Filsafat Agustinus dalam Sila Pertama Pancasila

Ilustrasi Keanekaragaman Kepercayaan pada Tuhan (sumber: pixabay.com)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Santo Agustinus atau bisa juga dikenal dengan St. Agustinus merupakan filsuf kenamaan yang lahir pada tanggal 13 November 354 di sekitar enam puluh mil dari kota Hippo, Afrika Utara (tepi pantai yang saat ini disebut Aljazair). Agustinus merupakan sosok yang tokoh penting dalam perkembangan Kekristenan Barat sebelum wafat pada 28 Agustus 430.

“Manusia tidak akan pernah dapat memiliki pengetahuan yang luas dari dirinya sendiri tanpa adanya sinar dan cahaya dari Tuhan” – St. Agustinus.

Filsafat Teologis

Adanya filsafat teologis telah dikembangkan ketika masa pertikaian antara umat Kristian dengan umat penyembah dewa di Roma, hal ini dimulai dari pemikiran Agustinus yang mendekonstruksikan sebuah positivisme akan peristiwa sejarah, pandangan adanya bencana dan kemuduran di Roma yang diakibatkan oleh kaum Kristen tidak menyembah dewa perlu adanya falsifikasi bahwa bencana itu bersifat umum dan universal tidak pandang bulu siapa yang akan ditimpahnya, apalagi adanya bencana di Roma terjadi sejak lama sebelum adanya umat Kristian.

Melalui karyanya The City of God, Agustinus membagi sejarah ke dalam dua negara atau kota, yaitu negara surgawi atau sakral dan negara duniawi atau sekuler. Negara surgawi berisi kasih atas pelindungan Tuhan dari segala keburukan, berbanding terbalik dengan negara duniawi yang hanya berisi cinta akan diri sendiri sehingga mengedepankan ego dalam kegelapan. Kedua negara tersebut sebenarnya ciptaan Tuhan yang mana dianggap bahwa terjadinya negara duniawi akibat adanya dosa akan kesucian ciptaan Tuhan.

Adanya sejarah yang dapat secara berulang-ulang sesuai pola dan waktu, menyebabkan menjadi negara sekuler secara sirkuler, sedangkan sejarah yang terjadi satu kali akan menjadi negara sakral bergerak secara linier ke depan, yang mana negara sekuler dijadikan sebagai ruang menuju negara sakral.

Oleh karenanya sejarah mengalami pergerakan dan transisi, manusia dalam kehidupan di duniawi tidak akan kekal yang akan mendapat hukuman kematian, namun ketika telah berada di negara surgawi akan menjadi abadi.

Sejarah Sila Pertama Pancasila

Jika melihat sejarah di Indonesia, filsafat teologis dapat dilihat dari perumusan sila pertama Pancasila, Ketika para leluhur bangsa Indonesia telah menyusun menjadi sebuah makna untuk kaum Indonesia yang multiagama.

Awalnya sila pertama Pancasila yang ada dalam Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Dengan bunyi tersebut maka rakyat Indonesia yang kebanyakan beragama Islam bukan semakin merasa tinggi hati meskipun dapat mengangkat orang Islam, namun justru banyak tokoh yang tidak setuju sebab mereka meyakini bahwa Indonesia adalah negara yang damai dengan saling menghargai antar berbagai agama yang dianut setiap individunya tanpa adanya diskriminasi minoritas agama.

Setelah mendapatkan kritikan dan protes ketidaksetujuan, maka sila pertama Pancasila resmi diubah dengan memperhatikan seluruh golongan baik agama maupun etnis melalui sidang BPUPKI tanggal 18 Agustus 1945 tercantum juga dalam Pembukaan UUD 1945.

Sehingga secara resmi hingga saat ini sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menunjukkan hubungan filsafat teologis yang terdapat dalam kandungan Pancasila bahwa Tuhan itu ada dan satu.

Adanya negara Indonesia ini membuktikan kepercayaan atas kebesaran Tuhan dalam menciptakan dunia beserta isinya yang terdiri atas perbedaan yang saling mengikat sesuai dengan perspektif Agustinus.

Sejauh ini agama resmi yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha, serta pada akhir-akhir ini juga dimasukkan agama Konghucu. Agama berperan begitu penting dalam kehidupan masyarakat karena di dalamnya aspirasi-aspirasi manusia yang paling dalam, agama juga sumber dari semua budaya tinggi bahkan candu bagi manusia.

Praktik Teologis dalam Sila Pertama Pancasila

Pada sebuah negara, Tuhan dianggap sebagai pemimpin yang berkuasa atas apa yang telah diciptakan-Nya, sehingga bebas berbuat sesuai apa yang dikehendaki. Dalam filsafat yang dicari yaitu kebijaksanaan yang mana menurut Agustinus terletak pada Tuhan karena mampu memberikan keadilan, kebajikan, dan kedamaian.

