Black Swan atau Angsa Hitam, Janganlah Merisak Diri Sendiri

Ilustrasi Angsa Hitam (Foto/Pixabay)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Dari induk angsa, kadang tidak disadari telornya menetas entah kenapa ada yang hitam, anak angsa hitam.

Ini bukan labrador yang hitam, tapi angsa hitam. Ya ampun. Jadi si black swan ini akhirnya dirisak (bully). Sering pikiran kita itu gelisah, kemrungsung, geram pikiran kita bisa dirisak oleh otak sendiri menjadi black swan.

Ciri-cirinya adalah:

1. Saat Anda masuk diskusi Hitler, Holocaust, dan Yahudi. Ini adalah black swan. Pikiran yang dirisak.

Soal Hitler, dan abad 21 disebut Trump adalah black swan, pikiran yang rusak.

2. Saat Anda diskusi tentang aseng, asing, ahok, dan anti Cina. Ini black swan. Anda masuk diskusi tidak semua koruptor adalah Cina. Tokoh kemerdekaan adalah Sampek dan Ingtay. Apalagi masuk marganya ingtay. Ini black swan, pikiran rusak.

3. Pikiran Anda masuk ke radikal, HTI, FPI, dan IIDI (upsss bukan IDI) atau OKI organisasi kristen Indonesia atau OII organisasi Islam Indonesia. Ini pikiran black swan, pikiran Anda dirisak otak sendiri.

Agama apapun, Islam, Kristen, Haleluya, semua baik. Kalau tidak baik, pasti ke dokter berobat.

Kenapa masyarakat 200 juta tertinggal?

Ada sindrome black swan pada budaya Jawa. Karakter orang Jawa melarang orang menonjol, ojo ndisiki jangan mendului yang lebih tua, ojo gumun, ojo rumongso jangan sok.

Jadi yang ingin menonjol ditimpuk, istilah orang Jawa itu penonton menghakimi. Siapa yang menonjol dirisak dihancurkan, persis Mario Teguh. Kalo ada satu yang maju, seribu yang menyerbu, merajam. Dia diserbu, hajar, sakiti, dirajam. Itu rasanya puas. Entah ini gara-gara Kompeni. Atau Kempetai. Rasanya menghakimi masal itu puas.

Kalau di kalangan Tionghoa ada anak menyerang ayah, rakyat se Tiongkok menghukum anak. Di Jawa yang dibela yang dizolimi, si biang kisruhnya.

Dengan demikian black swan ini harus dihapus. Jangan bully yang ingin menonjol. Jangan merajam. Kalo sifat merajam ini terus dipelihara, sampai Via Vallen seumur Titik Puspa pun masyarakat takut maju.

Apa bisa?

Bisalah. Ada ilmunya. Disebut psikologi liberation. Pembebasan. Caranya melalui singularity. Miriplah Via Vallen, dia menunjukkan ketidak sempurnaan. Tidak joget luar biasa, sekadarnya, biasa saja. Tidak cantik ala Cita citata, biasa saja. (Ir. Goenardjoadi Goenawan, MM, Alumni IPB Teknologi Pangan, dan Magister Manajemen Universitas Indonesia Lulus 1989)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.