Merayakan Solidaritas Idul Fitri

Penulis : Lukman Hakim, Dosen Komunikasi IAIN Kediri, Wakil Ketua LPTNU Mojokerto
Sumber :
  • vstory

VIVA – Warna kemeriahan hari kemenangan Idul Fitri 1441 Hijriah, dirayakan dengan suka cita oleh umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Kumandangkan alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil mengudara penuh bahagia.

Suasana bahagia kini hadir dengan rasa berbeda dari tahun sebelumnya karena muncul virus corona. Idul Fitri merupakan puncak kemenangan umat Islam, setelah satu bulan ikhlas dan tulus menjalani rangkaian ibadah puasa Ramadhan.

Sebuah kemenangan dari ritus keagamaan yang menandai kesuksesan dan kesucian diri dari hawa nafsu. Sesuai namanya, kata id berarti kembali dan fitri bermakna suci. Singkatnya, umat Islam di puncak kemenangannya kembali pada fitrah, kembali pada keadaan semula sebagaimana bayi suci yang baru lahir.

Refleksi dari Cendikiawan Muslim, Komaruddin Hidayat (2003) relevan untuk menjadi perenungan bersama. Menurutnya, Idul Fitri bukanlah pesta anti klimaks untuk melepaskan godaan nasfu, setelah sebulan lamanya dikekang.

Lebih dari itu, Idul Fitri merupakan hari wisuda bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi, dalam upaya mengembalikan keseimbangan jiwa dengan memosisikan kekuatan hati nurani yang bersih sebagai alat untuk memegang kendali.

Ritus perayaan Idul Fitri menyelipkan pesan penting, bahwa sejatinya keyakinan teologis keagamaan masyarakat tidak saja menstimulasi kelahiran semangat ibadah secara vertikal, tetapi juga mampu menggerakkan spirit solidaritas horizontal antar sesama manusia.

Pada titik ini, umat Islam berada pada proses pencerahan batin dari segala kungkungan keakuan yang destruktif menuju kebersamaan yang konstruktif. 

Solidaritas

Kesucian yang telah diperoleh dengan latihan panjang sebulan penuh, harusnya memberi pelajaran penting ihwal solidaritas dan kebersamaan. Kondisi ekonomi yang lesu, ribuan buruh di-PHK, anak-anak tak bisa melanjutkan sekolah, dan cerita nestapa lain akibat terkepung virus corona.

Bagi yang memiliki cukup harta, saat inilah waktu yang tepat untuk menyegerakan derma sebagai bentuk kesalihan sosial. Sebaliknya, predikat serakah sepertinya tidak berlebihan, jika disematkan pada mereka yang memiliki harta berlimpah namun berdiam diri seolah buta dengan kondisi sosial yang menjepit.

Di antara yang menyesakkan dada, sebagian dari mereka justru dengan bangga memamerkan harta benda di tengah banyak orang dilanda kesengsaraan. Petikan hikmah dari Nabi Muhammad SAW, setidaknya menyadarkan kita pada pentingnya kebersamaan dalam masa sulit.

Sebuah pesan kepedulian dan kepekaan yang idealnya menjadi warisan Ramadhan. “Tidaklah mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.” Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Al-Adab Al-Mufrad. 

Melalui hadis tersebut, Rasulullah menegur umatnya yang bersikap acuh tak acuh dengan dua alasan mendasar. Pertama, tidak peduli terhadap orang yang kelaparan, sedangkan ia bisa merasakan kenyang dan mampu berbagi. Kedua, tidak peduli dengan tetangganya. Orang yang sehari-hari akrab dan tahu kemampuan ekonominya. 

Secara reflektif akan muncul pertanyaan yang harus dijawab. Jika kita sungguh menjadi pemenang, bukankah langkah kaki dengan sendirinya menolak ke mall berbelanja aksesoris mewah untuk persiapan lebaran.

Jika kita memang menjadi pemenang, bukankah lidah beku menelan kuliner mahal hanya untuk diposting di media sosial. Di saat banyak orang menderita kekurangan dan lapar akibat kemiskinan, ada nurani yang kering kerontang dan mati tak lulus ujian Ramadhan. 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.