Berbanding terbalik dengan negara duniawi yang hanya mengedepankan materalistik sehingga akan berlomba-lomba menjadi yang terbaik menyebabkan pertikaian dan permusuhan.

Sehingga di Indonesia, Ketuhanan sengaja ditempatkan pada sila pertama Pancasila bertujuan untuk menjiwai sila kedua hingga kelima dalam Pancasila, makna menjiwai di sini dianggap sebagai ketika rakyat Indonesia mengamalkan sila kedua maka tidak akan bisa menghilangkan unsur sila pertama sebab diibaratkan jika sila pertama sebagai pegangan utamanya.

Oleh karena itu, apapun yang akan dilaksanakan dan dilakukan oleh rakyat Indonesia, maka akan berpikir terlebih dahulu dan selalu ingat akan Tuhan. Dengan berpegang teguh pada Tuhan, maka semakin dapat meminilisir apa yang akan dapat menimbulkan keributan antar perbedaan agama.

Seringkali jika terjadi permasalahan yang menimpa Indonesia mulai dari faktor alam maupun manusia, maka orang-orang sering kali berucap “tergantung iman”  sehingga secara sadar maupun tidak sadar rakyat Indonesia akan selalu menempatkan Tuhan kapan dan di manapun berada.

Adanya suatu permasalahan juga dapat meningkatkan keimanan setiap individu terhadap Tuhan yang dianut setiap agama. hal ini selaras dengan sejarah teologis yang digagas oleh Agustinus tidak lepas dari Teori Plato. Agustinus yang dahulunya bukan seorang taat kepada Tuhan berubah pandangan akibat adanya Teori Plato yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada meskipun wujudnya tidak nampak.

Ketika melihat sejenak di masa lalu, maka adanya kepercayaan kepada Tuhan sebenarnya bukan berasal asli dari Indonesia melainkan dari para pedagang asing yang singgah di Indonesia. Sebelum masa itu, kepercayaan rakyat Indonesia yakni pada benda-benda dan roh nenek moyang yang bisa disebut sebagai dinamisme dan animisme.

Semenjak masuknya pedagang dari India, maka lambat laun mengenal agama Hindu dan Buddha, yang kemudian masuk pula agama Islam yang dibawa oleh pedagang Arab, sedangkan untuk agama Kristen Protestan dan Katolik dilakukan dengan cara misi kristenisasi bangsa Portugis di Indonesia. Dan untuk yang Konghucu  sebenarnya telah ada sejak lama juga dibawa atas perdagangan bangsa Cina, akan tetapi baru abad ke-21 semakin luas di Indonesia.

Dalam Teori Plato dikenal adanya pemerintahan yang menjunjung kebenaran dan keadilan, oleh karena itu Agustinus beranggapan bahwa keadilan hanya milik Tuhan yang sangat berarti bagi suatu negara atau individu.

Agustinus mulai percaya akan setiap ajaran AlKitab, yang kemudian ia telusuri kebenarannya melalui konsep-konsep filsafat dan teologis sehingga terbentuklah sejarah universal dunia yang akan berakhir pada satu titik klimaks yaitu Tuhan.

Dalam praktik sila pertama Pancasila, secara tidak sadar rakyat Indonesia telah mengamalkan filsafat teologis sejak lahir di mana dalam catatan akte kelahiran telah tertulis agama tertentu yang telah dipeluknya, bahkan dalam KTP pun diwajibkan untuk beragama.

Dengan adanya kepercayaan adanya Tuhan, maka juga dipraktikkan dengan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya serta menjunjung toleransi antar sesama.

Meskipun saat ini Indonesia seringkali dihadapkan pada pertengkaran antar agama bahkan ada yang merusak tempat beribadah, sebenarnya hal tersebut bukanlah agama apa yang disalahkan melainkan oknum-oknum tertentu yang berusaha untuk saling mengadu domba.

Sila pertama Pancasila sesungguhnya telah tepat digunakan untuk masyarakat Indonesia yang multikultur dan multiagama. Dengan adanya sila ini, maka segala tingkah laku dan tata cara rakyat Indonesia dapat terkontrol dan hidup saling rukun.

Apabila menurut Agustinus, dengan adanya kepercayaan pada Tuhan hidup akan lebih terarah dan tujuan utama kehidupan yakni surgawi yang jauh lebih indah dengan kehidupan duniawi, sehingga rakyat Indonesia akan terdorong untuk tidak akan saling berebut posisi menjadi penguasa dunia sebab duniawi tidak akan kekal melainkan dapat menjerumuskan.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.