik beratkan pada terbentuknya karakter kepribadian Islam, bukan semata-mata pembelaan kepada bangsa. Pendidikan yang bertujuan membentuk karakter kepribadian Islam tentu berbeda dengan karakter kebangsaan. Sebab, karakter kepribadian Islam dibangun berdasarkan aqidah Islam. Yang dihasilkan adalah generasi yang memiliki sudut pandang dan pemikiran yang sahih (Islami) dan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan Sang Khalik.

Hal ini sangat penting. Mengingat kunci dari semua persoalan bangsa adalah benarnya aturan dan kebijakan yang diterapkan. Dan itu dapat terwujud hanya melalui proses pendidikan yang sahih. Pendidikan Islam tidak saja menghasilkan generasi yang benar dalam sikap dan pemikiran, namun juga semangat yang tinggi dalam menguasai ilmu-ilmu terapan (ilmu pengetahuan dan teknologi). Hal ini sangat penting untuk membawa bangsa keluar dari krisis multidimensi yang disebabkan oleh lemahnya penguasaan Iptek sehingga bergantung pada negara asing.

Pendidikan Islam tidak akan mencetak generasi yang anarkis, meski untuk melawan kezaliman penguasa sekalipun. Sebab, aqidah dan syariah Islam telah menetapkan metode yang sahih (benar) untuk membangun negara, peradaban dan masyarakat.

Bukti atas majunya bangsa yang menerapkan pendidikan Islam telah terukir dalam sejarah panjang kehidupan Daulah Khilafah Islamiyyah sejak Rasulullah SAW mendirikannya di Madinah, hingga kelemahannya di abad 19 M.  Sungguh, kaum Muslim terdahulu telah menerapkannya. Hanya saja mereka kini telah dibutakan oleh sistem kufur yang menutupi keluhuran sistem pendidikan Islam tersebut.

Sudah saatnya bangsa ini berpikir untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam. Inilah satu-satunya solusi untuk mengatasi berbagai persoalan menyangkut kualitas generasi. Umat Islam secara keseluruhan harus mencurahkan segenap tenaganya untuk mewujudkan tatanan kehidupan Islam. Itu semua dilakukan demi menyambut seruan Allah SWT. (Tulisan ini dikirim oleh Wahyu Titis L, S.Si, Apt, Pemerhati Pendidikan)